Halaman

Kamis, 24 November 2016

anomali negara multipartai, politik makar vs makar politik



anomali negara multipartai, politik makar vs makar politik

Di era Reformasi yang dimulai dari puncaknya, Indonesia meluncur bebas dan deras bak bola salju menggelinding. Semakin jauh menggelinding menjadikan Indonesia sebagai negara multipartai.

Stigma makar yang pernah diterapkan pada PKI, secara historis dua kali 1948 dan 1965, sebagai langkah kudeta. Perkembangan zaman, stigma makar mengalami proses penghalusan atau ada nada peringkat makna. Stigma yang telah diproses melalui penghalus makna sekaligus penghalus bahasa, menjadi cara merebut kekuasaan secara konstitusional.

Jadi kawan, menurut ahli bahasa politik, bagaimana tingkatan makar tergantung pelakunya.

Kita bisa cermati, munculnya koalisi atau gabungan dua partai politik atau lebih agar bisa memenuhi syarat ikut pilpres. Ikhwal ini sebagai cikal bakal, benih politik makar. Pasca pelantikan dan penyumpahan RI-1 san RI-2, argo makar politik berlaku resmi. Ditengarai siapa jadi apa, siapa dapat apa. Di periode 2014-2019, kemelut politik sebagai buahnya, sedang panen raya.

Semakin marak akibat praktik politik transaksional, politik bagi hasil, politik balas jasa, balas budi beriringan dengan politik balas dendam.

Dendam politik, lawan politik . . . menjadi bahan baku menu politik. Aroma irama syahwat politik tak jauh dari itu, bahkan kalau kurang bisa ditambah sesuai selera. Namanya politik.

Saya bukan ahli bahasa politik, bukan ahli tatatata negara, tata politik, tapi tak buta tata kata. Makanya, begitu mau menggunakan kata ‘makar’, harus berhati-hati, waspada dan was-was. Apa arti sebuah kata. Memakai huruf yang ada di kata ‘makar’, disusun acak tapi dalam batasan mempunyai arti, menghasilkan beberapa kata, yaitu :
i.  diawali huruf ‘m’ : marka, marak.
ii. diawali huruf ‘k’ : kamar, karam, karma, krama.

Mungkin, kata ‘makar’ dan produk olahan hurufnya, ternyata mengandung pengertian yang saling menguatkan. Coba saja pembaca otak-atik bahasa. Kalau disusun menjadi akar kata, tersusun kalimat dalam satu alenia :

Makar yang dilakukan secara tak sadar oleh kawanan parpolis Nusantara, walau masih patuh marka jalan politik, marak dilakukan selama satu periode. Pemakar ada yang praktik di dalam kamar untuk sepakat tidak sepakat. Pemakar larut dan karam dalam syahwat politik kekuasaan. Mereka tak percaya adanya karma politik. Apalagi memahami filosofi tata krama politik.”

Jadi, gonjang-ganjing politik, tutur dan ujar ki dalang Sobopawon, bukan karena karma politik. Karena rakus politik, haus berhala Reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat).

Jadi seperti diingatkan kawan, kata ‘rakus’ kalau diotak-atik menjadi pembahasan tersendiri. Minimal dengan huruf yang sama ada kata : rasuk,  rusak, sukar, kasur, kuras . . . [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar