Meruwat
dan merawat Nusantara, agar jangan semangkin keblusuk dan keblasuk
Rakyat sudah mengetahui begitu ada bencana alam (antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah langsor), pihak mana yang bisa langsung bergerak melakukan
tindak turun tangan atau melakukan penanggulangan bencana (UU24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana). Semangat otonomi daerah, pihak pemerintah provinsi
atau pemerintah kabupaten/pemerintah kota sibuk rapat konsolidasi. Saling
melempar tanggung jawab. Ujung-ujungnya meyalahkan pemerintah pusat yang tidak
tanggap. Pihak terakhir yang peduli adalah kawanan parpolis dengan mendirikan
posko penuh atribut partai, numpang nampang.
Rakyat yang notabene buta
politik praktis, sudah hafal jika pasca pesta demokrasi, terkhusus pasca 2
periode pasca SBY (2004-2009 dan 2009-2014), ternyata pihak yang menang tidak
siap, sigap dan siaga melanjutkan jalannya pemerintahan. Mereka sibuk bagi
hasil, siapa mendapat apa, siapa kebagian apa, siapa jadi apa. Mereka sibuk
mengkalkulasi asas balas jasa sekaligus balas dendam. Bahkan punggawa, bolo
dupak, dupak kuli tim sukses, konon punya mental nasi bungkus, atau bermodal ‘hamung ngerti hak,
ning nora ngerti kewajiban’, berharap kebagian rezeki, kendati terpaksa ngoreti
wajan Revolusi Mental ala Jokowi-JK. Kita baru belajar politik dalam arti
mencari pendukung, belum belajar politik estafet.
Rakyat yang menggunakan hak
pilih, yang acap dianggap sebagai kewajiban warga negara yang baik dan benar,
diperhatikan haknya selama 5 menit untuk 5 tahun. Atau dielus-elus selama 5
tahun agar hari-H, selama 5 menit agar tahu diri. Golongan Putih dimaknai dari
dua sisi. Modus sisi pertama, rekayasa penyelenggara pemilu agar komunitas atau
daerah berbasis parpol tertentu tidak bisa ikut pencoblosan. Modus sisi kedua,
sebagai bentuk pernyataan diri bahwa tidak ada calon atau parpol yang patut dan
layak dipercaya.
Rakyat tanpa diopini oleh berita
versi media massa, sudah tahu persis betapa belangnya pesaing SBY yang kini,
2014-2019, sedang kipas-kipas. Tidak peduli sedang terjadi bencana politik. Bandar
politik merasa nasib kepala negara ada dikendalinya, perjalanan karier politik
presiden ada ditangannya. Duduk yang manis, merasa dirinya sebagai anak manis,
seolah tinggal meneguk manisnya negara sebagai warisan. Jangan sampai anak yang manis bertransformasi
menjadi drakula politik, yang haus dan dahaga kekuasaan turun temurun.
Rakyat tak ingin nasibnya terjun
bebas. Negara ini banyak pilotnya. Mulai mantan pilot sampai ada yang merasa
bisa jadi pilot. Pesawat terbang yang bernama bangsa dan negara dipertaruhkan.
Mau diblusukan kemana, mau diblasukan kemana, . . . . Jangan
sampai keblusuk (terperosok) ke lubang yang sama sampai melebihi
kebebalan keledai. Jangan sampai keblasuk (kesasar) ke area
remang-remang. Semua serba abu-abu : susah menentukan mana kawan mana lawan.
Susah menebak mana sekutu mana seteru. Susah menduga mana sahabat mana musuh.
Susah mengira mana pendukung mana penjegal. Lebih parah dibanding kondisi pasca
reformasi sampai pesta demokrasi 2004. Ingat jargon Reformasi : sesama penjagal
dilarang saling menjegal, sesama penjegal dilarang saling menjagal. (makanya
Nusantara perlu diruwat dan dirawat).
Rakyat tahu, bahwa ilmu kasunyatan
yang dipraktikkan oleh Jokowi kalah ampuh, kalah digdaya, kalah cespleng dengan
aji mumpung atau mumpun aji yang dipakai kawanan KIH (bukan Koalisi Ingin Hasil
bagi). Tim sukses yang telah sukses kebagian kursi, khususnya ring-1, menjadi
lupa daratan, menjadi lupa diri, menjadi lupa ingatan. Lingkar pertama Jokowi
sebagai pagar betis, pagar hidup dan sekaligus sebagai “anjing penjaga”. Gegar
politik dan gempa politik semakin nyata, masif dan berdampak. Ekonomi rakyat
yang berbasis isi perut sehari tetap berjalan (berjalan di tempat). Hukum berantas
korupsi dikebiri secara sistematis oleh aparat keamanan. Syukurlah, pemerintah
telah menyediakan dan akan membagi gratis Kartu Indonesia Sabar. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar