Halaman

Selasa, 12 Mei 2015

Indonesia darurat reformasi politik

Indonesia Darurat Reformasi Politik


Syahwat Politik
Soal urusan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, manusia acap tidak bercermin pada senyum, sapa dan salam serta jiwa gotong-royong semut; manusia sering kurang mengacu praktek pembagian tugas pada lebah; manusia selalu tidak memperhatikan makna formasi “V” migrasi burung. Justru yang dianut untuk direkayasa, dimodifikasi maupun diformulasikan adalah bagaimana cara menjadi ‘raja dan  penguasa hutan’ dengan mengandalkan 3K (kuasa, kuat, kaya).

Semboyan Sang Reformis adalah siapa yang andilnya dominan dalam me-lengserkerabon-kan Suharto sebagai RI-1, 21 Mei 1998, paling berhak menjadi presiden. Patriotisme Sang Reformis berjibaku bersama berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, pemuda melawan rezim Orde Baru di jalanan sampai menduduki gedung MPR/DPR, ternyata ada udang di balik batu. Pamrih Sang Reformis yang pasang badan sebagai pendobrak adalah merebut untuk memiliki, paling tidak berasas kalau bisa dijadikan hak milik kenapa harus dialihkan ke orang lain.

Kita bersyukur, masih ada reformis yang berjiwa kesatria, usai tugas selesai, balik kanan, kembali ke habitat semula. Mereka tidak mengenal kontrak politik, mereka mengharamkan politik transaksional, mereka hanya cinta republik ini. Titik.

Sampai tahun 2014, sudah hadir 4 presiden, sisa-sisa reformis yang sudah ketinggalan zaman masih semangat mengontrol dan mengendalikan republik. Setiap pesta demokrasi, tanpa malu, sungkan dan ragu, menampakkan diri, merasa bisa memimpin bangsa dan negara. Setiap ada kemelut bangsa, mengutamakan sumbang saran maupun saran sumbang, tepuk dada dan merasa paling berjasa. Sisa reformis sudah tidak dalam satu barisan, mereka mengusung benderanya masing-masing, berjuang bukan untuk republik. Mereka bukan sekedar menjala ikan di air keruh, justru yang membuat keruh iklim politik.

Peninggalan Politik
Reformasi Politik adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan dl bidang politik dl suatu masyarakat atau negara (sumber : http://kbbi.web.id/reformasi). Yang sudah dan sedang dipraktekkan adalah Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan oleh Pegawai Aparatus Sipil Negara.

Perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD 1945 untuk mengakomodir kepentingan politik dan diimbangi dengan hak asasi manusia. Terbukti, dominasi legislatif di dua periode SBY diimbangi koalisi partai politik sebagai pengingkaran terhadap kodrat Bhinneka Tunggal Ika. Oposisi setengah hati, hegemoni banci mendudukan politik sebagai komoditas ekonomi, mempunyai nilai jual. Industri politik menjadikan biaya politik tinggi. Panggung politik menjadi ajang jual beli kepercayaan yang berujung bagi-bagi kursi alias politik transaksional.

Tahun politik 2014, kualifikasi Presiden menjadi dilematis, sebagai  pemimpin (leaders) atau pengikut (followers). Semua parpol peserta pileg 9 April 2014 hanya siap menang, apalagi didukung hasil survei. Terjadi respons revolusioner yang terjadi pada partai politik gurem atau parpol pendatang yang memanfaatkan relung dan ceruk ekologi politik yang ditinggalkan spesies yang lebih besar yaitu PD sebagai parpol penguasa dua periode. PG, PPP dan PDI-P yang berpengalaman sejak zaman Orba terseok-seok dengan elektabilitas, biaya politik maupun politik transaksional.

Banyak pihak menginginkan perubahan, kata lain dari politik transaksional. Merubah bangsa dan negara tidak harus menjadi pemimpin bangsa/negara. Demokrasi perwakilan menjadikan faham memimpin untuk berkuasa atau berkuasa untuk memimpin.

Masyarakat Sebagai Subyek
Umat Islam mempercayai adanya Qada Mu’allaq (adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri) yang telah ditegaskan oleh Allah dalam sebagian [QS Ar Ra’d (13) : 11] : Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Allah tidak akan merubah keadaan umat Islam, selama umat Islam tidak merubah penyebab kemundurannya. Sehingga, reformasi politik sebagai bagian atau tindakan nyata merubah nasib bisa dimulai dari individu sebagai unsur masyarakat, dengan izin Allah. Dua syarat utama harus kita miliki dan kita laksanakan, yaitu memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim.

Doa umat islam secara invidu maupun berjamaah, yaitu berdoa agar mempunyai pemimpn yang amanah. Atau agar pemimpin yang ada mendapat petunjuk-Nya. Protes umat Islam kepada pemimpinnya yang kurang/tidak amanah dimulai dengan doa. Tidak perlu dengan unjuk raga dan unjuk rasa di jalanan. Apalagi dengan caci maki, mengumpat, menghujat dan tindakan anarkis. Jangan sampai mengatasi kemungkaran dengan kemungkaran. Pakai adab atau ayat, sesama muslim saling mengingatkan, saling menasihati.

Utamakan ikatan moral, antar umat Islam saling bersilaturrahim, memperkokoh barisan, memperkuat ukhuwah. Sesuai dengan firman Allah dalam [QS Ash Shaff (61) : 4] : Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.


Ironis, umat Islam sibuk ideologi atau politik, lupa ukhuwah, bahkan menyambung silaturrahim sekedar mencari dukungan pembenaran [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar