Mencari Format Wakil Rakyat Pro-Rakyat
“Sabda Rasulullah SAW, tegaknya Negara
ditunjang empat pilar. Pertama bi’ilmil ulama (dengan ilmu ulama), kedua
bi-adillatil umaro (dengan keadilan para pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa),
ketiga bisaqoowatil aghniyaa (peran para aghniya/orang-orang kaya), keempat
bidu’aail fuqoroo-i wal masaakiin (doanya orang-orang lemah).”
Di era Reformasi banyak anak bangsa yang cerdik pandai melalui
jalur partai politik memunculkan tafsir 4 Pilar Kehidupan berbangsa dan bernegara,
yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. 4 Pilar Kebangsaan
ini menjadi kebanggaan dan produk unggulan MPR RI 2009-2014.
Khilafah mempunyai empat pilar (qaidah) yang mutlak wajib ada demi
keberadaan dan kelangsungan keberadaan Khilafah. Khilafah dapat disebut juga
“negara Islam” (ad dawlah al islamiyah) atau “sistem pemerintah Islam” (nizham
al hukm fi al islam). Jika salah satu pilar ini tidak ada, berarti Khilafah
tidak ada atau telah berubah menjadi bentuk negara atau sistem pemerintahan
lain yang tidak Islami. Kedudukan empat pilar ini seperti halnya rukun shalat,
yang jika salah satu rukun itu tidak terpenuhi, maka shalatnya tidak sah dan
tidak diterima oleh Allah SWT.
Keempat pilar Khilafah ini adalah sebagai berikut :
Pertama, kedaulatan di
tangan syariah, bukan di tangan rakyat.
Kedua, kekuasaan di
tangan umat.
Ketiga, mengangkat satu
orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin.
Keempat, hanya khalifah
saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’, dan khalifah saja yang
berhak melegislasi UUD dan segenap UU. (diadop dari berbagai sumber)
Mengacu sabda Rasulullah SAW di atas, jika
dibandingkan dengan status dan kondisi nyata di Indonesia.
Pertama, dengan ilmu ulama.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Din Syamsuddin mengajak organisasi kemasyarakatan dan umat Islam bisa berperan
menjadi penentu masa depan bangsa dan negara. Ormas (organisasi kemasyarakatan)
dan umat hendaknya menampilkan Islam yang menjadi kekuatan penentu masa depan
Indonesia. Ajakan Din saat membuka Rakernas MUI, Jumat 12 September 2013, di
Jakarta.
Ormas maupun umat Islam diharapkan tidak
berpecah-belah serta harus berperan efektif dalam perubahan yang terjadi. Sistem
liberal yang diterapkan saat ini dapat
mengancam peranan umat Islam di Indonesia. Akibat liberalisasi, Nasionalis
Islam sulit dikembalikan. Rakernas MUI diharapkan bisa menjadi ajang musyawarah
untuk peningkatkan kinerja organisasi.
Menghadapai negara sebagai organisasi
besar, bagaimana peran MUI yang sebagai representasi ilmu ulama. MUI sebagai
pelengkap, sebagai syarat formal atau hanya sebagai penggembira. Atau hanya
sebagai wadah formal ulama agar bisa dikontrol oleh negara.
Kedua, dengan keadilan para pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa.
Umat Islam terjebak pada pemikiran bahwa
berpolitik yang berarti menyelenggarakan negara dipandang sebagai sekedar
urusan dunia. Ormas Islam bahkan tidak mengawal jalannya pemerintah, lebih
nyaman mengkritisi pemerintah.
Parpol Islam di eksekutif, terutama
legislatif, lebih menyuarakan lagu wajib lokal daripada suara umat. Lebih
terikat kontrak dengan parpol ketimbang hubungan moral dengan rakyat
pemilihnya.
Ketiga,
peran para aghniya/orang-orang kaya.
Orang kaya tidak perlu berpolitik, karena
sebagai pengusaha, pemodal, penyandang dana, dapat mengendalikan jalannya
politik negara. Mereka dapat akses untuk pesan bab dan pasal dalam proses
legislasi DPR.
Keempat, doanya orang-orang lemah.
Orang lemah dalam menjalankan kehidupan
islami lebih memilih menghindari konflik horizontal, dengan asas toleransi
serta memahami bahwa Allah tidak tidur. Akumulasi daya juang, keprihatinan
serta doa akan berdampak luar biasa.
Terlebih jika orang lemah masuk tataran
teraniaya, terzalimi [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar