Halaman

Jumat, 29 Mei 2015

jilbab tentara wanita dan simbol semangat topi baja

JILBAB TENTARA Wanita dan SIMBOL Semangat topi baja


Tentara di medan perang, di palagan, berada di garis depan, posisi di daerah lawan maupun di daerah abu-abu merasa aman dengan memakai topi baja dan rompi anti peluru. Penggunaan alutsista TNI (alat utama sistem senjata Tentara Nasional Indoneisa) semakin menambah keyakinan dan percaya diri dalam melaksanakan kewajiban sebagai perajurit. Perangpun punya aturan main, dalam bentuk Hukum Humaniter.

Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum humaniter merupakan kelanjutan hukum hak asasi manusia yang diterapkan pada waktu perang. Hukum humaniter yang dibuat melalui suatu perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional, namun substansinya banyak mengatur hal-hal yang menyangkut individu, atau dengan kata lainnya subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hukum humaniter banyak mengatur tentang perlindungan bagi orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat dalam suatu peperangan.

Keberadaan tentara wanita di Indonesia, bukan hal baru serta bukan hal yang tabu. Sejarah mencatat, wanita maju perang bukan sekedar sebagai prajurit umpan peluru bahkan sebagai aktor intelektual, penggerak dan langsung memimpin di medan perang. Pahlawan wanita tidak hanya karena mengangkat senjata, bisa melalui dari semua aspek dan sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ketika sedang tidak musim perang, tentara wanita akan merasa aman, nyaman dan tetap berjiwa militer karena mempunyai payung hukum dan dasar hukum, yaitu hukum Allah. Kebijakan formal dari Panglima TNI yang menetapkan penggunaan jilbab, atau sebutan lainnya, bagi tentara wanita, tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan dengan kandungan makna Sumpah Prajurit, Sapta Marga dan 8 Wajib TNI dan bagi Perwira ada kode etik Perwira dan 11 azas kepemimpinan.

Keselamatan tentara wanita di saat tidak perang, di kantor atau dalam kondisi siaga, harus dicermati, perlu payung hukum dan landasan hukum.  Apalagi apakah keberadaan tentara wanita dibanding dengan jumlah penduduk sesudah sesuai ratio ideal? Posisi tentara wanita mulai dari prajurit strip abang sampai perwira tinggi, bukan sebagai pelengkap, bukan sebagai pemanis.


Untuk mewujudkan prajurit profesional, tentara wanita profesional, tidak hanya kandungan akademis atau strata kemiliteran yang dipoles, yang dinomersatukan, yang diprioritaskan, tetapi landasan religius, agamais dan khususnya islami menjadi pondasi. Semua berpulang dan  tergantung niat, itikad baik dan tingkat kepedulian pimpinan tentara. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar