Politika Dibaca :286 kali , 0 komentar
Parpol Islam Dan Kampanye Menjual Nama Tuhan
Ditulis : Herwin Nur , 20 Mei 2013
Tanpa terasa, umat Islam memasuki pusaran yang mendudukkan kepentingan duniawi menjadi tujuan utama. Pihak yang bermain, tanpa sungkan dan merasa riskan, menjadikan agama Islam sebagai alat. Pada strata tertentu, mereka memposisikan agama untuk mengikuti dan menyelaraskan diri dengan kepentingan. Padahal dalam mengurus kepentingan dunia, wajib mengikuti dan mengacu ajaran agama.
Lewat partai politik (parpol) sebagai kendaraan untuk meraih sukses duniawi. Tepatnya sukses duniawi dijabarkan mundur untuk mencari titik awalnya. Kepentingan dijabarkan oleh parpol Islam menjadi pasal berlapis, dari yang jelas dengan tersurat maupun tersirat sampai yang syubhat (tidak jelas halal atau haramnya suatu perkara).
Singkatnya, parpol Islam dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan dan tantangan peradaban dunia yang materialistis, secara sadar, terstruktur dan menerus malah mengorbankan peradaban Islam, menjual nama tuhan.
Titik Balik
Hidup adalah fungsi keinginan yang terukur maupun yang bersifat dinamis. Kehidupan memang tak bisa lepas dari pemandangan menipu sejenis fatamorgana.Terkadang kita memasuki fase panjang angan-angan yang disebabkan silau melihat kelancaran dan kemajuan dalam perdagangan dan perusahaan kaum tertentu. Wajar, manusia memang takut miskin, namun dalam memandang orang kaya atau kaum yang berpunya, kita mengacu terjemahan [QS Ali ‘Imran (3) : 196] : “Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri.”
Nikmat dan sukses dunia, diukur dalam skala nasional, menjadi kepala negara atau menjadi wakil rakyat yang prestisius. Mewujudkan keinginan dengan berbagai ikhtiar memang wajib, asal jangan keluar dari koridor dinding agama dan rambu-rambu agama. Karena jika keluar dengan dalih mengikuti arus formal, berarti kita telah memaksakan pembenaran pada prinsip kehidupan, bahkan menerjang arus ajaran agama.
Umat Islam bukannya diharamkan berpolitik atau mendirikan partai politik. Ingat sejarah, Bung Karno mendirikan PNI bukan bercita-cita jadi presiden (bahkan didaulat jadi presiden seumur hidup). Pak Harto tidak mempunyai parpol, tetapi bisa memanfaatkan Golkar menjadi kendaraan politik sehingga 6 pemilu bisa tetap jadi RI-1.
Umat Islam berparpol sesuai terjemahan [QS Muhammad (47) : 7] : “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Ayat di atas dan tentunya banyak ayat lain yang terkait, dijelaskan dengan Sunnah Rasul, menjadi pengingat bagi kita.
Pengingat
Umat Islam wajib aktif berkiprah dan berkontribusi nyata dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat; bukan sebagai penggembira. Meraih cita-cita individu maupun komunitas, jangan sampai menggadaikan nama tuhan. Terlebih saat disumpah ketika memangku jabatan amanah, dalam prakteknya terjebak lagu wajib, semangat bela korps untuk korupsi atau tindak pidana lainnya.
Menjadikan Islam sebagai pembungkus setiap kepentingan, kita ingat terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 86] : “Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”
Secara jumlah umat Islam bisa diperhitungkan, namun dalam ukhuwah hanya dilihat sebelah mata. Jika kita mengacu terjemahan [QS Al An’aam (6) : 116] : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”, maka kita sudah patut mengevaluasi diri. Apakah kita nyaman di parpol Islam.(Herwin Nur/wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar