Halaman

Selasa, 12 Mei 2015

Logika Politik Dan Pingitan 10 Tahun

Logika Politik Dan Pingitan 10 Tahun

Jalur Antrian
Menunggu antrian, menanti panggilan, jaga waktu giliran dipanggil, uber kesempatan yang datangnya hanya sekali, tidak semua orang bisa melakukannya dengan sabar dan apalagi tidak berdampak. Mendadak mules, rajin ke kamar kecil, keringat dingin, risau dan gelisah tak berujung merupakan dampak normal.

Bangsa Indonesia memang kreatif, untuk menghindari antrian panjang yang bisa memacetkan jalur demokrasi, dibuat jalan pintas menuju dan meraih kursi wakil rakyat. Syarat formal pas-pasan, asal bisa menguntungkan perusahaan partai politik, bisa diusulkan sebagai bakal calon legeislatif (bacaleg)/calon wakil rakyat, terjadi di kabupaten/kota, provinsi, terlebih DPR-RI.

Dampak nyata terjadi pada rakyat yang ikut antrian “pembagian” kursi wakil rakyat, entah karena perolehan suara, mengantongi nomer urut bak nomer sepatu, jelang loket, kursi habis! Dampak terjadi khususnya pada bacaleg yang tidak siap tidak terpilih.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) pun mempunyai dampak khas. Peraih suara terbanyak dalam pilkada, jika sengketa sampai MK, harus mengikuti tarif berpekara. Pemilihan presiden (pilpres) langsung oleh rakyat, di 2004 dan 2009, dampaknya bagi yang kalah maupun yang menang sama saja, bak bola salju. Petaruh di pilpres yang hanya dapat nomer dua, tetap semangat adu nasib di periode berikutnya.

Adu Nasib
Kendati Indonesia berpengalaman mempunyai presiden seumur hidup, Bung Karno, serta atas kehendak rakyat Pak Harto berhasil memperpanjang masa jabatan melalui 6 kali pemilu, namun begitu SBY dua periode jadi RI-1, kehidupan politik seolah baru belajar berdemokrasi.

Intinya, sebagai bangsa Melayu berperasaan halus, banyak pihak merasa bisa jadi pemimpin mengurus negara, merasa layak berdiri di barisan terdepan mengatur pemerintah, merasa mampu menetapkan kebijakan yang menyangkut hajat rakyat, merasa pantas di posisi teratas, merasa paling berhak meneruskan dinasti kepresidenan.

Pemilu pertama Reformasi, 1999, diiukuti 48 partai politik (parpol) dari 141 parpol yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM. Sebagai awal Indonesia baru belajar berpolitik. Periode 1999-2004, Indonesia mempunyai dua presiden, membuktikan betapa rapuh pilar politik bangsa dan negara.

SBY mendirikan/mempunyai parpol sebagai kendaraan politik yang membawa dirinya 2 periode sebagai RI-1, mengilhami berbagai pihak. Tidak sekedar kendaraan asal berdaya tampung besar, kendaraan berdaya guna, dengan daya jelajah jarak jauh.

Bagi yang sudah mempunyai parpol, para ketua umum sadar berpolitik jelang pemilu/pilpres. Kampanye dan promosi diri dadakan, instan, asal muncul di media massa yang dipunyainya. Mendongkrak popularitas tinggal membiayai lembaga survei, atau tiba-tiba peduli nasib rakyat kecil. Nasib buruh, tani dan nelayan jadi obyek politik.

Ketua umum diikuti petinggi parpol lebih sibuk mengurus parpolnya daripada mengurus rakyat. Bencana alam menjadi obyek parpol. Rakyat semakin cerdas, mana kegiatan politik, mana kegiatan amal. Parpol yang menganut asas oposisi setengah hati, melihat trias politika bukan sebagai komponen penyelenggara negara, tetapi sebagai pesaing. Mengkritisi pemerintah, tetapi minat dan getol pada jabatan kepala daerah. Koalisi parpol 2009-2014 mengingkari kodrat semangat gotong royong.

Ritual Politik
Ritual politik pemilu/pilpres menentukan perjalanan dan masa depan bangsa dan negara. Industri politik menjadikan biaya politik sulit diukur, susah diprediksi, menjadi bumerang bagi parpol minimalis. Menjadi angin segar bagi pemodal. Pesaing SBY maupun muka lama, menjadikan 2014 sebagai ajang pembuktian diri sekaligus laga balas dendam.


Tanpa malu banyak muka baru yang siap dilamar atau mengajukan dirinya sendiri  jadi capres. Kita semakin miskin negarawan.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar