Halaman

Jumat, 25 November 2016

praktik politik, tidak perlu pengalaman



praktik politik, tidak perlu pengalaman

Tegas saja, kalau mau terjun ke syahwat politik, atau niat jadi wakil rakyat, kepala daerah bahkan kepala negara, tidak perlu rekam jejak, kinerja berbasis ideologi atau pengalaman politik. Yang penting punya nilai jual. Atau bisa juga memakai kendaraan politik, asal nilai komersialisnya menjanjikan. Kebetulan kalau ada artis atau pesohor lainnya, bisa jadi barisan wakil rakyat, masuk jajaran kepala daerah.

Bahkan presiden AS yang baru saja terpilih, minim pengalaman politik. Pengaruh uang yang bicara. Program yang memancing antipati, ditawarkan dalam kampanye. Bahkan terbukti, tidak perlu pakai sopan santun politik. Apalagi di negara yang serba multi ini kawan.

Sejarah pergerakan politik Nasional sudah pada kesimpulan bahwa pengalaman politik tidak jadi syarat utama pada pesta demokrasi. Kalau mau tunggu rekam jejak pengalaman politik, jabatan yang diincar keburu direbut orang lain. Keburu busuk ditempat. Keburu disalib teman seperjuangan yang berani malu. Terlebih di éra mégatéga, kalau tidak téga tidak akan kebagian.

Berpolitik itu mirip orang mau nikah, tidak perlu pengalaman. Tentu harus punya seni dan ilmu untuk meraih kursi kekuasaan idaman hati. Pengorbanan dalam bentuk apapun jelas dibutuhkan.

Kamus politik menyuratkan sekaligus menyiratkan bahwasanya berpolitik itu adalah cara legal, sah, konstitusional dan sesuai asas Pancasila untuk merebut kekuasaan dan sekaligus mempertahankannya. Mempertahankan kekuasaan menjadi sumber inspirasi lahirnya dinasti politik. Padahal, sistem keluarga yang mendasari praktik dinasti politik sudah dikenal lama.

Fakta fenomena, fantasi, fatamorgana iklan “kalau sudah duduk, lupa berdiri” sebagai ikhtiar nyata mencari pengalaman politik. Opo tumon. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar