Logika Politik Dan Pingitan 10
Tahun
Jalur Antrian
Menunggu antrian, menanti
panggilan, jaga waktu giliran dipanggil, uber kesempatan yang datangnya hanya
sekali, tidak semua orang bisa melakukannya dengan sabar dan apalagi tidak berdampak.
Mendadak mules, rajin ke kamar kecil, keringat dingin, risau dan gelisah tak
berujung merupakan dampak normal.
Bangsa Indonesia memang kreatif, untuk
menghindari antrian panjang yang bisa memacetkan jalur demokrasi, dibuat jalan
pintas menuju dan meraih kursi wakil rakyat. Syarat formal pas-pasan, asal bisa
menguntungkan perusahaan partai politik, bisa diusulkan sebagai bakal calon legeislatif
(bacaleg)/calon wakil rakyat, terjadi di kabupaten/kota, provinsi, terlebih
DPR-RI.
Dampak nyata terjadi pada rakyat
yang ikut antrian “pembagian” kursi wakil rakyat, entah karena perolehan suara,
mengantongi nomer urut bak nomer sepatu, jelang loket, kursi habis! Dampak
terjadi khususnya pada bacaleg yang tidak siap tidak terpilih.
Pemilihan kepala daerah (pilkada)
pun mempunyai dampak khas. Peraih suara terbanyak dalam pilkada, jika sengketa
sampai MK, harus mengikuti tarif berpekara. Pemilihan presiden (pilpres)
langsung oleh rakyat, di 2004 dan 2009, dampaknya bagi yang kalah maupun yang
menang sama saja, bak bola salju. Petaruh di pilpres yang hanya dapat nomer
dua, tetap semangat adu nasib di periode berikutnya.
Adu Nasib
Kendati Indonesia berpengalaman
mempunyai presiden seumur hidup, Bung Karno, serta atas kehendak rakyat Pak
Harto berhasil memperpanjang masa jabatan melalui 6 kali pemilu, namun begitu
SBY dua periode jadi RI-1, kehidupan politik seolah baru belajar berdemokrasi.
Intinya, sebagai bangsa Melayu
berperasaan halus, banyak pihak merasa bisa jadi pemimpin mengurus negara,
merasa layak berdiri di barisan terdepan mengatur pemerintah, merasa mampu menetapkan
kebijakan yang menyangkut hajat rakyat, merasa pantas di posisi teratas, merasa
paling berhak meneruskan dinasti kepresidenan.
Pemilu pertama Reformasi, 1999,
diiukuti 48 partai politik (parpol) dari 141 parpol yang terdaftar di
Departemen Kehakiman dan HAM. Sebagai awal Indonesia baru belajar berpolitik.
Periode 1999-2004, Indonesia mempunyai dua presiden, membuktikan betapa rapuh
pilar politik bangsa dan negara.
SBY mendirikan/mempunyai parpol
sebagai kendaraan politik yang membawa dirinya 2 periode sebagai RI-1,
mengilhami berbagai pihak. Tidak sekedar kendaraan asal berdaya tampung besar,
kendaraan berdaya guna, dengan daya jelajah jarak jauh.
Bagi yang sudah mempunyai parpol,
para ketua umum sadar berpolitik jelang pemilu/pilpres. Kampanye dan promosi
diri dadakan, instan, asal muncul di media massa yang dipunyainya. Mendongkrak
popularitas tinggal membiayai lembaga survei, atau tiba-tiba peduli nasib
rakyat kecil. Nasib buruh, tani dan nelayan jadi obyek politik.
Ketua umum diikuti petinggi
parpol lebih sibuk mengurus parpolnya daripada mengurus rakyat. Bencana alam
menjadi obyek parpol. Rakyat semakin cerdas, mana kegiatan politik, mana
kegiatan amal. Parpol yang menganut asas oposisi setengah hati, melihat trias
politika bukan sebagai komponen penyelenggara negara, tetapi sebagai pesaing.
Mengkritisi pemerintah, tetapi minat dan getol pada jabatan kepala daerah.
Koalisi parpol 2009-2014 mengingkari kodrat semangat gotong royong.
Ritual Politik
Ritual politik pemilu/pilpres
menentukan perjalanan dan masa depan bangsa dan negara. Industri politik menjadikan
biaya politik sulit diukur, susah diprediksi, menjadi bumerang bagi parpol
minimalis. Menjadi angin segar bagi pemodal. Pesaing SBY maupun muka lama,
menjadikan 2014 sebagai ajang pembuktian diri sekaligus laga balas dendam.
Tanpa malu banyak muka baru yang
siap dilamar atau mengajukan dirinya sendiri
jadi capres. Kita semakin miskin negarawan.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar