Halaman

Jumat, 01 Mei 2015

sertifikasi PSK vs sertifikasi wakil rakyat

sertifikasi PSK vs sertifikasi Wakil Rakyat


Acuan Kasus
Data dari Pusat Pembinaan Sumber Daya Investasi (Pusbin SDI) Kementerian Pekerjaan Umum dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) tahun 2014 mengungkapkan bahwa hanya 10% dari tenaga kerja konstruksi Indonesia yang terdaftar sebagai “tenaga ahli”, sementara 30% terdaftar sebagai “pekerja terampil” dan 60% merupakan “pekerja tidak terampil”. Kurang dari 1 juta tenaga kerja sektor konstruksi yang dikategorikan sebagai tenaga ahli konstruksi, hanya 7,17% dari total tenaga ahli yang memiliki sertifikat [sumber : www.thebig5constructindonesia.com].

Data dan fakta di atas, jangan berharap ada yang bisa menyajikan bagaimana dengan wakil rakyat, khususnya yang sedang praktek selama satu peiode atau lima tahun di gedung MPR/DPR  Senayan, Jakarta. Atau jangan membayangkan wacana akan ada sertifikasi bagi PSK (pekerja seks komersial) sebagai langkah antisipatif, prospektif, atau bagian dari skenario jangka panjang.

Apakah ada perbedaan mendasar antara PSK dengan wakil rakyat sebagai anggota dewan yang terhormat. Perbedaan menjurus pada  karakteristik yang kontradiktif atau bertolak belakang. Apakah modal untuk menjadi PSK beda jauh dengan untuk menjadi wakil rakyat.

Asas Profesional
PSK  dan atau wakil rakyat sebagai insan manusia bebas, mereka terjebak jargon ‘bekerja untuk makan’ atau ‘makan untuk bekerja’. Agenda harian wakil rakyat adalah ‘hari ini siapa yang dimakan’. Aji mumpung menjadikan wakil rakyat bekerja tak kenal waktu, tak kenal lelah, dan tak kenal hukum. Walau jam kerja PSK bisa 24 jam, status dan posisinya yang siap ‘dimakan’ oleh siapa saja asal menuhi persyaratan administrasi. Disinyalir, menjadi PSK bukan hanya faktor ekonomi, butuh Rp, tetapi bisa karena gaya hidup, gaul dan gengsi. Panggilan jiwa menjadi acuan utama para oknum kurir, pesuruh partai politik menjadi wakil rakyat.

 Persamaan ini menjadikan mereka menganut asas profesional. Profesional adalah kata sifat untuk menunjukan kualitas layanan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki sebuah profesi. Hakikat dasar sebuah profesi adalah memberikan layanan yang berkualitas bahkan prima kepada konsumen, pelanggan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (yang dilayani atau yang melayani?).

Daya juang PSK  dan atau wakil rakyat dikenal tidak setengah-setengah, apalagi setengah hati. Kalkulasi Rp menjadi roda penggerak untuk berjibaku melawan arus kehidupan. Bahkan mereka tidak kenal ‘setengah main’.

Pertanyaan yang timbul dan muncul, yaitu sertifikat sebagai surat ijin praktek, bekerja, berprofesi maupun buka usaha. Artinya, yang tidak memilik sertifikat, tidak boleh praktek. Sebagai tenaga kerja, apakah PSK dan atau wakil rakyat, wajib melakukan prosesi kualifikasi mulai dari “tenaga ahli”, “pekerja terampil” dan “pekerja tidak terampil”. Peringkat yang disandang PSK  dan atau wakil rakyat menentukan nilai jual. Sertifikat berlaku seumur hidup atau harus diperpanjang seperti SIM.

Faktor Usia
Jabatan wakil rakyat secara yuridis dipatok sesebentar lima tahun, atau satu periode, dan tidak boleh lebih dari dua periode. Diakali dengan pindah parpol atau khususnya mendompleng parpol baru yang muncul jelang pesta demokrasi. PSK yang ‘minim pengalaman’ malah bisa bertarif atau yang ‘ahli servis’ bisa pasang tarif. Faktor umur/usia sebagai pengaruh menentukan nasib PSK di dunia kerja. Belum ada survei, menjadi PSK sebagai sambilan atau pekerjaan utama. Rahasia umum, ternyata PSK bsia sebagai pekerjaan sampingan, yang tentunya dimonopoli kaum Hawa.
. . . . . . . . .
Menurut pengamat politik Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kassim (UIN Suska) provinsi Riau, Peri Firmansyah, fenomena banyaknya wakil rakyat yang ingin mencalonkan diri ikut bersaing di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015, menandakan adanya kesenjangan antara legislatif dengan eksekutif di dalam aturan yang terjadi. [Pekanbaru,inforiau.co Senin,30 Maret 2015 | 20:19:30 WIB]
. . . . . . . . .

Siapa duga, siapa kira, siapa sangka, siapa dakwa PSK bisa alih profesi menjadi wakil rakyat atau ‘modal popularitas’ bak artis, bak selebritis memajukan diri di pilkada serentak. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar