praktik politik, tidak
perlu pengalaman
Tegas saja, kalau mau terjun ke syahwat politik, atau
niat jadi wakil rakyat, kepala daerah bahkan kepala negara, tidak perlu rekam
jejak, kinerja berbasis ideologi atau pengalaman politik. Yang penting punya
nilai jual. Atau bisa juga memakai kendaraan politik, asal nilai komersialisnya
menjanjikan. Kebetulan kalau ada artis atau pesohor lainnya, bisa jadi barisan
wakil rakyat, masuk jajaran kepala daerah.
Bahkan presiden AS yang baru saja terpilih, minim
pengalaman politik. Pengaruh uang yang bicara. Program yang memancing antipati,
ditawarkan dalam kampanye. Bahkan terbukti, tidak perlu pakai sopan santun
politik. Apalagi di negara yang serba multi ini kawan.
Sejarah pergerakan politik Nasional sudah pada kesimpulan
bahwa pengalaman politik tidak jadi syarat utama pada pesta demokrasi. Kalau mau
tunggu rekam jejak pengalaman politik,
jabatan yang diincar keburu direbut orang lain. Keburu busuk ditempat. Keburu disalib
teman seperjuangan yang berani malu. Terlebih di éra mégatéga, kalau tidak téga tidak akan kebagian.
Berpolitik itu mirip orang mau nikah, tidak perlu
pengalaman. Tentu harus punya seni dan ilmu untuk meraih kursi kekuasaan idaman
hati. Pengorbanan dalam bentuk apapun jelas dibutuhkan.
Kamus politik menyuratkan sekaligus menyiratkan
bahwasanya berpolitik itu adalah cara legal, sah, konstitusional dan sesuai
asas Pancasila untuk merebut kekuasaan dan sekaligus mempertahankannya. Mempertahankan
kekuasaan menjadi sumber inspirasi lahirnya dinasti politik. Padahal, sistem keluarga
yang mendasari praktik dinasti politik sudah dikenal lama.
Fakta fenomena, fantasi, fatamorgana iklan “kalau
sudah duduk, lupa berdiri” sebagai ikhtiar nyata mencari pengalaman politik. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar