anomali negara multipartai, politik
makar vs makar politik
Di era Reformasi yang dimulai dari puncaknya, Indonesia meluncur bebas dan
deras bak bola salju menggelinding. Semakin jauh menggelinding menjadikan
Indonesia sebagai negara multipartai.
Stigma makar yang pernah diterapkan pada PKI, secara historis dua kali
1948 dan 1965, sebagai langkah kudeta. Perkembangan zaman, stigma makar
mengalami proses penghalusan atau ada nada peringkat makna. Stigma yang telah
diproses melalui penghalus makna sekaligus penghalus bahasa, menjadi cara
merebut kekuasaan secara konstitusional.
Jadi kawan, menurut ahli bahasa politik, bagaimana tingkatan makar
tergantung pelakunya.
Kita bisa cermati, munculnya koalisi atau gabungan dua partai politik
atau lebih agar bisa memenuhi syarat ikut pilpres. Ikhwal ini sebagai cikal
bakal, benih politik makar. Pasca pelantikan dan penyumpahan RI-1 san RI-2,
argo makar politik berlaku resmi. Ditengarai siapa jadi apa, siapa dapat apa. Di
periode 2014-2019, kemelut politik sebagai buahnya, sedang panen raya.
Semakin marak akibat praktik politik transaksional, politik bagi hasil,
politik balas jasa, balas budi beriringan dengan politik balas dendam.
Dendam politik, lawan politik . . . menjadi bahan baku menu politik. Aroma
irama syahwat politik tak jauh dari itu, bahkan kalau kurang bisa ditambah
sesuai selera. Namanya politik.
Saya bukan ahli bahasa
politik, bukan ahli tatatata negara, tata politik, tapi tak buta tata kata.
Makanya, begitu mau menggunakan kata ‘makar’,
harus berhati-hati, waspada dan was-was. Apa arti sebuah kata. Memakai huruf
yang ada di kata ‘makar’, disusun acak tapi dalam batasan mempunyai arti,
menghasilkan beberapa kata, yaitu :
i. diawali huruf ‘m’ : marka, marak.
ii. diawali huruf ‘k’ : kamar,
karam, karma, krama.
Mungkin, kata ‘makar’ dan
produk olahan hurufnya, ternyata mengandung pengertian yang saling menguatkan.
Coba saja pembaca otak-atik bahasa. Kalau disusun menjadi akar kata, tersusun
kalimat dalam satu alenia :
“Makar yang dilakukan secara tak sadar
oleh kawanan parpolis Nusantara, walau masih patuh marka jalan politik, marak dilakukan selama satu periode. Pemakar ada yang praktik di dalam kamar untuk sepakat tidak sepakat. Pemakar larut dan karam dalam syahwat politik kekuasaan. Mereka tak percaya adanya karma politik. Apalagi memahami filosofi tata krama politik.”
Jadi, gonjang-ganjing politik, tutur dan ujar ki dalang Sobopawon, bukan
karena karma politik. Karena rakus politik, haus berhala Reformasi 3K (kuasa,
kaya, kuat).
Jadi seperti diingatkan kawan, kata ‘rakus’ kalau diotak-atik menjadi pembahasan
tersendiri. Minimal dengan huruf yang sama ada kata : rasuk, rusak, sukar, kasur,
kuras . . . [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar