JILBAB
TENTARA Wanita dan SIMBOL Semangat topi baja
Tentara di medan
perang, di palagan, berada di garis depan, posisi di daerah lawan maupun di
daerah abu-abu merasa aman dengan memakai topi baja dan rompi anti peluru. Penggunaan
alutsista TNI (alat utama sistem senjata Tentara Nasional Indoneisa) semakin
menambah keyakinan dan percaya diri dalam melaksanakan kewajiban sebagai
perajurit. Perangpun punya aturan main, dalam bentuk Hukum Humaniter.
Hukum humaniter
internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu disebut
dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum humaniter merupakan
kelanjutan hukum hak asasi manusia yang diterapkan pada waktu perang. Hukum humaniter
yang dibuat melalui suatu perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional,
namun substansinya banyak mengatur hal-hal yang menyangkut individu, atau
dengan kata lainnya subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hukum humaniter
banyak mengatur tentang perlindungan bagi orang-orang yang terlibat atau tidak
terlibat dalam suatu peperangan.
Keberadaan tentara
wanita di Indonesia, bukan hal baru serta bukan hal yang tabu. Sejarah
mencatat, wanita maju perang bukan sekedar sebagai prajurit umpan peluru bahkan
sebagai aktor intelektual, penggerak dan langsung memimpin di medan perang. Pahlawan
wanita tidak hanya karena mengangkat senjata, bisa melalui dari semua aspek dan
sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ketika sedang tidak
musim perang, tentara wanita akan merasa aman, nyaman dan tetap berjiwa militer
karena mempunyai payung hukum dan dasar hukum, yaitu hukum Allah. Kebijakan
formal dari Panglima TNI yang menetapkan penggunaan jilbab, atau sebutan
lainnya, bagi tentara wanita, tidak bertentangan dan tidak perlu
dipertentangkan dengan kandungan makna Sumpah Prajurit, Sapta Marga dan 8 Wajib
TNI dan bagi Perwira ada kode etik Perwira dan 11 azas kepemimpinan.
Keselamatan tentara
wanita di saat tidak perang, di kantor atau dalam kondisi siaga, harus
dicermati, perlu payung hukum dan landasan hukum. Apalagi apakah keberadaan tentara wanita
dibanding dengan jumlah penduduk sesudah sesuai ratio ideal? Posisi tentara
wanita mulai dari prajurit strip abang sampai perwira tinggi, bukan sebagai
pelengkap, bukan sebagai pemanis.
Untuk mewujudkan
prajurit profesional, tentara wanita profesional, tidak hanya kandungan
akademis atau strata kemiliteran yang dipoles, yang dinomersatukan, yang
diprioritaskan, tetapi landasan religius, agamais dan khususnya islami menjadi
pondasi. Semua berpulang dan tergantung
niat, itikad baik dan tingkat kepedulian pimpinan tentara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar