Halaman

Senin, 18 Mei 2015

dualisme para elit partai

 Politika     Dibaca :248 kali , 0 komentar
Dualisme Para Elit Partai
 Ditulis : Herwin Nur 14 Mei 2013


Panutan
Diriwayatkan, nabi Muhammad SAW turun tangan dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Rasulullah dengan bijak menolak keinginan sahabatnya yang mau membuat beliau tidur nyaman, tidak perlu beralaskan tikar daun kurma.

Zaman sekarang, di sisi lain, dalam keluarga terkadang isteri merangkap sebagai wanita karir. Dalam sistem keluarga, rangkap jabatan, rangkap fungsi, bisa diterapkan secara harmonis, serasi dan bermanfaat.

Bangsa, negara sebagai fungsi keluarga, rangkap jabatan bisa bersifat dilematis atau bahkan dikotomis. Siapa berbuat apa, proses yang harus dilewati, produk yang diharapkan, dijabarkan dalam tugas dan fungsi.

Sistem Hukum 
Hukum tertulis buatan manusia ditetapkan untuk dilanggar, berbagai pasal disusun untuk mengakomodir kepentingan pihak tertentu, diterapkan untuk mendukung pihak tersengketa yang kuat bayar. Hukum menjadi komoditas politik, tidak berpihak pada keadilan dan kebenaran.

Mesin politik yang menggerakan dan menjalankan pemerintah, sampai tingkat desa/kelurahan, bukannya tidak berdampak. Kerangka pembentuk pemerintah identik dengan kekuatan dan kekuasaan partai politik.

Kontrak politik bukan ikatan moral antar penggerak mesin politik. Mereka siap berjibaku, siap menggadaikan masa depan bangsa. Mereka faham, kalau masuk dalam putaran mesin politik akan tergilas. Mesin politik pada suhu tertentu akan menjadi bumerang, menjadi senjata makan tuan. Tumbal selalu berjatuhan, namun tidak menyurutkan antrian pendatang baru.

Di zaman Orde Lama, dimaklumatkan bahwa Revolusi tidak memakan anak kandungnya sendiri. Di era Reformasi, parpol sudah menjadi perusahaan keluarga. Kawanan parpol berjudi nasib lima tahunan, nasib bangsa menjadi taruhan. Parpol yang sedang berkuasa menjalani praktek rangkap jabatan, menjadi tuan sekaligus budak.  Bisa juga selama periode kuasa bertindak sebagai tuan, sebagai juragan. Pasca periode, selain bisa jadi penghuni rumah tahanan, bisa menjadi budak atau terkena badai kehidupan.

Janji Politik 
Ironis, tebar janji para kontestan jelang pesta demokrasi malah diganti dengan tebar senyum saat jadi tersangka bahkan terpidana korupsi. Kita harus sadari, tingkah laku mereka bukannya tanpa akibat, terutama hukum Allah. Kita  mengacu terjemahan [QS Ali ‘Imran (3) : 188] : “Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”

Misal, manfaat sebagai wakil rakyat diukur dengan sukses dunia. Bangga telah menghasilkan pasal UU yang pro-rakyat, khususnya setelah melakukan kunjungan kerja ke mancanegara. Semakin wakil rakyat ahli berdebat, seolah merasa telah berbuat untuk rakyat. Bagi yang tak bisa umbar kata, mereka bekerja di belakang layar, merasa tak perlu hadir dalam sidang DPR. Berjasa pada partai, banyak petahanan dicalonkan pemilu 2014.

Evaluasi Diri
Anggota tubuh kita, bisa jadi tuan merangkap budak, kita jangan lupa dengan terjemahan [QS An Nuur (24) : 24] : “pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan”. Kita yakini bahwa bahwa perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya pahala. Allah telah menunjukkan kepada kita dua jalan, yaitu jalan kebajikan dan jalan kejahatan [QS Al Balad (90) : 10].
                                                                                                                                         
Jagalah mulut, kemana kaki melangkah, apa saja yang kita lakukan,  bisa-bisa menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. [Herwin Nur/wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar