bangsa instan, korban promo produk vs
korban kampanye politik
Bangsa Indonesia yang kental dengan adat dan
budaya timur, khususnya yang dibentuk dalam format feodal atau yang merasa berdarah
biru atau karena merasa mewarisi nama besar orang tuanya/anak idiologis, mempunyai
karakter suka disanjung, senang dipuji, gemar dipuja, hobi dijilat atau apa pun
dari turunan ‘dininabobokan’. Daripada menunggu orang lain tak kunjung
memujinya, tak segan ybs memuji dirinya sendiri. Bahkan di depan orang banyak.
Promo produk teh celup, menganggap
pemirsa TV sebagai mahkluk bodoh atau minimal layak dianggap bodoh. Justru produsen
teh celup pamer bego, bayangkan teh dicelupkan ke air panas langsung berwarna
merah. Tepatnya pewarna buatan menjadi andalan teh celup. Sulap ini sudah
dipahami oleh rakyat paling awam.
Promo produk sesat dan menyesatkan adalah
dengan jargon ‘beli sekarang, besok harga naik’. Atau ingat seperti tulisan di warung
rakyat ‘sekarang bayar kontan, besok boleh ngutang’. ‘Beli 2,
gratis 1’ sebagai upaya menjebak nalar calon pembeli.
Di industri politik Nusantara, aroma
irama tebar janji, walau sebagai modus operandi primitif, namun tetap menjadi
lagu wajib dan diandalkan para kontestan. Menjegal sekaligus menjagal pesaing,
dalam satu barisan atau bahkan di luar barisan, menjadi sah dan halal. Bandar politik
harus lihai membaca peta politik. Politik adu domba peninggalan penjajah
Belanda, sampai trik lokal yang telah dipatenkan, menjadi rahasia umum. Tim sukes
mempunyai kalkulasi politik, dengan asas ‘no free lunch’.
Akhirnya bangsa Indonesia sebagai
penganut loyal budaya instan. Mendirikan partai politik agar bisa ikut pesta
demokrasi. Menjadi ketua umum parpol sebagai tiket super VVIP menuju kursi
kepala negara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar