Halaman

Minggu, 10 Mei 2015

metode antisipasi besaran upah buruh

Metode antisipasi besaran upah buruh


Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (UU 21/2000 tentang “Serikat Pekerja/Serikat Buruh”).

Ada pihak yang mengatakan bahwa terdapat pekerja berkerah putih (white collar workers) diidentifikasikan sebagai pekerja yang terampil, tetap dan bergaji, serta pekerja berkerah biru (blue collar workers) diidentifikasikan sebagai pekerja yang tidak terampil, temporer dan hanya menerima upah.

Jangan diartikan utawa disimpulkan pekerja/buruh Indonesia, sesuai UU 21/2000, termasuk pekerja berkerah biru (blue collar workers). Kawanan, komunitas, kelompok pekerja/buruh Musantara boleh bangga, karena ada menteri yang khusus menangani nasibnya. Bahkan pekerja/buruh mempunyai lebih dari satu presiden.

Kebanggan lainya, tiap 1 Mei dikenang sebagai Hari Buruh Internasional, dijadikan hari libur nasional. Tiap 1 Mei mereka menjadi raja. Merasa punya hak untuk menuntut setumpuk haknya. Merasa pemerintah maupun pengusaha wajib memenuhi tuntutannya dengan ikhlas.

Salah satu tuntutan buruh, yang menjadi agenda utama dan pertama, adalah agar Upah dinaikkan secara berkala atau menyesuaikan dengan kenaikkan harga sembako. Upah pekerja/buruh ditetapkan oleh pemerintah provinsi (khusus di Jakarta, dengan istilah Upah Minimum Provinsi, disingkat UMP) dan sisanya ditetapkan oleh pemerintah kabupatan/kota dalam tataran Upah Minimum Kabupaten/kota, disingkat UMK.
---------
“Ini daftar lengkap Upah Minimum Provinsi 2015 di seluruh Indonesia”
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menyatakan seluruh provinsi di Indonesia telah menetapkan upah minimum provinsi atau UMP dan upah minimum kabupaten/kota atau UMK 2015. Dari 33 provinsi yang telah menetapkan upah minimum, sekitar 29 provinsi menetapkan UMP. Sedangkan empat provinsi tidak menetapkan UMP yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.

“Keempat provinsi ini tidak menetapkan UMP, hanya UMK,” jelas Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenakertrans Wahyu Widodo seperti dilansir Liputan6.com.

Wahyu menjelaskan, rata-rata kenaikan UMP secara nasional mencapai 12,77 persen dari Rp 1,58 juta menjadi Rp 1,78 juta.  Angka ini sekitar 99,53 persen dari rata-rata komponen hidup layak (KHL) nasional yang dipatok Rp 1,81 juta.

Tidak terpaut jauhnya antara UMP dengan KHL menunjukkan bahwa para pemimpin daerah telah membuktikan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya lewat UMP.

UMP 2015 itu seperti jaringan pengaman. Dengan UMP yang mendekati KHL itu mengarahkan masyarakat agar bisa hidup dengan layak. Ke depan, yang harus dipikirkan para Gubernur adalah bagaimana cara mengaitkan upah dengan tingkat produktivitas pekerja,” jelas dia. (Sumber : http://simomot.com/)
---------
Andai tuntutan pekerja/buruh dilaksanakan, maka pepatah Jawa: “uwis dike'i ati isih ngrogoh rempela” akan berlaku. Ilmu ekonomi sehari telah merumuskan rumusan  pas : cukup : kurang.

Kita coba dengan mengamati UMK :

Pertama, jika UMK sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah, maka upah sekecil itu akan PAS untuk hidup sederhana, bahkan untuk pekerja/buruh yang sudah berkeluarga. Uang dikelola dengan cerdas dan bijak.

Kedua, jika UMK sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah dinaikkan 120% sampai 150% tiap tahun, maka upah sekecil itu bisa CUKUP untuk hidup layak. Keluarga pekerja/buruh bisa merintis masa depannya.

ketiga, jika UMK sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah dilipatkan hingga 300% tiap tahun, walhasil upah sekecil itu malah akan terasa KURANG dengan gaya hidup pekerja/buruh. Mereka serta merta menyusun daftar belanja konsumtif untuk mendongkrak harga diri.

Jadi . . . . .  [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar