Humaniora Dibaca :218 kali , 0 komentar
Dilema Negarawan, Kepentingan Negara vs Kesejahteraan Rakyat
Ditulis : Herwin Nur, 11 Oktober 2013
Jebakan Dunia
Fiman Allah yang berlaku sepanjang zaman, diabadikan dalam Al-Qur’an [QS Huud (11) : 15] : “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”
Jadi, bukan salah bunda mengandung, jika sampai sekarang masih ada manusia bekerja untuk meraih kenikmatan duniawi, merasakan surga dunia. Banyak jalan dan cara untuk mewujudkan cita-cita dan ambisi pribadi. Keberhasilan hidup diukur dari perolehan duniawi.
Klimaksnya, dengan menguasai dunia, menguasai negara akan semakin menambah dan mempermudah untuk meraih serta memperlancar urusan dunia. Menjadi daun di pucuk pohon merasa lebih mulai daripada menjadi akar dalam tanah.
Di era Reformasi, menjadi kepala negara, menjabat pemimpin pemerintah, menduduki kursi presiden, hanya sebatas dilihat hal kekuasaan/kewenangnya saja. Ikatan moral yang diterjemahkan sebagai kontrak politik, hanya syarat pasal duniawi dan sanksi hukum dunia.
Jabatan Periodik
Awam terheran tak habis pikir, mengapa mantan presiden masih ambisi dan getol menyatroni kursi RI-1. Apakah ada sistem daur ulang dalam kepemimpinan nasional. Proses linier pun terjadi, melalui jabatan ketua umum partai politik (parpol) menjadi syarat pertama dan utama menuju kursi RI-1.
Bayangkan, apa yang akan dilakukan bagi yang belum pernah merasakan empuknya kursi lima tahun. Bagi yang sempat mengecap lezatnya kursi pembantu presiden, berencana untuk naik peringkat.
Tidak salah, untuk berbuat banyak buat negara lebih optimal jika berada di atas, di pucuk pimpinan, minimal masuk jajaran penyelenggara negara. Daya juang rakyat, yang hanya bergerak di trotoar jadi PKL, di jalanan sebagai pedagang, atau bergerak antar bak sampak jadi pemulung, hanya sebatas urusan perut.
Jalannya pemerintahan maupun mengurus negara memang bisa ditangani oleh orang parpol. Kegiatan eksekutif, yudikatif dan legislatif yang dibingkai dalam periode waktu lima tahunan, memang bisa dijalankan oleh orang parpol, asal landasan idiil dan landasan yuridis tidak mengalami bongkar pasang.
Selama ini landasan kewenangan dari penyelenggaraan pemerintahan negara didasarkan pada ketentuan perundang-undangan bersifat sektoral, dan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada hukum administrasi negara yang merupakan produk hukum undang-undang, serta kekuasaan yang melekat dalam jabatannya. (sumber : Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum Pemerintah Yang Baik, Badan Pembinan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, Desember 2007).
Di aspek lain, bicara dan bahas kepemimpinan nasional, layak dilihat dari perspektif dan konteks negara yang berasas Pancasila, bukan dalam tataran teologi atau konsep kepemimpinan dalam pandangan keagamaan. Bukan berarti memisahkan urusan negara dengan urusan agama. Diharapkan, kekuatan agama bukan pada posisi yang pro atau anti pemerintah.
Bom Waktu Politik
Peran negarawan tidak terikat oleh jabatan periodik, bahkan lebih bebas kalau berada di belakang layar. Daya pikirnya lebih dibutuhkan daripada daya pikatnya dalam gosip politik.
Dalam praktek, masyarakat bahkan orang parpol susah membedakan antara kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh kepala negara. Gaji presiden bukan sebagai daya tarik, tetapi pada bagaimana mengelola kekuasaan/kewenangannya.
Makna kepentingan negara bisa merupakan kutub yang berbeda, bahkan bisa berlawanan dengan kesejahteraan rakyat. Dalam berbagai sendi kehidupan, seolah rakyat dibiarkan berjuang sendiri, berjuang menentukan nasib dan masa depannya. Domain, kutub, atau mazhab berbangsa dan bernegara bisa bertolak belakang dengan kesejahteraan rakyat.
Biaya politik untuk menuju RI-1 bisa jadi bom waktu bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. [HaeN/wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar