efek domino pekerja partai, makar
pinjam tangan
Peribahasa bahasa Jawa “nabok nyilih tangan”, dengan makna “tumindak
ala kanthi kongkonan wong liya”, masih relevan diterapkan pada kondisi
sekarang. Terjemahan secara harfiah atau literal ke bahasa Indonesia menjadi “mukul
pinjam tangan”. Maknanya tergantung pelakunya.
Di era Reformasi, ketika presiden ke-7 RI didaulat oleh
partai politik pengusungnya hanya sebagai petugas partai, semakin membuktikan
keberlakuan peribahasa “mukul pinjam tangan”. Ketua umum parpol pengusung
Jokowi, sadar betul dan yakin diri, kalau ybs maju pilpres hanya akan mengulang
sejarah pilpres 2004 dan pilpres 2009.
Presiden tidak mesti sebagai ketua umum partai. Presiden ke-2
RI piawai menjadikan Golkar sebagai kendaraan politik sekaligus lihai
menyederhanakan jumlah partai.
Langkah politik Jokowi tak bisa lepas dari restu dan
kebijakan partai. Asas komunikasi, koordinasi, kendali ada di tangan partai
pengusung. Minimal, atas hasil konfirmasi dengan penguasa di belakang layar.
Sayangnya,
saat Jokowi menyikapi aksi bela Islam, ujaran yang dikeluarkan seperti
peribahasa “lempar batu sembunyi tangan”. Bisikan dari BIN yang selayaknya jadi
informasi internal, malah diumbar. Celakanya lagi, Kapolri dengan ringan tangan
mengatakan ada rencana makar, kudeta. Akhirnya bahasanya diperhalus, bahwa
makar ditujukan kepada pendompleng aksi bela Islam. Langkah politik Jokowi
semakin tragis binti miris. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar