Halaman

Senin, 18 Mei 2015

analisis pola kaderisasi PKS

 Politika     Dibaca :318 kali , 0 komentar
Analisis Pola Kaderisasi PKS
 Ditulis : Herwin Nur 16 Mei 2013

Akar Rumput 
Pada Gedung Balai Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) di Surabaya, milik salah satu kementerian. Kaum hawa, dari busana dan tampilannya masuk kategori warga negara akar rumput. Sederhana dan nyaris lugu, atau bahkan mungkin susah berbahasa Indonesia. Berjejal dalam kamar tidur, sebagian besar gelar tikar di lantai.

Tujuan mereka sama, yaitu mengikuti acara diklat kaderisasi oleh Partai Keadalan Sejahtera (PKS). Entah apa kepanjangan PKS saat itu, dua kali saya saksikan di periode 1999-2004. Kamar tidur yang dipakai sesuai kelas mereka, jelas bukan single bedroom. Tidur malam jendela dibuka, sebagai fungsi AC (angin cepat) alam.

Menariknya, karena Balai Diklat juga merupakan langganan kursus montir motor buatan Saudara Tua. Tidak bisa dibayangkan, beberapa hari diklat, apakah mereka betah, duduk yang manis. Apa bisa menerima, apalagi menyerap substansi diklat. Apakah mereka hanya sebagai pendengar yang baik? Apakah mereka akan mendapatkan sertifikat sebagai kader PKS? Apakah mereka bisa memahami janji politik?

Mulai dari akar rumput, PKS berupaya agar mereka tidak buta politik. Lebih lanjut, apakah mereka akan dijadikan anggota pasif PKS dan mendapatkan KTA, atau ada diklat lanjutan, dan berjenjang. Pertanyaan yang mendasar, apakah PKS tetap peduli, peka dan tanggap atas perjalanan hidup mereka. Artinya, apakah mereka hanya dibutuhkan saat pemilu, pilkada, maupun pilpres saja.

PKS sedang dan selalu mencoba berpolitik sesuai sebagian terjemahan [QS Ar Ra’d  (13) : 11] :
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Perubahan suatu kaum, bangsa maupun generasi melalui jalur politik sah-sah saja. Tetapi jika semua sendi kehidupan dipolitisir, bisa masuk perkara syubhat. Perubahan bisa diawali dan digerakkan dari bawah, memperkuat pondasi bangsa. Kontradiksi dengan pembusukan, lazim mulai dari atas.

Kalangan Akademis
Lain kisah yang terjadi di salah satu PTN di Jawa Barat, kegiatan rohis sejajar dengan ruang gerak PKS. Terjadi simbiosis mutualistis. Kampus bebas partai politik, walau banyak BEM yang memposisikan diri sebagai ahli mengkritisi kebijakan pemerintah. Bahkan sebagai pemasok tukang unjuk rasa dan unjuk raga di jalanan, atau berkolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat adakan aksi pro-rakyat. Terkadang kampus menjalankan praktek politik praktis.

Kampus sebagai representasi generasi muda, multiSARA dan sebagai kawah candradimuka. Kampus mendidik mahasiswanya dengan ilmu umum yang sudah terspesifikasi. Ilmu agama hanya didapat di awal tahun ajaran dalam porsi minimalis.

PKS masuk sesuai jiwa Tri Dharma Perguruan Tinggi. Jika PKS hanya mengusung aspek reliji jelas tidak berdaya tarik. Patut dihindari terjadinya PKS minded, PKS oriented, bahkan ekstremnya hidup mati untuk PKS.

Mahasiswa yang baik adalah yang selamanya tidak jadi mahasiswa. PKS masuk kampus lewat jalur rohis memang harus cerdas, cermat dan hati-hati. Diuntungkan dengan calon kader yang tiap tahun ajaran berganti atau bertambah. Jangan memposisikan mahasiswa sebagai pelengkap penderita atau obyek kaderisasi dari segi jumlah.

Saran Dan Simpul 
PKS melalui kadernya bisa “menguasai” pemerintah dengan menjadi pembantu presiden, mampu mengacak-acak kehidupan berbangsa dan bernegara lewat wakil rakyat. Kita harus ingat [QS Al Qashash (28) : 83] : “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri*) dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” Tidak ambisi kedudukan dunia [Herwin Nur/wasathon.com].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar