Halaman

Minggu, 31 Mei 2015

Menangkal Efek Berantai StigmaTeroris Dengan Semangat Ukhwah

 Politika     Dibaca :357 kali , 0 komentar
Menangkal Efek Berantai StigmaTeroris Dengan Semangat Ukhwah
 Ditulis : Herwin Nur 17 September 2012

Berita Teror
Berita berbasis teroris menjadi santapan dan liputan langsung setiap saat, dikemas oleh media massa secara atraktif, seolah tanpa kode etik. Antar TVswasta sudah tidak ada benang merahnya, tayangan berita sesuai selera, sesuai otoritas. Besar berita daripada peristiwa. Berbagai pihak mempunyai kepentingan dan maksud terselubung. Teror yang seharusnya masuk ranah hukum, komoditas hukum, malah berkembang menjadi komoditas politik. Hukum (di) Indonesia secara formal hanya merumuskan teroris sebagai gerakan ekstrim atas nama agama atau kelompok, tidak menguak skenario besarnya.

Di era Reformasi, semua kejadian setelah terjadi, setelah memakan korban harta benda, menelan korban jiwa, atau berdampak sosial, baru ada tindakan nyata. Tindakan pencegahan atau preventif, ditunjukkan oleh pemangku kepentingan bidang keamanan dengan tampil di TVswasta, dalam acara pembenaran diri.

Di lapangan, pemangku kepentingan bidang keamanan telah sama-sama bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya, namun bukan dalam tatatan dan tataran bekerja sama. Mereka memang tidak saling menyalahkan, bahkan bak paduan suara kompak mencari siapa  yang akan dijadikan kambing hitamnya, sambil cuci tangan.

Arahan Dan Arahan
Kehidupan waktu berjalan linier, sejarah kehidupan umat manusia bisa berulang dalam arti akan terjadi kondisi yang mirip dengan zaman dulu. Belajar dari sejarah, kita bisa membaca pertanda zaman. Zaman Jahiliyah (suatu keadaan yang menolak hidayah Illahi dan menolak hukum Allah) secara lebih sistematis, terstruktur dan menerus akan tetap hadir di depan kita.

Jiwa Orde Baru didominasi dogma Pancasila Sakti menyebabkan jika ada pemikiran, apalagi gerakan yang tidak seiring dengan kebijakan Presiden, selain dicap sebagai anti-Pancasila, bisa dibabat di tempat. Pemilik suara vokal, akan menghadapi dua pilihan kemungkinan, yaitu kalau tidak dirangkul untuk dibungkam secara bermartabat (misal aktivis yang disekolahkan ke mancanegara), atau didengkul serta dibatasi ruang geraknya !

Jangankan meledak, cikal bakal bom belum dirakit, sudah bisa diendus aparat keamanan. Arah kekuatan sosial politik sudah bisa diarahkan, dengan dalih atas keinginan rakyat. Menonjolnya pendekatan represif yang menekankan keamanan dan stabilitas. Terjadi pemusatan kekuasaan secara masif, terbelenggunya pelaksanaan demokrasi, terkekangnya partisipasi politik rakyat, serta terabaikannya HAM dan prinsip supremasi hukum.

Semangat Ukhwah
Umat Islam NKRI lebih mementingkan kiprahnya di dagang politik ketimbang ukhuwah Islamiyah. Politik mapan, ekonomi stabil, maka ukhuwah akan terjalin, demikian prakiraan kawanan parpolis berbasis Islam. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan fungsi umat Islam, mengalami pasang surut karena tergoda politik praktis dan raihan duniawi.

Kita patut belajar dari Pilpres 2009, Ketua Umum PP Muhammdiyah mengajak dan menghimbau warganya mendukung Mega dan JK. Elit Muhammadiyah tanpa sungkan dan malu memposisikan diri berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Modus operandi gerakan politik NU melalui PKB secara umum sudah dan mudah terbaca. Hasilnya, emosi umat Islam periode 2009-2014 diaduk-aduk tak menentu. Elemen masyarakat dengan atribut Islam bisa saling berjibaku di jalanan. Keharusan bersifat lemah lembut terhadap sesama mukmin, terlupakan.

Solusi
Umat Islam baru bersatu, pada saat menghadapai lawan, seteru yang sama. Menghadapi bencana alam, terkadang malah menimbulkan pertentangan internal.

Ukhuwah dibentuk mulai dari lingkungan Rukun Tetangga, adab bertetangga diterapkan secara total. Kepedulian antar tetangga, semangat gotong royong, kearifan lokal menjadi modal mewujudkan ukhuwah.(Herwin Nur/wasathon.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar