Halaman

Rabu, 30 November 2016

makar konstitusional, papa minta saham vs papa minta kursi ketua DPR kembali



makar konstitusional, papa minta saham vs papa minta kursi ketua DPR kembali

Sejarah Orde Baru ditulis, dirilis, dilansir, dipublikasikan oleh penguasa atau minimal yang tahu diri dengan situasi dan kondisi zaman. Pancasila Sakti menggema sepanjang era Orde Baru.

Kedigdayaan, kepahlawanan sang penguasa tunggal Orde Baru, dikisahkan secara heroik. Dengan mengedepankan, mengutamakan seloka “mikul dhuwur mendhem jero” (bisa njunjung drajade wong tuwa), menjadi jiwa dan warna otobiografi senyum sang jenderal.

Di sisi lain, tepatnya pihak yang bisa membaca zaman, katakan dia adalah Golongan Karya (golkar), wujudnya bukan partai politik. Golkar menyediak diri menjadi kendaraan politik sang penguasa tunggal Orde Baru. Sehingga selama 6x berturut-turut lewat pemilu berhasil mempertahankan bapak Suharto sebagai RI-1 yang kedua.

Selain produk utama, prodk unggulan berupa ‘presiden’ golkar juga membuat produk sampingan, mulai dari pembantu presiden sampai aparat di tingkar desa/kelurahan. Tak terkecuali merekrut preman jalanan untuk menjadi herder-nya. Contoh, munculnya Gabungan Anak Liar (gali) di Yogya dan sekaligus dijadikan onyek petrus (penembak misterius) di awal atau sekitar tahun 1980-an.

Nyaris lupa, apa kaitan rangkaian kata di atas dengan judul.

Kisah selanjutnya, sejak era Reformasi yang mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, golkar mengalami penggembosan, pengkeroposan dari dalam, secara internal. Golkar melahirkan banyak partai politik. Golkar secara sistematis mengalami proses mritili, mrutuli dan mrotoli diri. Golkar mengalamai penyederhanaan ideologis menjadi partai politik.

Sempalan golkar ada yang bisa berkibar, Berjaya. Katakan SBY yang dua periode jadi RI-1 ke-6, adalah terdampak program kuningisasi di tubuh militer.

Bagaimana dengan oknum petinggi golkar peninggalan Orde Baru. Karena pola rekrutmen, akhirnya banyak petualang, pialang politik merasa aman berlabu di partai Golkar (PG). Banyak pesohor yang numpang nampang, numpang liwat, numpang hidup di PG.

Posisi PG terhadap pemerintah yang sedang berjalan, dengan menjalankan asas “tahu sama tahu”. Menjadi semacam benalu politik, parasit politik. Masih ingin mengulang kejayaan di masa Orde Baru, dengan menghalalkan segala tindak dan cara. Semua langkah politik yang diambil oleh oknum PG, dengan merekayasa serta berbasis pasal, hukum, konsitusi yang diolah sah dan masuk akal politik.

PG, kalau tak bisa mendengkul bisa pakai cara merangkul lawan, khususnya lawan politik. Ini cara ampuh, manjur, mujarab, cespleng yang menjadi andalan golkar sejak di Orde Baru. Tak salah jika jangan memakai kacamata moral untuk menakar kadar ideologi/politik oknum PG, tak terkecuali bahkan ketum PG sekalipun.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar