Humaniora Dibaca :281 kali , 0 komentar
Rakyat Golput, Benarkah Sebagai Bukti Sadar Politik?
Ditulis : Herwin Nur, 28 Februari 2013
Listrik Untuk Rakyat
Pemerintah meyakini bahwa pembangunan ketenagalistrikan sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang kemudian berdampak pada pengurangan kemiskinan dan pengangguran serta menaikkan pendapatan per kapita masyarakat. Lemahnya ketersediaan pasokan listrik berdampak pada rendahnya pertumbuhan ekonomi.
2011 sesuai data sensus BPS 2010, rasio elektrifikasi atau jumlah rumah tangga di seluruh Indonesia yang sudah menikmati tenaga listrik untuk mendukung kehidupan masyarakat baru mencapai 72,95% dari total 62 juta rumah tangga. Masih terdapat sekitar 27% rumah tangga di Indonesia yang belum dapat menikmati tenaga listrik. Beberapa penyebabnya adalah kondisi daerah yang terisolasi serta kurangnya fasilitas transmisi dan distribusi yang membuat transfer kelebihan daya menjadi sangat mahal.
Pelanggan rumah tangga sangat menentukan, kendati masuk kategori pelanggan konsumtif. Jangan lupa, dalam rumah tangga sedang tumbuh generasi muda penerus bangsa, dengan kata lain kecukupan listrik rumah tangga harus dipenuhi sebagai awal pembinaan generasi muda.
Listrik sebagai modal untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), untuk menunjang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. TIK bisa jadi pisau bermata dua, bisa mencelakai si pengguna jika tidak punya pengetahuan, persepsi dan pengalaman. Pemerintah wajib melindungi rakyatnya yang masih rentan, rapuh, riskan dan rawan terhadap dampak negatif TIK dalam kehidupan sehari-hari, khususnya eksploitasi berita politik.
Politik Bukan Untuk Rakyat
Rakyat yang sudah melek politik pun, jika tiap hari disuguhi acara TV yang hanya mengulang komentar terhadap suatu kejadian, tentu akan merasa jenuh dan nyaris muak. Antar stasiun TV swasta berlomba menghadirkan tersangka sebagai bintang tamu, dalam acara dialog, diskusi dan debat yang melebihi peradilan. Rakyat diposisikan sebagai rakyat bodoh, atau minimal gampang dibodohi, dengan acara yang digelar mewah, melebihi sidang DPR. Semua semangat memamerkan keahlian dan kepakarannya, yang samar-samar menjadi terang benderang. Yang sudah jelas wujudnya, memasuki area abu-abu. Bahkan sidang DPR yang mengurus nasib bangsa, nampak adem ayem.
Di pihak lain, rakyat yang bermata pencaharian di partai politik (parpol), mereka membentuk solidaritas semu, loyalitas abal-abal, dan kesetiakawanan formal. Status terpidana malah menjadikan ybs bebas menyanyi, menarik koleganya ke ranah hukum, tidak mau menjadi korban sendirian.
Banyaknya kejadian yang aktual dan faktual, dengan pelaku utamanya adalah orang parpol, mulai dari gubernur, bupati/walikota, wakil rakyat di pusat sampai daerah, di kalangan birokrat maupun penyelenggara negara lainnya, menambah pengetahuan rakyat tentang makna golongan putih (golput).
Rakyat sadar politik sehingga mereka tidak gampang diperalat dan dimobilisasi untuk kepentingan parpol atau calon tertentu. Masyarakat akan memilih calon jika ada kemanfaatan secara kolektif yang bisa diberikan oleh calon tersebut bagi masyarakat. Pemilu, pilpres dan pilkada di era Reformasi semakin membuktikan bahwa keberadaan golput sudah merupakan bagian dari konstitusi, demokrasi dan HAM.
Langkah Proaktif Pemerintah
MPR dengan gigih dan giat mensosialisasikan 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain; mengadakan Lomba Cerdas Cermat tingkat SMA. Pelajar SMA sebagai pemilih pemula, diharapkan tidak golput. Masih terjadi penyelenggara pesta demokrasi enggan mendatangi pemilih yang fanatik, tinggal di pelosok atau yang lokasinya belum mendapat aliran listrik.
Rekam jejak caleg dan calon pasangan kepala daerah, menyebabkan rakyat sudah langsung bisa menentukan pilihannya. Secara menerus suara golput di atas pemenang, siapa yang patut dikambinghitamkan! [Herwin Nur/wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar