Halaman

Rabu, 13 Mei 2015

prostitusi ideologi politik, bukti anak bangsa takut miskin

Prostitusi Ideologi Politik, Bukti Anak Bangsa Takut Miskin

Umat Islam mempercayai adanya Qada Mu’allaq (adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri) yang telah ditegaskan oleh Allah dalam [QS Ar Ra’d (13) : 11] : Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Perubahan pertama dan utama yang pernah dibuktikan manusia hanyalah melakukan perubahan tanpa mengharapkan terjadinya dampak perubahan. Manusia lebih suka terjebak pada kebiasaan harian. Perubahan secara sadar adalah menikmati dan mengkuti bergulirnya perjalanan waktu dari skala detik sampai skala tahun.

Perubahan tidak hanya sebagai kewajiban individu, seperti kesholehan. Walau daya juang perorangan bisa menjadi pemacu dan pemicu perubahan. Perubahan menjadi wajib dilaksanakan oleh komunitas, kelompok, kaum, bahkan bangsa serta terasa secara sistemik, masif dan berkelanjutan.

Singkat kata, perubahan bangsa yang bisa diukur secara formal adalah pergerakan partai politik. Perubahan dirasakan dalam skala lima tahunan, khususnya sejak Reformasi 21 Mei 1998. Perubahan politik jika dinalar dalam tatanan dan tataran logika politik, ternyata sesuai yang tersurat dan tersirat melalui firman Allah dalam [QS Al Baqarah (2) : 115] : Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Artinya, penggerak perubahan karena manusia Indonesia memang sudah sesuai ‘dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan’. Boleh dibilang takut miskin, khususnya takut miskin harta benda. Jangan diartikan tidak takut miskin jiwa. Bisa dikatakan tidak menjadi takut karena merasa jumlahnya banyak. Ada yang diandalkan sampai ada yang bisa dikorbankan atau layak dijadikan kambing hitam. Berhala Reformasi 3K (Kaya, Kuasa, Kuat) menjadi panutan atau plat form mengapa anak bangsa getol mendirikan parpol jelang pesta demokrasi.

Tabiat anak bangsa di industri dan syahwat politik, sebagai dampak nyata, sebagai dampak timbal balik dari :  “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” (Pasal 38E, ayat (3) UUD RI 1945 perubahan kedua), bahasa jelasnya agar bisa menyalurkan ambisi politiknya dengan ikut pesta demokrasi lima tahunan.

Politik diterjemahkan sebagai ikhwal menyelenggarakan negara. Penyelenggara negara,  khususnya pada legislatif dan eksekutif (kepala negara) yang didominasi oleh parpol, maka dikuatirkan yang akan tersangkut tipikor tak jauh dari orang parpol. Tipikor masuk ranah hukum, proses hukumnya rawan intimidasi atau kendali yang berbau politisasi maupun sandera politik. Kasusnya bisa bertele-tele, semakin dikuak semakin menyeret berbagai pihak.

Aroma irama syahwat politik Indonesia setiap jelang pesta demokrasi, adakah merupakan perwujudan politik askétis di Indonesia, atau paling tidak mendekati. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, askétisisme adalah paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban.  Jadi, politik asketis adalah  pilihan politik yang mengedepankan fungsionalitas dengan menjadikan kesederhanaan, kejujuran dan berkorban jalan hidup.

Khususnya parpol sebagai wadah perjuangan nilai bukan transaksional-pragmatis. Berdirinya parpol sebagai proses alami akan kebutuhan wadah untuk mewujudkan cita-cita, mencapai tujuan bersama.

Sesekali kita menyimak berita berjudul : “Motif Prostitusi Bukan Ekonomi, Pemerintah Harus Beri Efek Jera”.

 REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengimbau agar pemerintah tidak lepas tangan menangani masalah darurat prostitusi di Indonesia.

"Pemerintah tidak boleh lepas tangan karena mereka harus memberikan pembinaan untuk mencegah dan memberikan efek jera," kata Saleh saat dihubungi ROL, Senin (11/5).

Jika ada praktik perdagangan/penjualan manusia atau bahasa jurnalis adalah human trafficking, diimbangi dengan fakta jual beli organ tubuh manusia serta mitos atau fakta bahwa  tubuh PSK bukan mesin, namun dapat disimpulkan bahwa ternyata dan nyatanya para pekerja politik takut miskin.

Prostitusi idiologi yang terjadi sudah melampaui kapasitas dan daya dukung zaman sekarang. Masa depan bangsa sudah digadaikan, dikapling dalam format dendam politik.

Pemilihan ketua umum parpol yang melahirkan kubu, loyalis atau dipilih secara aklamasi malah semakin membuktikan mereka takut miskin. Anggota legislatif yang ikut pilkada, bentuk lain dari takut miskin [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar