Humaniora Dibaca :535 kali , 0 komentar
Sabar Bukan Berarti Pasif
Ditulis : Herwin Nur, 18 Oktober 2013
Nilai Jual
Betapa pedulinya Allah pada hakekat ‘sabar’, bahkan nilai jualnya sejajar dengan shalat. Banyak firman Allah dalam Al-Qur’an fokus pada ‘sabar’, antara lain [QS Al Baqarah (2) : 45] : “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,”
Betapa sabar dan shalat harus ditegakkan dengan khusyuk. Artinya ada Rukun Sabar, yang uraiannya bisa kita simak dalam Sunnah Rasul. Sabar dimulai dari diri sendiri, namun tidak bersifat individual. ‘Sabar’menjadi hak milik umat Islam, menjadi jiwa, roh, spirit dan semangat dalam beribadah. Khusyuk adalah anugerah dari Allah SWT yang bisa diraih dengan laku yang diawali dengan niat, dilakukan dengan tekun, menerus, berulang, dilengkapi dengan bersyukur, berserah diri serta tertib.
Sabar dalam menghadapi kenyataan hidup bukan berarti bersifat menerima, tidak mengeluh, tidak protes, bahkan tidak melakukan demo. Sabar dalam proses kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat bukan berarti berdiam diri, berpangku tangan, hanya sebagai penonton, maupun menunggu nasib baik.
Kemungkaran Versi Reformasi
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman." (HR Muslim)
Ada tanda shalat diterima oleh Allah SWT, ada orang yang shalatnya tidak diterima oleh Allah SWT. Bagaimana dengan ‘sabar’? Bagaimana cara ‘sabar’ dalam menghadapai kemungkaran. Kemungkaran seperti apa yang harus dirubah.
Kemungkaran bisa lahir karena ada kepemimpinan formal, tingkat lokal (lurah/ kepala desa), tingkat regional (gubernur) sampai tingkat nasional (kepala negara) yang melanggar janji, apalagi sumpah jabatan. Diperparah jika janji kampanye hanya sebagai pemanis, bagian dari tebar pesona, penarik simpati.
Kemungkaran bisa muncul karena adanya sistem pemerintahan, dampak dari pembagian kekuasaan dan wewenang kepada partai politik, melalui pesta demokrasi serta diperkuat oleh produk hukum yang berpihak pada penguasa. Kontrak politik lima tahunan, koalisi parpol penyelenggara negara/daerah yang melahirkan dinasti politik, gurita politik, KKN politik.
Pelaku kriminal klas jalanan sampai penjahat klas gedongan, preman sampai pelaku tipikor, merasa aman untuk beraksi. Seolah tak ada hukum yang mampu menjeratnya. Di pihak lain, orang yang akan bekerja dengan jujur, halal malah serba salah. Mengikuti aturan main, perjalan karir malah tersendat. Atau mentaati peraturan ritual adminsitrasi malah tidak dapat pekerjaan.
Agen Perubahan
Penguasa Orba (Orde Baru) memakai asas ‘kalau tidak bisa dirangkul, akan didengkul’. Bangsa dan rakyat Indonesia di zaman Orba, menerapkan falsafah ikut arus asal jangan terbawa arus, sampai ada yang membuktikan konsep manusia yaitu tunggu datangnya Satrio Piningit/Ratu Adil (SP/RA).
Jumlah dan jenis partai politik disederhanakan. Lelah menunggu turunnya SP/PA, atau memang susah mengalahkan pemangku Super Semar, rakyat diuji kesabarannya. Akhirnya rakyat bangkit frontal melawan RI-1, klimaksnya 21 Mei 1998.
Gonjang-ganjing politik jelang 2014, masih ada pihak berharap munculnya SP/RA, sebagai RI-1 ke 7. Primbon jadi pegangan utama. Banyak pihak mematut diri merasa sebagai SP/RA.
Persatuan dan kesatuan umat Islam terkota-kotak. Padahal cuplikan [QS At Taubah (9) : 71] : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” Sabar. (Herwin Nur/Wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar