Hindari Islam dan Iman Musiman
Mengacu dimensi waktu dan ruang, umat Islam yakin
dalam satu tahun ada bulan istimewa, bulan Ramadhan, bulan mulia penuh berkah.
Umat Islam percaya dalam satu bulan terdapat hari istimewa, hari Jumat, saat
reuni mingguan para hamba Allah di rumah-Nya. Umat Islam tahu persis jika dalam
satu hari satu malam terdapat waktu istimewa, sepertiga malam terakhir, waktu
untuk komunikasi dan temu muka dengan Allah yang sedang mengabsen hambanya.
Umat Islam, bahkan umat manusia pada umumnya, memahami
secara historis ada tempat di muka bumi yang istimewa. Selain tempat, ada
banyak kejadian alam yang sudah tersurat maupun tersirat di Al Quran.
Masalahnya, pasang surut kadar Islam dan Iman seseorang
seolah mengikuti keistimewaan waktu tersebut. Di bulan Ramadhan, mendadak tanpa
komando, mulai dari anak sampai orang tua menampakkan jati diri sebagai umat
Islam. Iman dan Islam mengalami servis ringan sampai berat. Diisi ulang,
diformat ulang sampai turun mesin. Intensitas ibadah menjadi terukur. Dilema kegiatan
islami bercampur baur dengan acara adat istiadat dan budaya lokal, yang pada
umumnya bisa dilihat pada jamaah sholat tarawih.
Ironis, lepas Ramadhan, ada umat Islam yang merasa bak
lepas dari pingitan. Bebas dari belenggu waktu satu bulan yang penuh aturan
main, bahkan yang halal menjadi haram di siang hari. Tanggal 1 Syawal diartikan
sebagai serba baru, menu istimewa. Syawal sebagai awal belas dendam untuk
memenuhi panggilan perut dan pemenuhan nafsu bawah perut. Logis, rayuan duniawi
terasa lebih atraktif dan provokatif saat perut kosong. Jam kerja dikurangi
dengan harapan ybs memanfatkan waktunya untuk lebih dekat dengan Yang Maha
Pencipta. Sebulan penuh setan pensiun dari tugas utamanya untuk menggoda anak
keturunan nabi Adam a.s. Puasa 6 hari di bulan Syawal, terlupakan, walau
manfaat minimal sebagai transisi kembali ke rutinitas duniawi.
Melaksanakan ibadah sesuai rukun Islam memang diikat
dalam ketentuan waktu dan tempat, namun untuk melakukan berbagai kegiatan
amaliah lebih bebas dan luwes. Jangan lupa, ibadah dan kegiata amaliah dilakukan
sepanjang waktu. Untuk menghindari sifat Islam dan Iman musiman, kita perlu
meyakinkan diri sendiri bahwa sesuatu jika dilakukan secara menerus, akan
terasa manfaatnya. Selain amal anggota
badan, amalan hati dan amalan lisan, jika dilakukan dengan ikhlas, sabar, rutin
bisa menggerakkan dan menambah tabungan amal.
Diriwayatkan, ’Alqomah pernah bertanya
pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah saw, ”Apakah beliau
mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab : ”Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah
amalan yang kontinu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Di kesempatan waktu yang lain, nabi
Muhammad saw bersabda : “أAmalan yang paling
dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”
(HR Muslim)
Waktu istimewa dalam 24 jam, di luar sholat wajib 5
waktu, sepertiga malam terakhir untuk menegakkan sholat malam. Sabda Rasulullah
saw terkait betapa makna sholat malam : ”Wahai sekalian manusia, lakukanlah
amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai
kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah
adalah amalan yang kontinu walaupun sedikit.” (HR Muslim)
Saat manusia merasa nasibnya sedang
sial, tidak mujur atau sedang apes, ingat Allah. Ingat Allah atau atau bentuk Ibadah
lainnya tetap kita laksanakan, terlebih ketika kita sedang menikmati karunia-Nya,
karena Rasulullah saw bersabda : “Kenalilah Allah di waktu
lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” (HR Hakim)
Sifat menerus, kontinu dalam ibadah
maupun amaliah lainnya, sebagai ikhtiar nyata untuk meghindari sifat iman dan
islam musiman. Sejalan dengan detik waktu, seirama dengan detak jantung,
lakukan amal kecil secara kontinu sampai batas waku kita di dunia. Firman Allah
tersurat
dalam [QS Al Hijr (15) : 99] : "dan sembahlah Tuhanmu sampai datang
kepadamu yang diyakini (ajal).” [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar