Halaman

Senin, 04 Mei 2015

bangsa instan, korban promo produk vs korban kampanye politik

bangsa instan, korban promo produk vs korban kampanye politik


Bangsa Indonesia yang kental dengan adat dan budaya timur, khususnya yang dibentuk dalam format feodal atau yang merasa berdarah biru atau karena merasa mewarisi nama besar orang tuanya/anak idiologis, mempunyai karakter suka disanjung, senang dipuji, gemar dipuja, hobi dijilat atau apa pun dari turunan ‘dininabobokan’. Daripada menunggu orang lain tak kunjung memujinya, tak segan ybs memuji dirinya sendiri. Bahkan di depan orang banyak.

Promo produk teh celup, menganggap pemirsa TV sebagai mahkluk bodoh atau minimal layak dianggap bodoh. Justru produsen teh celup pamer bego, bayangkan teh dicelupkan ke air panas langsung berwarna merah. Tepatnya pewarna buatan menjadi andalan teh celup. Sulap ini sudah dipahami oleh rakyat paling awam.

Promo produk sesat dan menyesatkan adalah dengan jargon ‘beli sekarang, besok harga naik’. Atau ingat seperti tulisan di warung rakyat ‘sekarang bayar kontan, besok boleh ngutang’. ‘Beli 2, gratis 1’ sebagai upaya menjebak nalar calon pembeli.

Di industri politik Nusantara, aroma irama tebar janji, walau sebagai modus operandi primitif, namun tetap menjadi lagu wajib dan diandalkan para kontestan. Menjegal sekaligus menjagal pesaing, dalam satu barisan atau bahkan di luar barisan, menjadi sah dan halal. Bandar politik harus lihai membaca peta politik. Politik adu domba peninggalan penjajah Belanda, sampai trik lokal yang telah dipatenkan, menjadi rahasia umum. Tim sukes mempunyai kalkulasi politik, dengan asas ‘no free lunch’.


Akhirnya bangsa Indonesia sebagai penganut loyal budaya instan. Mendirikan partai politik agar bisa ikut pesta demokrasi. Menjadi ketua umum parpol sebagai tiket super VVIP menuju kursi kepala negara. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar