Indonesia Darurat Reformasi Politik
Syahwat Politik
Soal urusan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, manusia
acap tidak bercermin pada senyum, sapa dan salam serta jiwa gotong-royong semut;
manusia sering kurang mengacu praktek pembagian tugas pada lebah; manusia
selalu tidak memperhatikan makna formasi “V” migrasi burung. Justru yang dianut
untuk direkayasa, dimodifikasi maupun diformulasikan adalah bagaimana cara
menjadi ‘raja dan penguasa hutan’ dengan
mengandalkan 3K (kuasa, kuat, kaya).
Semboyan Sang Reformis adalah siapa yang andilnya dominan
dalam me-lengserkerabon-kan Suharto sebagai RI-1, 21 Mei 1998, paling
berhak menjadi presiden. Patriotisme Sang Reformis berjibaku bersama berbagai
elemen masyarakat, mahasiswa, pemuda melawan rezim Orde Baru di jalanan sampai menduduki
gedung MPR/DPR, ternyata ada udang di balik batu. Pamrih Sang Reformis yang
pasang badan sebagai pendobrak adalah merebut untuk memiliki, paling tidak
berasas kalau bisa dijadikan hak milik kenapa harus dialihkan ke orang lain.
Kita bersyukur, masih ada reformis yang berjiwa kesatria,
usai tugas selesai, balik kanan, kembali ke habitat semula. Mereka tidak
mengenal kontrak politik, mereka mengharamkan politik transaksional, mereka
hanya cinta republik ini. Titik.
Sampai tahun 2014, sudah hadir 4 presiden, sisa-sisa
reformis yang sudah ketinggalan zaman masih semangat mengontrol dan
mengendalikan republik. Setiap pesta demokrasi, tanpa malu, sungkan dan ragu,
menampakkan diri, merasa bisa memimpin bangsa dan negara. Setiap ada kemelut
bangsa, mengutamakan sumbang saran maupun saran sumbang, tepuk dada dan merasa
paling berjasa. Sisa reformis sudah tidak dalam satu barisan, mereka mengusung
benderanya masing-masing, berjuang bukan untuk republik. Mereka bukan sekedar
menjala ikan di air keruh, justru yang membuat keruh iklim politik.
Peninggalan Politik
Reformasi Politik adalah
perubahan secara drastis untuk perbaikan dl bidang politik dl suatu masyarakat
atau negara (sumber : http://kbbi.web.id/reformasi). Yang
sudah dan sedang dipraktekkan adalah Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan oleh
Pegawai Aparatus Sipil Negara.
Perubahan pertama sampai
perubahan keempat UUD 1945 untuk mengakomodir kepentingan politik dan diimbangi
dengan hak asasi manusia. Terbukti, dominasi legislatif di
dua periode SBY diimbangi koalisi partai politik sebagai pengingkaran terhadap
kodrat Bhinneka Tunggal Ika. Oposisi setengah hati, hegemoni banci mendudukan
politik sebagai komoditas ekonomi, mempunyai nilai jual. Industri
politik menjadikan biaya politik tinggi. Panggung politik menjadi ajang jual
beli kepercayaan yang berujung bagi-bagi kursi alias politik transaksional.
Tahun politik 2014, kualifikasi Presiden
menjadi dilematis, sebagai pemimpin (leaders)
atau pengikut (followers). Semua parpol peserta pileg 9 April 2014 hanya
siap menang, apalagi didukung hasil survei. Terjadi respons revolusioner yang
terjadi pada partai politik gurem atau parpol pendatang yang memanfaatkan
relung dan ceruk ekologi politik yang ditinggalkan spesies yang lebih besar
yaitu PD sebagai parpol penguasa dua periode. PG, PPP dan PDI-P yang
berpengalaman sejak zaman Orba terseok-seok dengan elektabilitas, biaya politik
maupun politik
transaksional.
Banyak pihak menginginkan
perubahan, kata lain dari politik transaksional. Merubah
bangsa dan negara tidak harus menjadi pemimpin bangsa/negara. Demokrasi
perwakilan menjadikan faham memimpin untuk berkuasa atau berkuasa untuk
memimpin.
Masyarakat Sebagai Subyek
Umat Islam
mempercayai adanya Qada Mu’allaq (adalah takdir yang digantung atau bersyarat,
dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak
terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu
sendiri) yang telah ditegaskan oleh Allah dalam sebagian [QS Ar Ra’d (13) : 11] : “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri.”
Allah tidak akan merubah keadaan umat
Islam, selama umat Islam tidak merubah penyebab kemundurannya. Sehingga,
reformasi politik sebagai bagian atau tindakan nyata merubah nasib bisa dimulai
dari individu sebagai unsur masyarakat, dengan izin Allah. Dua syarat utama
harus kita miliki dan kita laksanakan, yaitu memperbanyak doa dan menyambung
silaturrahim.
Doa umat islam secara invidu maupun berjamaah, yaitu
berdoa agar mempunyai pemimpn yang amanah. Atau agar pemimpin yang ada mendapat
petunjuk-Nya. Protes umat Islam kepada pemimpinnya yang kurang/tidak amanah
dimulai dengan doa. Tidak perlu dengan unjuk raga dan unjuk rasa di jalanan. Apalagi
dengan caci maki, mengumpat, menghujat dan tindakan anarkis. Jangan sampai
mengatasi kemungkaran dengan kemungkaran. Pakai adab atau ayat, sesama muslim
saling mengingatkan, saling menasihati.
Utamakan ikatan moral, antar umat Islam saling
bersilaturrahim, memperkokoh barisan, memperkuat ukhuwah. Sesuai
dengan firman Allah dalam [QS Ash Shaff (61) : 4] : “Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
Ironis, umat Islam sibuk ideologi atau politik, lupa
ukhuwah, bahkan menyambung silaturrahim sekedar mencari dukungan pembenaran [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar