Remaja
Indonesia Darurat Karakter
Produk
Zaman
Berita
prestasi remaja Indonesia dan berita miringnya seolah berlomba, siapa yang
lebih acap digarap media masa dalam acara, adegan dan atraksi berbasis hiburan
dan pendidikan. Karakter remaja bisa ditentukan proses babat, bibit, bobot dan
bebet yang berjalan mulus atau tidak, bisa juga dipengaruhi oleh kemajuan
zaman.
Remaja
yang tidak pandai-pandai akan dilindas zaman, yang tidak berani nekat akan
masuk kategori ketinggalan zaman. Remaja sebagai generasi masa depan bangsa, bukan hanya layu
sebelum berkembang, malah tumpas sebelum tunas.
Stigma yang menimpa remaja, merupakan PR bersama. Masalah remaja tak lepas dari kondisi rumah tangga, keluarga maupun lingkungan. Pendekatan dalam menangani remaja, kita mengacu dan berbasis pada sabda Rasulullah SAW : "Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (isteri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit." (HR Ibnu Hibban)
Memakai bahasa umum dan ilmu awam, bisa disimpulkan secara dini
bahwa remaja Indonesia masuk darurat karakter. Kasus pembunuhan terencana yang
sukses dipraktekkan oleh sejoli remaja Ahmad Imam Al Hafiz (20 tahun) dan
Assyifa Ramadhani (19 tahun) atas teman lama SMAnya Ade Sara Angelina Suroto
(19), banyak fakta motivasi yang bisa kita tarik benang merahnya yang bersifat
multifaktor (diolah dari Republika, Sabtu, 8 Maret 2014).
Secara usia, kedua tersangka dan korban masuk kategori pemuda (16
tahun sampai 30 tahun, sesuai UU 40/2009 tentang “KEPEMUDAAN”) yang memasuki
periode penting pertumbuhan dan perkembangan, bisa juga telah meliwati masak
anak (anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan, sesuai UU 23/2002 tentang
“PERLINDUNGAN ANAK”). Kasus ini bagaikan puncak gunung es di
lautan
Peran
Keluarga
Terlalu dini kalau hanya menganalisa penerapan pasal hukum bagi kenakalan
remaja. Tidak ada salahnya kalau kita lihat pihak mana yang layak dan patut
dipersalahkan, minimal sebagai kambing hitam. Remaja
terlibat tindak kriminal, dimungkinkan sebagai psikopat atau penderita
ganggguan jiwa atau gangguan kepribadian yang identik dengan perilaku kejam
tanpa penyesalan atau tanpa rasa takut.
Wajar jika terkadang orang tua kewalahan dalam mengasuh anak
remajanya. Orang tua memakai budaya Jawa dalam menangani anak remaja, tak lepas
dari falsafah watak bak seekor babi. Andai ekornya ditarik mundur, babi melawan
berusaha jalan maju. Jika pantatnya didorong maju, babi melawan berupaya jalan
mundur. Atau gunakan falsafah main layang-layang, kapan benang diulur, ditarik
atau ditahan.
Remaja (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mulai dewasa; sudah sampai umur untuk kawin) bisa mempunyai watak ganda, di rumah tampak
manis, menjadi anak mama/papa, penurut, tidak berulah, alim bin santun, rajin
dan taat beribadah, namun jika di luar rumah, ketika bersua kawanannya atau
kumpul dengan gengnya, terjadi perubahan drastis.
Agar anak tidak menjadi korban zaman, lakukan langkah bijak dengan menerapkan faktor ajar, faktor panutan dan komunikasi dalam keluarga. Rumah tangga sebagai wadah interaksi anggota keluarga. Hubungan timbal balik hak anak dengan hak orang tua tidak bisa dirumuskan secara matematis serta bukan dalam tataran balas jasa. Kita mengacu sabda Rasulullah SAW : "Apabila Allah menghendaki, maka rumah tangga yang bahagia itu akan diberikan kecenderungan senang mempelajari ilmu-ilmu agama, yang muda-muda menghormati yang tua-tua, harmonis dalam kehidupan, hemat dan hidup sederhana, menyadari cacat-cacat mereka dan melakukan taubat." (HR Dailami dari Abas r.a)
Kepedulian dan dukungan formal pemerintah terkadang setelah kejadian, setelah memakan korban, baru memantapkan langkah dengan menetapkan berbagai kebijakan. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar