makar konstitusional, papa minta
saham vs papa minta kursi ketua DPR kembali
Sejarah Orde Baru ditulis, dirilis, dilansir, dipublikasikan oleh
penguasa atau minimal yang tahu diri dengan situasi dan kondisi zaman.
Pancasila Sakti menggema sepanjang era Orde Baru.
Kedigdayaan, kepahlawanan sang penguasa tunggal Orde Baru, dikisahkan
secara heroik. Dengan mengedepankan, mengutamakan seloka “mikul dhuwur mendhem jero” (bisa njunjung
drajade wong tuwa), menjadi jiwa dan warna otobiografi senyum sang
jenderal.
Di sisi
lain, tepatnya pihak yang bisa membaca zaman, katakan dia adalah Golongan Karya
(golkar), wujudnya bukan partai politik. Golkar menyediak diri menjadi
kendaraan politik sang penguasa tunggal Orde Baru. Sehingga selama 6x berturut-turut
lewat pemilu berhasil mempertahankan bapak Suharto sebagai RI-1 yang kedua.
Selain
produk utama, prodk unggulan berupa ‘presiden’ golkar juga membuat produk sampingan,
mulai dari pembantu presiden sampai aparat di tingkar desa/kelurahan. Tak
terkecuali merekrut preman jalanan untuk menjadi herder-nya. Contoh, munculnya
Gabungan Anak Liar (gali) di Yogya dan sekaligus dijadikan onyek petrus
(penembak misterius) di awal atau sekitar tahun 1980-an.
Nyaris
lupa, apa kaitan rangkaian kata di atas dengan judul.
Kisah selanjutnya,
sejak era Reformasi yang mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, golkar mengalami
penggembosan, pengkeroposan dari dalam, secara internal. Golkar melahirkan
banyak partai politik. Golkar secara sistematis mengalami proses mritili, mrutuli dan mrotoli diri.
Golkar mengalamai penyederhanaan ideologis menjadi partai politik.
Sempalan
golkar ada yang bisa berkibar, Berjaya. Katakan SBY yang dua periode jadi RI-1
ke-6, adalah terdampak program kuningisasi di tubuh militer.
Bagaimana
dengan oknum petinggi golkar peninggalan Orde Baru. Karena pola rekrutmen,
akhirnya banyak petualang, pialang politik merasa aman berlabu di partai Golkar
(PG). Banyak pesohor yang numpang nampang, numpang liwat, numpang hidup di PG.
Posisi
PG terhadap pemerintah yang sedang berjalan, dengan menjalankan asas “tahu sama
tahu”. Menjadi semacam benalu politik, parasit politik. Masih ingin mengulang
kejayaan di masa Orde Baru, dengan menghalalkan segala tindak dan cara. Semua langkah
politik yang diambil oleh oknum PG, dengan merekayasa serta berbasis pasal,
hukum, konsitusi yang diolah sah dan masuk akal politik.
PG,
kalau tak bisa mendengkul bisa pakai cara merangkul lawan, khususnya lawan
politik. Ini cara ampuh, manjur, mujarab, cespleng yang menjadi andalan golkar
sejak di Orde Baru. Tak salah jika jangan memakai kacamata moral untuk menakar
kadar ideologi/politik oknum PG, tak terkecuali bahkan ketum PG sekalipun.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar