Halaman

Senin, 18 Mei 2015

Meruwat dan merawat Nusantara, agar jangan semangkin keblusuk dan keblasuk

Meruwat dan merawat Nusantara, agar jangan semangkin keblusuk dan keblasuk


Rakyat sudah mengetahui begitu ada bencana alam (antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor), pihak mana yang bisa langsung bergerak melakukan tindak turun tangan atau melakukan penanggulangan bencana (UU24/2007 tentang Penanggulangan Bencana). Semangat otonomi daerah, pihak pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/pemerintah kota sibuk rapat konsolidasi. Saling melempar tanggung jawab. Ujung-ujungnya meyalahkan pemerintah pusat yang tidak tanggap. Pihak terakhir yang peduli adalah kawanan parpolis dengan mendirikan posko penuh atribut partai, numpang nampang.

Rakyat yang notabene buta politik praktis, sudah hafal jika pasca pesta demokrasi, terkhusus pasca 2 periode pasca SBY (2004-2009 dan 2009-2014), ternyata pihak yang menang tidak siap, sigap dan siaga melanjutkan jalannya pemerintahan. Mereka sibuk bagi hasil, siapa mendapat apa, siapa kebagian apa, siapa jadi apa. Mereka sibuk mengkalkulasi asas balas jasa sekaligus balas dendam. Bahkan punggawa, bolo dupak, dupak kuli tim sukses, konon punya mental nasi bungkus, atau bermodal ‘hamung ngerti hak, ning nora ngerti kewajiban’, berharap kebagian rezeki, kendati terpaksa ngoreti wajan Revolusi Mental ala Jokowi-JK. Kita baru belajar politik dalam arti mencari pendukung, belum belajar politik estafet.

Rakyat yang menggunakan hak pilih, yang acap dianggap sebagai kewajiban warga negara yang baik dan benar, diperhatikan haknya selama 5 menit untuk 5 tahun. Atau dielus-elus selama 5 tahun agar hari-H, selama 5 menit agar tahu diri. Golongan Putih dimaknai dari dua sisi. Modus sisi pertama, rekayasa penyelenggara pemilu agar komunitas atau daerah berbasis parpol tertentu tidak bisa ikut pencoblosan. Modus sisi kedua, sebagai bentuk pernyataan diri bahwa tidak ada calon atau parpol yang patut dan layak dipercaya.

Rakyat tanpa diopini oleh berita versi media massa, sudah tahu persis betapa belangnya pesaing SBY yang kini, 2014-2019, sedang kipas-kipas. Tidak peduli sedang terjadi bencana politik. Bandar politik merasa nasib kepala negara ada dikendalinya, perjalanan karier politik presiden ada ditangannya. Duduk yang manis, merasa dirinya sebagai anak manis, seolah tinggal meneguk manisnya negara sebagai warisan.  Jangan sampai anak yang manis bertransformasi menjadi drakula politik, yang haus dan dahaga kekuasaan turun temurun.

Rakyat tak ingin nasibnya terjun bebas. Negara ini banyak pilotnya. Mulai mantan pilot sampai ada yang merasa bisa jadi pilot. Pesawat terbang yang bernama bangsa dan negara dipertaruhkan. Mau diblusukan kemana, mau diblasukan kemana, . . . . Jangan sampai keblusuk (terperosok) ke lubang yang sama sampai melebihi kebebalan keledai. Jangan sampai keblasuk (kesasar) ke area remang-remang. Semua serba abu-abu : susah menentukan mana kawan mana lawan. Susah menebak mana sekutu mana seteru. Susah menduga mana sahabat mana musuh. Susah mengira mana pendukung mana penjegal. Lebih parah dibanding kondisi pasca reformasi sampai pesta demokrasi 2004. Ingat jargon Reformasi : sesama penjagal dilarang saling menjegal, sesama penjegal dilarang saling menjagal. (makanya Nusantara perlu diruwat dan dirawat).


Rakyat tahu, bahwa ilmu kasunyatan yang dipraktikkan oleh Jokowi kalah ampuh, kalah digdaya, kalah cespleng dengan aji mumpung atau mumpun aji yang dipakai kawanan KIH (bukan Koalisi Ingin Hasil bagi). Tim sukses yang telah sukses kebagian kursi, khususnya ring-1, menjadi lupa daratan, menjadi lupa diri, menjadi lupa ingatan. Lingkar pertama Jokowi sebagai pagar betis, pagar hidup dan sekaligus sebagai “anjing penjaga”. Gegar politik dan gempa politik semakin nyata, masif dan berdampak. Ekonomi rakyat yang berbasis isi perut sehari tetap berjalan (berjalan di tempat). Hukum berantas korupsi dikebiri secara sistematis oleh aparat keamanan. Syukurlah, pemerintah telah menyediakan dan akan membagi gratis Kartu Indonesia Sabar. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar