Halaman

Jumat, 29 Mei 2015

mahkota muslimah, antara rasa malu dan percaya diri

 IslamView     Dibaca :497 kali , 0 komentar
Mahkota Muslimah, Antara Rasa Malu dan Percaya Diri
 Ditulis : Herwin Nur 05 April 2013

Ibarat Pepatah
Kaum hawa di depan pengadilan manusia sebagai tersangka kasus korupsi, menggunakan pepatah : “Malu membohongi dan menipu diri sendiri akan mendapat vonis berlapis”. Terinspirasi kiat makhluk alam liar menyelamatkan diri dari bahaya, para tersangka penuh percaya diri memanipulasi watak dengan mendadak alim, mendadak lupa, pura-pura sakit sampai memeras air mata. Ketika vonis ringan, mereka mendadak riang, lupa akan aktingnya.
Di panggung kehidupan, demi meraih harapan, demi mewujudkan impian, menghadapi persaingan bebas, rasa malu dan percaya diri sudah tidak masuk ranah moral, lebih dikaitkan dengan makna berani. Bisa dikata “malu tak akan maju”, berlaku untuk semua cabang kehidupan. Tidak malu melakukan pekerjaan yang nampak hina dan kotor, misal jadi pemulung sampah, ditingkatkan menjadi tidak malu melakukan “pekerjaan paling hina dan kotor” sekalipun.
Identitas Akhlak
Rasulullah saw telah nyata dan jelas mewariskan teladan pada kita, yaitu rasa malu sebagai identitas akhlak Islam. Rasa malu merupakan pasangan dari iman. Fokus dan khusus bagi muslimah, rasa malu adalah mahkota kemuliaan bagi dirinya. Rasa malu yang diperoleh sebagai hidayah maupun perjuangan, akan menjadi benteng diri. Rasa malu akan menjadi tanda peringatan dini sebelum berucap dan bertindak. Percaya diri bukan sekedar tanpa rasa malu, apalagi yakin apa yang diucapkan dan dilakukan adalah benar.
Sebagaimana sabda Rasululloh saw, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR Hakim). Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, yang artinya: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (HR Bukhari)
Kehidupan Dunia
Ketika kesuksesan seseorang diukur dengan sukses dunia, maka wajar kalau kekayaan yang dikonversikan ke dalam Rupiah atau mata uang asing menjadi tolok ukur, pembanding atau penentu posisi terhadap barisan orang kaya se dunia. Meraih sukses bisa meniti jalur lambat tetapi aman, sabung nyawa dan adu nyali di jalur cepat, atau memanfaatkan jasa orang pintar untuk mengawal di jalur pintas.
Muslimah yang sedang berproses dengan masa depan, khususnya yang masuk kategori wanita karir, akan berhadapan dengan dilema hidupnya. Ajang interaksi dengan lawan jenis dalam pergaulan, pendidikan maupun pekerjaan, akan merasa malu jika menampilkan jati diri sebagai muslimah.
Di panggung hiburan, banyak kaum hawa harus total berprofesi. Masih nampak muslimah yang konsisten dengan jati diri. Muncul masalah jika ada tuntutan skenario dan tantangan pekerjaan. Semangat emanisipasi jangan dijadikan alasan untuk meminimalisasi jati diri. Muslimah mengacu terjemahan [QS Faathir (35) : 5] : “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”.
Kehidupan dunia jangan mempengaruhi, mengedalikan bahkan mendikte sepak terjang muslimah. Sabda Rasulullah saw yang menyiratkan kekhawatiran : “Sesungguhnya dari perkara-perkara yang aku khawatirkan menimpa kalian setelahku adalah permasalahan perut-perut kalian (kerakusan), kemaluan-kemaluan kalian (syahwat), dan hawa nafsu-hawa nafsu yang menyesatkan.” (HR al-Imam Ahmad) Kekhawatiran lain Rasulullah saw, sabdanya : ”Binasalah kaum laki laki yang mentaati para wanitanya.” (HR Ahmad dan Thabarani). Inilah tantangan muslimah Indonesia saat ini, Bahkan lebih berat dan beragam, dibanding dengan Islam minoritas di negara yang maju sekalipun. [Herwin Nur/wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar