Halaman

Senin, 25 Mei 2015

pedoman moral dan pembentukan karakter dalam kepemimpinan

Submitted for the ASC PAPER COMPETITION 2009PEDOMAN MORAL DAN 
PEMBENTUKAN KARAKTER 
DALAM KEPEMIMPINANHerwin Nur
dan
Arni Nurwida











etnik-tekad



Pedoman Moral dan Pembentukan Karakter dalam Kepemimpinan.

ABSTRAK
Terkadang kita tak bisa memakai kaca mata moral dalam meneropong baik buruknya pimpinan. Bisa-bisa malah seperti meludah ke atas. Banyak kriteria yang harus dipakai dalam menetapkan keberhasilan seseorang pemimpin. Dari satu aspek seorang pemimpin kurang berhasil, namun dari aspek yang lain gemilang. Misal, ada seorang bapak yang sukses di kantornya sebagai top manajer, tetapi kurang sukses di rumah tangganya sebagai kepala keluarga. Ada seorang perwira tinggi yang mampu mengomandani ribuan personilnya, tetapi kelabakan untuk mengomando kelima anaknya. Dari sekian faktor penyebab seseorang bisa jadi pemimpin (kepandaian, kekayaan), yang akan tetap dikenang walau sudah tidak memimpin, adalah karakter, watak dan temperamennya. Karakter, watak dan temperamen [pemimpin yang baik] merupakan cerminan jiwa yang sudah teruji, karena mengalami pasang surut serta bersumber dari moral.

LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini kita acap direpoti dengan kepemimpinan nasional, sering disibuki dengan sepak terjang antara yang pro dan kontra. Akhirnya enerji kita tersedot dan terkuras pada pemberitaan kasus dan konflik internal para pemimpin bangsa. Pada saat babak penyaringan dan penjaringan, banyak orang yang merasa bisa menjadi pemimpin. Dari yang punya modal pernah mendirikan partai politik sampai yang merasa berjiwa muda bersemangat pembaharuan, yang berjanji akan mengadakan perubahan.
Pada saat pemimpin nasional sedang menjalankan amanah atau kepercayaan dari rakyat, banyak orang yang merasa lebih pandai, lebih cakap, lebih cerdik, lebih layak, lebih patut, lebih berkelas. Unjuk rasa, unjuk raga, unjuk suara sampai unjuk gigi di jalanan yang selalu mengatasnamakan rakyat, menyuruh presiden turun atau berhenti di tengah jalan. Kalau perlu, dalam rangka pemaksaan kehendak bisa berbuntut malapetaka dan bencana demokrasi (kasus usulan pembentukan Protap yang berdampak pada kematian Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara, 3 Februari 2009).
Banyak orang bisa melihat, mengamati, meneliti, mengukur, menakar dan menimbang kekurangan pemimpinnya, khususnya pemimpin formal. Banyak orang mengandalkan kapasitas akademis, sampai yang berbekal pengalaman jalanan, nongkrong di pinggir got, ngrumpi di warung pojok,  gosip dengan sesama jenis di kaki lima dengan enteng mengkritisi pemimpin atau kepemimpnan seseorang. Banyak orang yang mampu menilai pemimpinnya, pengamatan pada tongkrongan, penampilan, tampang, profil, gaya, kemampuan personal, tutur kata yang total jenderal dianggap kurang becus, tidak aspiratif, tidak berpendirian, memihak golongannya, mudah dibisiki. Dinamika dan risiko pemimpin, begitu mulai duduk, langsung digoyang dan siap tergusur seperti Gus Dur. Habis duduk, menjadi terpidana kasus korupsi, seperti yang dialami oleh beberapa wakil rakyat. Main pasal KUHP bisa menjegal atau senjata makan tuan yang dialami jaksa maupun penegak hukum lainnya.
Prosesi  kepemimpinan, formal maupun non formal, biasanya didominasi pemimpin formal terdapat sedikitnya 5 fenomena:
Pertama, setiap lima tahun sekali diselenggarakan pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat, wakil daerah, kepala negara atau presiden, melalui mekanisme Pemilu Legislatif dan Pilpres. Di tingkat daerah (provinsi, kabupaten dan kota) juga diadakan Pilkada (pemilihan kepala daerah) untuk menjaring pasangan figur/sosok yang akan menduduki jabatan gubernur, bupati dan walikota beserta wakilnya dalam periode waktu tertentu.
Kedua, betapa setiap tahun anggaran pemerintah menganggarkan Dana Kepemimpinan (biasanya untuk Eselon Ia) dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksana Anggaran), terutama dalam APBN. Dana kepemimpinan ditujukan untuk kepentingan kedinasan pimpinan, atau siapa pun yang ditunjuk untuk mewakilinya, khususnya untuk kondisi yang tak terprogram tapi diprediksi ada dan selalu ada. Termasuk membelikan tiket pesawat anggota Dewan, yang komisinya sedang melaksanakan kunjungan kerja.
Ketiga, jabatan Ketua RT (Rukun Tetangga), sebagai jabatan yang dihindari oleh sebagian besar warga atau penghuni. Walau jabatan tersebut, untuk provinsi tertentu ada uang jabatan, tetap tak diminati. Ketua RT bisa muncul di pemberitaan media massa, sebagai saksi atau tokoh masyarakat yang dimintai keterangan atas terjadinya peristiwa/perkara. Diposisikan atau dinaikkan pamornya sebagai bahan dan sasaran lelucon di sinetron, bisa tampil bersama komedian. Jabatan Ketua RT, walau dipilih langsung oleh warganya, dalam kenyataan di beberapa daerah bisa turun-temurun atau bahkan bisa seumur hidup. Nyaris bisa jadi prestis di lingkungan masyarakat yang homogen, statis, terbelenggu.
Keempat, pariwara di media cetak, terbaca ada lowongan untuk jadi rektor, kepala sekolah, kepala madrasah, direktur PDAM, dan lain-lain jabatan dengan persyaratan tertentu. Bahkan ketua perhimpunan alumni perguruan tinggi, terlebih alumni S2/S3 dari negara adidaya, negara barat lainnya merupakan jabatan bergengsi. Jabatan ini diperoleh melalui proses adu program, adu kontes, debat dan penilaian akhir/ penentuan oleh juri terpandang.
Kelima, dicari seseorang berjiwa pemimpin untuk ditempatkan di pelosok desa, di daerah terpencil, di kawasan perbatasan, di pulau-pulau kecil, di pedalaman, di lingkungan kumuh atau di komunitas adat terpencil, untuk menjadi pelopor, motivator, penggerak masyarakat; sebagai dinamisator, akselerator dan katalisator pembangunan nasional di akar rumput; memberantas buta aksara mulai dari sumbernya. Pengalaman tidak diutamakan, begitu bunyi pariwara di media cetak nasional.

Pemimpin (kepala, ketua, komandan, panglima, rektor, mandor, manager, raja, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah atau sebutan lainnya), yang diformat sebagai jabatan karir, dibingkai sebagai jabatan formal, dikemas sebagai jabatan struktural, dijabarkan sebagai jabatan politis, dibentuk sebagai jabatan profesional berlaku untuk semua kalangan pemerintah, militer, swasta, maupun masyarakat. Siapa yang layak dan punya tiket jadi pemimpin, secara historis terjadi diskriminasi menyangkut masalah gender, kesukuan, alumni, angkatan dan latar belakang lainnya.
            Kepemimpinan, dengan berbagai versi definisi, yang semuanya bersumber pada kemampuan seseorang untuk memimpin (biasanya dikaitkan dengan jabatan dan organisasi). Ditelusur lebih jauh, kepemimpinan, dalam koridor jabatan dan organisasi memancing beberapa pertanyaan, dimulai dari apakah seseorang sejak lahir sudah mempunyai bakat untuk memimpin serta apakah “kesempatan” untuk menjadi pemimpin itu sebagai hak atau kewajiban warga negara:
  apakah kepemimpinan itu diperoleh karena garis tangan, nasib, keturunan, silsilah, warisan, bawaan, darah biru, bersifat kodrati;
  apakah kepemimpinan itu didapat dari wahyu, wangsit, tirakat, nyepi, nyekar, puasa, prihatin, bertapa atau kegiatan spiritual tertentu;
  apakah kepemimpinan itu diraih karena ybs punya ilmu, jimat, jurus, pusaka, andalan, ajian atau kesaktian lainnya;
  apakah kepemimpinan itu dicapai karena ybs mempunyai kharisma, karakter, watak, temperamen, sifat, moral, mental, budi pekerti, peri laku atau jiwa;
  apakah kepemimpinan itu digapai karena ybs mempelajari secara ilmiah (ada sekolahnya), merekayasa secara genetis, merumuskan secara sistematis, dan mempraktekkan secara jenius.
Dari daftar pertanyaan di atas, yang melihat berbagai kemungkinan seseorang bisa menjadi (memperoleh, mendapatkan, meraih, mencapai maupun menggapai) “jabatan” pemimpin, pertanyaan berikutnya adalah apakah seseorang yang bisa memimpin itu wajib mempunyai karakter, watak atau temperamen kepemimpinan:
þ  apakah karakter kepemimpinan itu bisa digali, dipupuk, dibentuk dan dikembangkan;
þ  apakah karakter kepemimpinan itu bisa dirumuskan, dibakukan, distrukturkan, distandarisir dan dipatenkan;
þ  wisatabelanja_besarapakah karakter kepemimpinan itu ada rukun dan tuntunannya;
þ  apakah karakter kepemimpinan itu ada ilmu, pakem, atau norma, standar, pedoman, kriterianya (NSPK).
Tiap individu dilahirkan akan mempunyai risalah kehidupan yang mungkin tak jauh beda dengan kedua orang tuanya. Terkadang terjadi pengulangan dari fragmen kehidupan dari yang pernah dilakukan oleh ibu bapaknya. Walau seorang bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci, tanpa dosa, namun kualitas diri dan perjalanan hidupnya akan dipengaruhi oleh babad, bibit dan bobotnya. Setiap orang itu sejatinya sudah jadi pemimpin. Konkritnya, dalam kapasitas memimpin dirinya sendiri menuju keutamaan, atau memimpin keluarga sebagai Kepala Keluarga, lingkungan tempat tinggal (ketua RT) sampai tingkat atau skala nasional. Pemimpin artinya orang yang mempunyai kepandaian serta wibawa untuk mempengaruhi, menarik orang lain berkait melaksanakan karya nyata. Pemimpin meneladani yang dipimpin untuk melaksanakan karya seacara serius, tekun.
Campur tangan orang tua sangat menentukan pejalanan hidup anaknya, dimulai apakah sang anak akan jadi majusi, mempertuhankan akal dan materi, mendaulat politik sebagai panglima, atau penyembah berhala mutakhir (kekayaan, kekuatan dan kekuasaan). Bahkan Pak Harto, merasa apa yang dilakukan sebagai orang tua adalah hal yang wajar dan benar, sampai mengangkat Mbak Tutut jadi menteri sosial sekalipun. Artinya bagaimana dan seberapa jauh orang tua harus membimbing anaknya. Kapan seorang anak bisa dilepas, apakah setelah dewasa, berkeluarga, mampu hidup mandiri. Setelah keluarga, maka lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah sampai pergaulan yang lebih luas akan mempengaruhi perjalanan nasib anak.
Keyakinan yang masih melansir pendapat bahwa ada beberapa kategori pemimpin yakni : (1) Orang yang dilahirkan sebagai pemimpin, sudah mempunyai bakat memimpin serta mendapat dukungan dari lingkungan; (2) Orang yang mempunyai motifasi, kemampuan, dan kesempatan untuk menjadi pemimpin; (3) orang yang berproses pada kehidupan secara lahir batin, pada puncaknya atau tujuan perjalanannya dibutuhkan orang banyak;   (4) Orang yang sedang mencari jalan, membaca tanda zaman dalam menemukan jati dirinya (identitas diri dan percaya diri) untuk selangkah lagi menjadi pemimpin; dan (5) Orang yang selalu atau seolah “ditunggu” kehadirannya untuk memimpin, ketika keadaan sedang gonjang-ganjing. Mungkin ada benarnya, atau mungkin ada versi lain yang relevan, tergantung skala ruang dan waktu.
Mengacu pada bagaimana latar belakang dan proses munculnya seorang pemimpin, dikenali tipologi jenis pemimpin  : (1) Pemimpin Tradisional, yaitu karena  latar belakang tradisi yang berlaku di tengah masyarakat dan telah berlangsung turun-temurun, misalnya Kepala Suku, Pemangku Adat, Bangsawan (raja, sultan, sunan, dsb); (2) Pemimpin Rasional, yaitu yang menjadi pemimpin karena kemampuan personal, kapabilitas, pengetahuan, pengalaman, wawasan, human approcah antara lain pemimpin organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi mahasiswa; (3) Pemimpin Formal, yakni karena mendapatkan mandat atau aspek legalitas, melalui mekanisme pemilihan atau berdasarkan perencanaan karir, seperti yang berlaku di para penyelenggara negara, swasta, dan lainnya; (4) Pemimpin Kharismatik, yaitu yang menjadi pemimpin karena pembawaan kharisma atau wibawa yang dimilikinya, bisa juga karena faktor latar belakangnya; (5) Pimpinan Ketokohan, model pemimpin ini karena ketokohan yang menonjol, populer, diakui dan diterima secara mayoritas; (6) Pimpinan Populis, ketekunan menyebabkan seseorang ahli di bidangnya ditambah pribadinya yang supel, humoris, berjiwa sosial, aktif di bidang lain; dan (7) Pimpinan de facto, pemimpin ini tidak mempunyai jabatan formal. Karena faktor keahlian, kedekatan dengan poros kekuasaan, masih disegani dan mempunyai pengaruh, pengikut (tepatnya punya ilmu nglurug tanpa bala, lihat tulisan berikutnya).

TATA KEPEMIMPINAN YANG BAIK
bd05515_Setiap bangsa akan melahirkan pemimpinnya, setiap generasi akan mencetak pemimpinnya. Setiap perubahan akan memunculkan pemimpinnya. Setiap pergolakan akan menampilkan pemimpinnya. Setiap revolusi akan menghantar pimpinannya kepermukaan. Masih ada kepercayaan adanya satria piningit. Sejarah akan mencatat dengan tinta emas perjuangan, pengorbanan para pemimpin bangsa, dari zaman ke zaman. Tak kurang mereka yang mencoreng sejarah dengan arang, karena menjadi pecundang, tirani, rezim, otoriter, diktator. Sejarah yang direkayasa oleh yang sedang berkuasa, bisa menjungkirbalikkan fakta sejarah, sejarah dimanupulir. Mengacu HAM (Hak Asasi Manusia), dua kali PKI (Partai Komunis Indonesia) menusuk NKRI dari belakang (kudeta September 1948 dan Gerakan 30 September 1965), anak cucu atau generasi simpatisan, pengikut, dedengkot, kader PKI berupaya meluruskan sejarah. Tindakan PKI mereka anggap sebagai upaya mengkoreksi Soekarno dan revolusi.
Kepemimpinan (leadership) di kalangan pemerintah, militer, swasta, maupun masyarakat, mempunyai persamaan yang mendasar dan perbedaan yang hakiki, kondisi ini dipengaruhi oleh budaya kerja, budaya organisasi. Model pemimpin bisa mempunyai batasan moral yang fluktuatif, kondisional tergantung kestabilan ekonomi, hukum dan politik.
Kemampuan manajerial adalah kemampuan seseorang untuk memimpin serta melakukan tindakan yang berhubungan langsung dengan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan seluruh sumber daya secara berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai tujuan organisasi.
Hanya orang yang bernyali tetap, punya rasa berani di atas rata-rata, semangat pantang putus asa sebelum jatuh tempo, tak mudah menyerah pada rasa malu, tebal muka dan rasa takut tinggal kenangan – kesemua ini sebagai standar minimal untuk berani hidup maju – untuk menatap jauh ke zaman depan. Perhitungan matang untuk merintis dan menapak pada kenyataan bahwa hidup ini bisa diformulasikan dan dikalkulasikan. Hidup penuh dengan angka. Berhadapan dengan angka banyak faktor yang tak diketahui, tapi bisa diprakirakan. Prakiraan inilah yang harus dihadapi oleh bangsa ini.
Apa hubungan tata kepemimpinan yang baik dengan tata pemerintahan yang baik ( GG = Good Governance). Pasca lengser keprabon Pak Harto, 21 Mei 1998, GG diformat dalam modul, nyaris mirip P4, mirip doktrin, mirip indoktrinasi. Terdapat empat belas karakteristik yang terhimpun dari telusuran wacana nilai GG dapat dijelaskan secara deskriptif:

1.      Tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis).

Semua kegiatan pemerintah di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi yang jelas disertai strategi implementasi yang tepat sasaran.

2.      Tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan).

Wujud nyata prinsip tersebut antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengetahui serta memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat pusat maupun daerah.

3.      Tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif).

Masyarakat yang berkepentingan ikut serta dalam proses perumusan dan/atau pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat.  

4.      Tata pemerintahan yang bertanggung jawab/bertanggung gugat (akuntabel).

Instansi pemerintah dan para aparaturnya harus dapat mempertanggungjawabkan
pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Demikian halnya dengan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukannya.  

5.      Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi. Wujud nyata prinsip ini mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta pengembangan budaya hukum. Upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan aturan dan prosedur yang terbuka dan jelas, serta tidak tunduk pada manipulasi politik.

6.      Tata pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif.

Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan yang diambil antara lembaga eksekutif dan legislatif harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama.

7.      Tata pemerintahan yang terdesentralisasi.

Wujud nyata dari prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia.

8.      Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus.

Aparat pemerintahan harus cepat tanggap terhadap perubahan situasi/kondisi mengakomodasi aspirasi masyarakat, serta mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.

9.      Tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat.

Pemerintah baik pusat maupun daerah dari waktu ke waktu harus selalu menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perbaikan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan, menyusun jabatan dan fungsi  yang lebih tepat, serta selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien dan efektif. 

10.  Tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat.

Pendelegasian tugas dan kewenangan pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup untuk mengelola pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan di pusat maupun di daerah. 

11.  Tata pemerintahan yang menjungjung supremasi hukum.

Pembangunan masyarakat madani melalui peningkatan peran serta masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan melalui pembentukan kerjasama atau kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hambatan birokrasi yang menjadi rintangan terbentuknya kemitraan yang setara harus segera diatasi dengan perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta serta penyelenggaraan pelayanan terpadu.

12.  Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan.

Pengurangan kesenjangan dalam berbagai bidang baik antara pusat dan daerah maupun antardaerah secara adil dan proporsional merupakan wujud nyata prinsip pengurangan kesenjangan. Hal ini juga mencakup upaya menciptakan kesetaraan dalam hukum (equity of the law) serta mereduksi berbagai perlakuan diskriminatif yang menciptakan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. 

13.  Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pasar.

Pengalaman telah membuktikan bahwa campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali berlebihan sehingga akhirnya membebani anggaran belanja dan bahkan merusak pasar. Upaya pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan pasar baik di dalam daerah maupun antardaerah merupakan contoh wujud nyata komitmen pada pasar.

14.  Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup.

Daya dukung lingkungan semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak terkendali. Kewajiban penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsekuen, penegakan hukum lingkungan secara konsisten, pengaktifan lembaga-lembaga pengendali dampak lingkungan, serta pengelolaan sumber daya alam secara lestari merupakan contoh perwujudan komitmen pada lingkungan hidup.
Salah satu prnsip GG telah mengakomodit kata “moral” yaitu pada PROFESIONALISME diartikan sebagai “Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau”. Dalam Undang-Undang RI Tahun 32 tentang “PEMERINTAHAN DAERAH”, yang disebut penyelenggara pemerintahan adalah :
BAB IV
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Penyelenggara Pemerintahan
Pasal 19
(1). Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh 1 (satu) orang wakil Presiden, dan oleh menteri negara.
(2). Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.

Meningkatkan kemampuan dan moral, akan mempunyai paradigma, NSPK yang bisa berkembang menjadi proyek tersendiri. Ingat GG, ingat korupsi :
KORUPSI LINTAS GENERASI
Bisa saja terjadi, anak sekarang cita-citanya jadi koruptor. Menurut pandangan mereka, para koruptor umumnya dari kalangan orang terhormat, terpandang, kaya, punya jabatan, sering nongol di TV, jadi pembiacaraan dan pemberitaan media cetak. Dengan fantasi dan daya imaji anak-anak, mereka anggap bahwa koruptor itu bukan penjahat.
§  Maling jemuran ketangkap basah oleh masyarakat, dihakimi secara masal, itu baru penjahat.
§  Copet di angkot kepergok oleh korbannya, babak belur, bonyok dihadiahi bogem mentah, itu baru penjahat.
§  Rampok di rumah juragan sembako, dikeroyok warga satu kampung, tewas ditempat tanpa meninggalkan pesan terakhir, itu baru penjahat.
§  Penodong yang tak mempan dibacok, dibekuk, ditembak polisi, akhirnya kebahisan nyawa dalam perjalan menuju rumah makan, itu baru penjahat.
§  Jambret sial, dikejar penduduk melarikan diri dengan menceburkan diri ke empang, tak muncul-muncul kecuali arwahnya, itu baru penjahat.
§  Preman jalanan yang sering memeras pedagang kaki lima, mabuk, tewas diseruduk truk tinja, mayatnya tak ada yang mengakui, itu baru penjahat.
§  Pembunuh yang memutilasi korbannya menjadi berkerat-kerat, mati ketakutan sebelum dihukum mati, itu baru penjahat.
§  Pemalak anak sekolahan dengan dalih untuk makan, gosong tersengat listrik dan tawon saat sedang beroperasi, tanpa identitas yang jelas kecuali jenis kelamin, itu baru penjahat.
§  Perompak merompak kapal importir pakaian bekas, kebahisan bahan bakar di tengah laut, tenggelam mati pelan-pelan, itu baru penjahat.
§  Begal yang merampas motor tukang ojek, kabur nabrak kereta api yang sedang langsir, motor selamat begalnya kiamat, itu baru penjahat.
Duduk perkara, bahwa yang jadi korban tipikor adalah bukan orang tetapi negara, mana anak-anak tahu. Memang koruptor tidak meresahkan masyarakat, koruptor tidak menghantui anak-anak, koruptor tidak menakuti anak-anak, koruptor tidak mengancam anak-anak, koruptor tidak memalak anak-anak, koruptor tidak berjualan jajanan berbahaya, koruptor tidak menculik anak-anak. Di pasar tradisional tak ada dampak dan keresahan adanya tipikor. Di warteg dan warnas tahu tempe tak merasakan ulah tipikor atau perilaku koruptor yang sedang makan di warungnya.

§  Jadi, ……. itu baru penjahat (hn).

KARAKTER KEPEMIMPINAN (=IDENTITAS DIRI + PERCAYA DIRI)
Satu fakta yang harus kita pegang teguh, pada umumnya pimpinan tak akan menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang dipimpin. Bayangkan kalau puluhan, ratusan bahkan ribuan staf yang menjadi tanggung jawabnya, antar pimpinan dalam kualitas yang sama, mempunyai karakter yang berbeda, bahkan satu sama lain bisa kontradiktif.
Di tingkat RT, keinginan warga sangat variatif, beragam, terlebih pada penduduk yang heterogen, ada yang menghendaki pembangunan dan perbaikan jalan lingkungan diprioritaskan, ada yang mengharapkan pengelolaan sampah rumah tangga didahulukan, ada yang mengusulkan air bersih yang layak dikonsumsi lebih diutamakan dan sederet permintaan bak daftar belanja. Semua keinginan ini bisa diakomodir oleh Ketua RT berikut jajarannya, dalam program pembangunan RT.  Dalam skala yang lebih luas, skala nasional misalnya, kalau pemimpin nasional harus mendengarkan satu-persatu suara hati nurani dan aspirasi rakyatnya, bisa-bisa harus buka praktek 24 jam dan menjadi presiden seumur hidup.
Staf, karyawan, pegawai, pekerja, buruh, tenaga kerja, tukang, perajurit, kawula, punggawa, pelayan, abdi masyarakat, abdi pemerintah, aparatur negara atau sebutan lainnya, jangan hanya mengandalkan haknya saja, tetapi juga harus mengelola kewajibannya dengan sepenuh jiwa raga. Jangankan orang, pemerintah daerah soal banjir atau bencana alam lainnya, selalu menyalahkan pemerintah pusat, minimal mengharapkan bantuan dan uluran tangan. Soal sampah ada daerah yang membuangnya ke tetangga. Soal air minum, terkadang tetangga diutamakan karena kemampuan membayar sebagai pelanggan, sedangkan daerah sendiri hanya diliwati pipa air minumnya karena belum layak secara teknis dan finansial. Antar pemimpin yang setara pun bisa terjadi konflik demi kepentingan daerah masing-masing. Banyak upaya unuk meminimalisir dampak konflik horizontal maupun konflik vertikal.   
Pimpinan selalu dihadapkan pada kondisi yang dilematis, pertentangan kepentingan antara internal dan eksternal, perebutan pengaruh antara vertikal dan horizontal, perang batin antara masalah pribadi dengan masalah golongan, menyebabkan pimpinan harus punya kiat yang jitu. Menghadapi kondisi yang bak memakan buah simalakama, pimpinan tidak bisa netral dan steril, tidak mudah mengambil jalan tengah atau resultantenya apalagi jalan pintas. Pimpinan bergerak di antara koridor dua kutub, kutub pertama mensyaratkan pimpinan harus arif, bijaksana, penuh toleransi, solider, mengedepankan musyawarah, manusiawi; kutub kedua mensyaratkan pimpinan harus tegas tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih, tanpa tebang pilih, tanpa tedeng aling-aling, tidak menjilat luah sendiri. Di sisi yang lain, seorang pemimpin harus bisa memadukan antara jiwa sosial dengan jiwa profesional, antara watak demokratis dengan watak otoriter, termasuk mensinkronkan atau mengharmoniskan perpaduan karakter yang kontradiktif.
Bung Karno terkenal dengan gaya hantam kromo. Kalau Pak Harto dalam menghadapi anti kemapanan, kalau tak mau dirangkul terpaksa dipukul. Habibie dengan falsafah daripada kehilangan sepuluh jari, lebih baik kehilangan kuku kelingking kiri (ingat kisah referendum Timor Timur). Gus Dur jelas tak mau repot dengan urusan tetek-bengek. “Begitu saja koq repot”, guyon Gus Dur. mBak Mega lebih menampilkan jurus diam adalah emas. Walau diam sudah ada kadarnya, di bawah bayang-bayang Bung Karno. SBY dengan tata bahasa dan bahasa tubuh yang santun menunjukkan klasnya.
Terkait identitas diri, bisa pada atribut fisik, bisa pada gaya, bisa pada figur yang didapat dalam proses, sebagai contoh:
§  Bung Karno modal cangkem (= mulut), dikenal sebagai orator ulung.
§  Pak Harto modal mesem (= senyum), senyum sang bintang lima.
§  Habibie modal kerem (= tenggelam), habis Orba ikut tenggelam dalam larutan Reformasi.
§  Gus Dur modal merem (= pejamkan mata), mengandalkan pendengaran dari pembisik.
§  mBak Mega, perempuan atau wanita NKRI pertama yang menjadi presiden atau RI-1, sebelumnya sempat parkir jadi RI-2, modal perem (= peram), bahkan oleh partai (PDIP) diperam sewaktu-waktu ditampilkan, yang penting Merdeka!!
§  SBY modal kalem, ojo grusa-grusu, ojo kesusu, ojo nafsu.
Pasca Reformasi, menyebabkan kran demokrasi terbuka lancar, kesempatan untuk tampil habis-habisan di panggung politik menjadi sah dan diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan. Panggung politik untuk menjadi batu loncatan. Ajaran Pak Harto, yaitu jika ingin berkuasa harus mempunyai kendaraan partai politik. Tak perlu jadi ketua umum, yang penting bisa mengendalikan parpol.
Pergantian zaman menyebabkan perubahan di pola pikir, pola ucap dan pola tindak. Puncaknya, ketika terjadi akumulasi krisis kepercayaan nasional, tak ada panutan, tak ada lembaga yang dihormati dan disegani – semua orang merasa bebas. Demokrasi diartikan sebagai kebebasan dalam segala bentuk. Bersuara bebas. Bebas bermaksud. Bebas menentukan pendapat, menyampaikan aspirasi. Semua serba menuntut dan menyampaikan protes. Memaksakan kehendak, keinginan secara bebas.
Di NKRI ini kebebasan telah menjadi dasar hak asasi manusia, khususnya dalam menyatakan jati dirinya. Menyantumkan nama marga atau suku bangsa; memajang nama yang menunjukkan garis keturunan darah biru utawa anak keturunan dari orang bernama merupakan hak asasi yang kodrati dan alami. Kalangan militer pun terkena demam memajang gelar akademis, di depan maupun di belakang namanya. Nama yang kurang komersial, tidak ngetrend, tidak gaul bisa yang punya nama malu memakainya, merasa minder dengan nama lengkapnya.
Proses penyataan diri telah mengalami kemajuan secara radikal. Masing-masing individu mempunyai pola dan modus yang tak bisa disamaratakan. Masing-masing mengklaim dirinya sebagai pencetus ide porno ragam, proklamator gerakan moral sampai merasa sebagai pembawa berita kedamaian dan kepedulian ummat.
Interaksi yang terjadi sesuai kontak, ada interaksi sosial, interaksi politik, interaksi usaha, dsb. Landasan hukum interaksi nyaris hukum rimba. Terlebih dalam interaksi politik, siapa yang menyandang modal 3K (kaya, kuat, dan kuasa) akan mendominasi jalannya politik

PEMBUNUHAN KARAKTER (character assassinations)
Entah siapa, entah mengapa, entah kapan, entah bagaimana .... pembunuhan karakter menjadi basis wacana, bisa disalahmengertikan, bisa disalahgunakan, bisa dimultitafsirkan, sampai kemungkinan asal-asalan dipakai biar kelihatan cerdas, ilmiah dan jurnalis. Kawanan politisi sipil, anggota aktif parpol tertentu, kader tulen, aktifis pupuk bawang, sampai pengamat politik dengan mudah menggunakan kata tsb – baik sewaktu berorasi maupun yang ora-ora.
Diselidiki, disidik, disigi lebih leluasa, sebetulnya ada pihak tertentu yang merasa gerah dan resah karena secara politis duduk di kursi panas, belum kebagian kursi, bak duduk di kursi goyang, kehabisan jatah kursi sampai periode berikutnya, akhirnya, lebih baik diam, daripada makan bangkai saudara sendiri.

RITUAL POLITIK
Ritual formal berpolitik di NKRI terdeteksi pada pesta demokrasi lima tahunan, berdampak pada betapa sibuknya kegiatan internal parpol.  Memilih ketua umumnya sebagai PR terbesar dan terberat, akan menentukan nasib parpol lima tahun ke depan. Menentukan daftar caleg, nomer urut dan daerah pilihan, menetapkan tim sukses, menggalang dana, melakukan koalisi, serta seabrek hiruk-pikuk. Kedewasaan parpol, kematangan jiwa kader parpol diukur ketika kalah bertanding. Tak lolos babak saringan administrasi bisa menjadi kecewa berat, terlebih kalau kalah tipis. Media massa dengan santai memberitakan pertikaian antara kubu yang memenangkan pilgub  dengan yang kalah dalam perhitungan suara, baik di luar pulau Jawa maupun terjadi di pulau Jawa. Kondisi ini menujukkan adanya oknum atau tepatnya parpol yang tidak siap kalah. Sikap ini dimaklumi. Masalahnya setelah >10 tahun Reformasi (1998-2008) apa masih akan seperti ini.
Kader kagetan, kader karbitan, kader jenggot, kader titipan, kader semusim, kader putera mahkota tumbuh bak jamur di musim jamur. Tiba-tiba banyak orang peduli dan merasa prihatin atas nasib bangsa dengan cara mendirikan partai politik. Alasannya cukup bersahaja, liwat jalur politik bisa jadi negarawan, dan merasa mampu merubah keadaan dari atas. Perubahan dimulai dari pucuk pimpinan. Sejalan dengan fenomena bahwa ikan busuk mulai dari kepalanya.
Ritual sosial berpolitik mencuat ketika ada gerakan peduli bencana alam. Parpol berebut melakukan gerakan sosial, aksi galang dana dari berbagai pihak dan cara. Afdol lagi kalau kegiatan ini diliput langsung oleh media massa.
Daya juang fraksi maupun komisi di legislatif, secara tak langsung ingin menunjukkan bahwa wakil rakyat memikirkan nasib yang diwakili. Upaya untuk lebih dekat dan akrab dengan konstitiuennya di masa reses pun diupayakan, terutama para pemilih di luar negeri.
Liga daerah sampai liga nasional lima tahunan memang mempunyai daya pikat dan daya tarik tersendiri. Antara petualang, pialang dan pejuang nyaris tanpa batas jelas. Pagi sekutu, malam jadi seteru. Untuk urusan tertentu, terkait balas budi atau balas jasa beda warna bisa jadi sekutu. Untuk urusan berbasis balas dendam, walau satu warna bisa jadi seteru.
Semua menjadi jelas, tatkala sang reformis mengincar kursi, dengan bahasa terangnya ada pamrih. Padahal, kata orang bijak, reformis tugasnya hanya sampai masa pancaroba. Masa transisi antar generasi tidak butuh waktu lama, walau sebelumnya tak ada pengkaderan. Pergantian antar generasi memang bisa bak Bharatayudha, kalau masing-masing pihak tidak merasa kalau kepercayaan adalah amanah. Yang kalah maupun yang menang tidak legawa atau ikhlas menerima kenyataan. Artinya, yang menang berupaya nantinya jangan sampai menjadi pihak yang kalah. Begitu juga yang sedang menyandang kekalahan, akan berupaya untuk kembali menjadi pihak yang menikmati kemenangan.
 Percaya diri lebih didominasi dengan pengertian merasa bisa. Dengan pertimbangan akumulasi dari berbagai kejadian, mulai dukungan dari penggemar dari berbagai usia yang dapat dipercaya, desakan dari komponen masyarakat miskin dan rakyat kecil yang dapat diandalkan, permintaan mayoritas pirsawan, pendengar dan pembaca di dalam negeri, tuntutan pengusaha dan penyandang dana melalui SMS agar berani tampil beda, sampai perhitungan dan kalkulasi matematis, maka misal pencalonan diri menjadi bakal calon presiden pun dilakukan. Persyaratan formal diabaikan atau menjadi nomer kesekian.
Tampilan pemimpin (politik) yang terlihat penuh percaya diri apakah menyiratkan kandungan moralnya yang bisa dipercaya. Kembali ke awal makalah, jangan pakai kaca mata moral dalam menemukenali atau mencatat indikator moral pemimpin. Ibarat menepuk air di permukaan, terpecik wajah kita. Berpolitik, tidak sekedar harus bermuka dua, bahkan harus mampu memanfaatkan muka orang lain. Ternyata, politik di Nusantara ini sudah berbadan dua, berkepala dua, bahkan lebih dari perkiraan sejarahwan.
Karakter kepimpinan, yang secara tak langsung menunjukkan kandungan dan kualitas moralnya, pada seseorang bisa juga terlacak begitu argo masa bhaktinya berjalan. Ada juga masih sebatas angan-angan, sudah terbaca karakternya. Contoh pada dunia politik : Jusuf Kalla (JK) yakin mampu mengemban amanah menjadi calon presiden (capres) yang dimandatkan partainya. Bahkan, JK merasa bisa berbuat lebih baik dari kinerja pemerintahan saat ini yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). [sumber, Republika, Senin, 2 Maret 2009]
Orang belajar agar percaya diri (pede), orang mencoba merokok. Dengan merokok  merasa pede. Tanpa rokok bak anak ayam kehilangan induk, resah, gelisah, was-was dan bisa timbul rasa minder. Tanpa merokok seolah kehilangan identitas, nyaris kehilangan harga diri. Berbagai pertimbangan alasan rasa inilah maka para perokok boleh merokok dengan berbagai gaya, aksi, pose dan di sembarang tempat. Prinsip mereka, merokok adalah hak asasi manusia beradab, salah sendiri kalau tak mau merokok (perokok pasif). Merokok itu sehat, membelinya yang bisa tidak sehat. Akal sehat jangan dipakai untuk memantaskan merokok utawa tidak.
Tampilan orang merasa agar kelihatan pede, mulailah budaya memanfaatkan teknologi komunikasi telepon saku utawa telepon genggam, dikenal dengan sebutan hp (baca : hape). Berhape ria bisa dilakukan sambil apa saja, termasuk merokok. Bahkan untuk teman ke belakang pun terasa menambahnya nikmat. Siapa saja, kapan saja, dimana saja orang bebas berhape. Merokok sambil berhape, utawa sebaliknya – ini bukan masalah jender – menyebabkan ybs merasa tampil full action plus vulgar. Yang bisa mengimbangi gaya ini mungkin hanya sopir angkot yang ngetem sembarang tempat. Alasan tunggu penumpang utawa uber setoran tak ambil pusing. Yang pusing salah sendiri, memangnya kepala sendiri-sendiri.
Saat orang utawa manusia merasa kelebihan pede, apapun bisa dilakukan. Mulai merokok di sembarang waktu dan asal tempat. Mulai berbincang ramai dan santai via hape, yang lain dianggap sedang mudik. Akhirnya lahirlah budaya korupsi. Mengapa malu harus korupsi. Toh korupsi tak merugikan lingkungan, tidak menimbulkan polusi, tak mengakibatkan gangguan jiwa bagi pendengarnya. Efek utawa dampak korupsi lebih dahsyat dibanding makar. Kalau makar, hukum bisa diberlakukan dan memang berlaku. Menghadapai korupsi, hukum akan pandang bulu. Kendati koruptor bukan penyandang senjata, hukum tetap memberlakukan sesuai kaidah jual beli perkara, tawar-menawar antara pasal yang dilanggar dengan pasal yang disalip. Artinya puncak pede seeorang adalah melakukan tindak pidana korupsi dengan merasa aman, terbagi, dan bebas dari jeratan dan jebakan hukum buatan manusia.
Kesimpulan, bagaimana ketika seorang oknum koruptor (sebut saja si Badu = banyak duwit) melakukan proses korupsi sambil merokok diselingi berhape ria ???
Orang gila utawa yang edan beneran, berak sembarang tempat itu manusiawi. Kalau minat buang hajat tertunda akan menimbulkan komplikasi. Tidak baik menunda yang bisa dikerjakan saat ini. Kalau dilaksanakan tepat waktu, seandainya menimbulkan masalah ya namanya orang sedang gila-gilanya, mosok tahu hukum.
Orang melakukan korupsi, secara individual maupun gotong royong berjama’ah, apapun atau seberapapun diembatnya, maklum gila harta. Bukan karena gila seseorang melakukan ritual korupsi, yang penting substansi utawa rupiah yang bisa ditadah.

FALSAFAH KEPEMIMPINAN
icon_seni_budayaUngkapan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro yakni :
“Ing Ngarso Sung Tulodo,
Ing Madyo Mangun Karso,
Tut Wuri Handayani”, yang dimaksud adalah di depan memberi contoh/teladan, di tengah membangkitkan semangat, kehendak atau keinginan, di belakang memberi arahan, dorongan. “Posisi” seorang pemimpin sangat strategis, dimana pun berada bisa memberikan sederet kepemimpinan. Rumusan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mampu menjalankan berbagai macam peran dan peranan.
Ketika di barisan depan atau bahkan saat menjadi imam, pemimpin harus mampu memberikan teladan yang baik bagi anak buahnya. Di lini depan pimpinan mempunyai daya tarik. Peran sebagai panutan, sehingga dapat menjadi contoh tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Berada di antara anak buahnya, seorang pemimpin harus mampu berperan sebagai motivator, dinamisator dan akselerator bagi anak buahnya sehingga mereka tergugah semangat untuk mewujudkan keinginannya dalam koridor tujuan bersama. Pemimpin yang sedang turba (turun ke bawah) atau berada di garis belakang, dengan melihat kondisi nyata mampu berperan sebagai pengarah atau mampu memberi arahan pada anak buahnya, ataulah disebut mempunyai daya dorong, sehingga mereka dapat melaksanakan berbagai kegiatan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Sistem paternalistik yang masih kuat berakar di masyarakat Indonesia menuntut kehadiran pemimpin sebagai sosok panutan masyarakat.

ACUAN MORAL
Moral bersifat universal, berlaku di semua negara, di semua pemerintahan sampai di tatanan kehidupan masyarakat. Acuan moral yang paling jitu dan terbukti adalah dari ajaran agama. Pelantikan pejabat, pengambilan sumpahnya berdasarkan agama ybs sudah menyuratkan apa saja yang tak boleh dilakukan dan yang wajib dilakukan. Isi kandungan Berita Acara Pengangkatan Sumpah Jabatan sudah merupakan pedoman moral bagi pejabat yang mengangkat sumpah. Selanjutnya terserah bagaimana pemimpin atau sitersumpah akan menterjemahkan isi sumpah dalam operasionalisasinya. Apakah pemimpin akan membuat aturan main dengan isi sumpah sebagai payung hukumnya, apakah akan menjabarkan isi sumpah menjadi pasal hak, kewajiban wewenang pemimpin tidak masalah. Apakah akan dicari celah mana yang menguntungkan, mana yang merugikan, tidak menjadi soal.  Apakah akan memilah dan memilih kegiatan yang bersifat kebal hukum, sedikit melenceng dari hukum tapi akan kembali ke jalan yang benar maupun punya dalih adanya force majeru, menjadi urusan yang bersangkutan. Pelanggaran sumpah seolah tak terkena sanksi dunia, sanksi akhirat pasti dapat.
Vertical Scroll: “DEMI ALLAH, SAYA BERSUMPAH :
BAHWA SAYA, UNTUK DIANGKAT PADA JABATAN INI, BAIK LANGSUNG MAUPUN TIDAK LANGSUNG, DENGAN NAMA ATAU DALIH APAPUN JUGA, TIDAK MEMBERI ATAU MENYANGGUPI AKAN MEMBERI SESUATU KEPADA SIAPAPUN JUGA;

BAHWA SAYA, AKAN SETIA DAN TAAT KEPADA NEGARA REPUBLIK INDONESIA;

BAHWA SAYA AKAN MEMEGANG RAHASIA SESUATU YANG MENURUT SIFATNYA ATAU MENURUT PERINTAH HARUS SAYA RAHASIAKAN;

BAHWA SAYA TIDAK AKAN MENERIMA HADIAH ATAU SESUATU PEMBERIAN BERUPA APA SAJA DARI SIAPAPUN JUGA, YANG SAYA TAHU ATAU PATUT DAPAT MENGIRA, BAHWA IA MEMPUNYAI HAL YANG BERSANGKUTAN DENGAN JABATAN ATAU PEKERJAAN SAYA;

BAHWA DALAM MENJALANKAN JABATAN ATAU PEKERJAAN SAYA, SAYA SENANTIASA AKAN LEBIH MEMENTINGKAN NEGARA, DARIPADA KEPENTINGAN SAYA SENDIRI, SESEORANG ATAU GOLONGAN;

BAHWA SAYA SENANTIASA AKAN MENJUNGJUNG TINGGI KEHORMATAN NEGARA, PEMERINTAH, PEGAWAI NEGERI, DAN JABATAN YANG DIPERCAYAKAN KEPADA SAYA;

BAHWA SAYA AKAN BEKERJA DENGAN JUJUR, TERTIB, CERMAT DAN SEMANGAT  UNTUK KEPENTINGAN NEGARA”.

Salah satu cuplikan teks Berita Acara Pengangkatan Sumpah Jabatan untuk pejabat yang beragama Islam :

Perubahan besar bangsa ini antara lain pada saat lengser keprabon RI-1 Bapak Pembangunan, Jenderal Besar H.M. Soeharto, 21 Mei 1998. Perubahan kenegaraan berikutnya, percepatan Pemilu 1999, terdapat 2 RI-1 dalam periode 1999-2004. Artinya, bangsa ini hobi dengan segala perubahan.
Celakanya, walau banyak orang atau kelompok mencerca duet SBY–JK, lebih banyak lagi yang menginginkan kekuasaannya, atau sebagai penerus RI-1 dan RI-2.
Kesimpulannya, melalui media massa banyak orang yang minat pada kekuasaan, bukan pada perubahan. Karena perubahan tidak harus dimulai dari atas, lebih merakyat kalau dimulai dari bawah. Teori kita memang salah, bahwasanya orang akan bisa berbuat banyak kalau mempunyai kekuasaan. Seperti orang praktek dagang, baru mulai setelah merasa dan harus punya modal yang memadai dan layak. Bukannya langsung terjun, tanpa teori, bahkan tanpa ilmu.
Promosi dengan berani tampil beda, ibarat lagu anak-anak, aku seorang pahlawan,  mempunyai ambisi besar, kalau sudah duduk  ....

BUDI PEKERTI vs BUDAYA MALU
Budi pekerti utawa budi pekerti, tak jadi soal. Yang jadi soal, adalah asal-muasal budi pekerti. Ternyata bukan. Budi pekerti, apalah arti sederet huruf, yang penting hakekat mengapa dipakai. Secara bahasa,  budi pekerti bersifat individual, netral, universal dan dalam skala berbagai tingkatan, siapa saja bisa menyandangnya. Jika seseorang dipertanyakan betapa budi pekertinya, konotasinya positif!!! Budi pekerti seseorang hanya Allah yang tahu, orang hanya bisa menduga dengan melihat tingkah lakunya saja. Tingkah laku seseorang memang cerminan jiwa. Apa yang diperbuat manusia, mulai dari pikir, ucap dan tindak bisa merupakan tolok ukur budi pekerti. Ajaran leluhur bangsa Jawa mengajarkan cara berbudi pekerti yang baik termasuk meninggalkan kelakuan mo limo (5M) yaitu Main, Minum, Madon, Madat, dan Maling.
Dalam hubungan antar manusia, bisa terjadi budi pekerti seseorang bersifat dinamis dan fluktuatif. Bukan sebagai pemain watak, hanya karena perannya maka manusia bisa, mau tak mau, akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, beradaptasi dengan dimana bumi dipijak. Di barisan bebek kampung, tinggal mengikuti irama kwek-kwek. Nimbrung di perkampungan srigala bisa-bisa jadi menjadi pemakan segala. Artinya, bisa terjadi kadar budi pekerti seseorang bersifat luwes. Secara eksternal tergantung daya tarik untuk mengikuti arus nafsu dengan berbagai pilihan. Secara internal tergantung daya dorong untuk mengendalikan nafsu, mulai dari tingkatan berandai-andai sampai ke tingkat berani mengatakan tidak. Minimal bagaimana caranya mengelola berbagai kesempatan utawa peluang untuk membuktikan budi pekerti.
Membuktikan budi pekerti, sepertinya seperti orang penting mendatangi hajatan utawa undangan. Kalau panitia tidak mempersilahkan duduk di depan atau deretan VIP akan tersinggung. Kalau dipersilahkan, malah oknum tersebut memilih duduk di bangku belakang, ingin merakyat. Artinya seseorang secara sadar ingin memperlihatkan budi pekertinya, di lain kesempatan yang bersangkutan dengan ringan tangan akan mengenyampingkan budi pekerti.
Allah mengutus para rasul-Nya untuk memperkuat aqidah dan memperbaiki akhlak umat manusia. Budi pekerti di Nusantara ini bersifat kondisional, ada yang berbasis adat, adapula yang berbasis agama. Secara adat, budi pekerti dipertautkan dengan tatakrama, sopan santun serta pranata sosial lainnya. Adanya standar minimal hubungan antar manusia menyangkut hak dan kewajiban. Temperamen seseorang terkadang tak ada kaitan dengan budi pekerti.
Perkembangan akhlak manusia lebih lesat daripada perjalanan waktu. Keinginan berbasis nafsu menyebabkan manusia laju melebihi waktu dan tempatnya. Waktu direkayasa agar capaian bisa diwujudkan, jalan pintas, itu lagu lama. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, itu cara kuno.
Budi pekerti mungkin saudara dekat budi luhur,  yang jelas tak ada hubungan darah dengan budi permana. Atau ada pertalian nenek moyang dengan budi bahasa. Seperti lagu itu lho. Budi daya termasuk komponen budi pekerti. Karena dalam diri manusia, harus ada yang selalu dibudidayakan agar ybs berjalan di rambu-rambu budi pekerti.
Budaya malu, artinya mempunyai kontrol diri untuk tidak melakukan sesuatu yang memalukan, memalukan diri sendiri terlebih memalukan keluarga. Tahu tidak ada yang tahu, tidak ada yang mengawasi, mengamati, mengontrol atau merekam kelakuannya tetap tidak akan berbuat yang masuk kategori memalukan, bikin malu. Terlebih mendapat stigma tidak bisa membedakan mana yang buat malu mana yang tidak, sederhananya : tak tahu malu. Moral yang menjadi modal pemimpin akan menghasilkan budaya malu.
Urusan budi pekerti, UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang “HAK ASASI MANUSIA” telah menyuratkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan (mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti) dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.

icon_info_umumSUGIH TANPA BANDHA
DIGDAYA TANPA AJI
NGLURUG TANPA BALA
MENANG TANPA NGASORAKE
Peribahasa Jawa ini bermakna bahwa : kaya tanpa harta, perkasa tanpa aji-aji, menyerbu tanpa bala tentara, menang tanpa mengalahkan. Peribahasa ini ditujukan kepada setiap manusia yang kaya akan budi, tetapi tidak mempunyai harta benda. Budi pekerti yang baik lebih mahal dan bernilai daripada harta benda sebanyak apa pun, bahkan lebih berguna katimbang kesaktian sekali pun. Keperkasaan bukan karena obat kuat, bukan karena tenaga yang berlebih, kuat angkat berat, otot kawat balung wesi. Atau pun punya aji-aji bisa menghilang (koruptor zaman sekarang punya aji-aji bisa menghilangkan uang negara, nyaris tanpa jejak). Mendatangi lawan / musuh, bahkan sampai ke kandangnya/sarangnya, tanpa bantuan atau membawa wadya bala bersifat maknawi (bahasa politik sebagai lobi tingkat tinggi). Orang yang kaya pekerti dan baik budinya juga bisa menang tanpa harus mengalahkan serta berani menghadapi siapa saja karena membela yang benar.
Bandha tidak hanya harta benda, kekayaan materi, tetapi juga berupa pangkat, derajat, martabat, harkat, jabatan.
Akal, budi dan rasa yang dimiliki oleh setiap manusia, jika dikelola secara selaras, serasi dan seimbang dalam memenuhi keinginannya, maka segala apa yang diucapkan (ingat, lidah bisa lebih tajam dari sebilah pedang) serta tindakan yang diambil oleh manusia tersebut bernuansa bijaksana. Dalam menyikapi suatu konflik interaksi (untuk memenuhi keinginannya), mereka akan mengambil suatu keputusan yang saling menguntungkan. Dengan kondisi yang sama-sama mendapatkan (win-win solution) keuntungan ini, kedua belah pihak akan merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan. Ikhwal inilah yang melandasi maksud dibalik makna  konsep di atas disebut dengan istilah menang tanpa ngasorake, karena pihak lawan atau yang tak menang juga merasa mendapatkan kemenangan / keuntungan).
Namun, jika sifat angkara murka (kenapa muncul, lihat tulisan berikut) ini melanda kedua belah pihak, maka yang terjadi adalah rusak-rusakan atau sampyuh (sama-sama rugi, sama-sama tidak dapat, sama-sama hancur). Kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah dan saling berkeras untuk mau menang sendiri. Segala cara akan digunakan untuk mengalahkan pihak lawan (meskipun nantinya akan menghancurkan dirinya sendiri), yang penting nafsunya terlampiaskan untuk menghancurkan pihak lawan. Tak beda jauh dengan pemaknaan peribahasa ”Menang jadi arang, kalah jadi abu”.
Akal, budi dan rasa ini sebagai cikal bakal IQ, EQ, SQ maupun sumber potensi yang dimiliki setiap manusia yang dapat direkayasa, dimanipulir atau diberdayakan oleh yang bersangkutan untuk tujuan tertentu. Bekerja hanya mengandalkan ijazah, kemampuan akademis, kepandaian tak akan menjamin masa depan. Pintar bukan jaminan, orang harus pintar-pintar. Pintar memilih teman, pintar menyiasati lingkungan yang selalu berubah, pintar membaca situasi dan menentukan langkah ke depan, pintar mengantisipasi perubahan yang tak dapat diprediksi. Kampanye terselubung bisa dilakukan, sambil bekerja bisa melakukan bina lingkungan, membentuk jaringan dan dukungan.
Peribahasa Jawa ini terasa masih relevan dengan situasi terkini. Mengandalkan perhitungan di atas kertas, banyak kemungkinan yang tak bisa diprediksi akan terjadi. Banyak kejadian yang baru diketahui setelah liwat, atau ”meninggalkan korban tanpa jejak”. Banyak kejadian di luar perhitungan dan jangakauan daya akal manusia. Manusia tinggal meratapi dan menyesali nasibnya. Setiap kemungkinan membawa dampaknya sendiri-sendiri. Di atas lapangan, mengandalkan akal dalam memperturuti hawa nafsu akan menimbulkan watak angkara murka. Sifat mau menang sendiri muncul karena penggunaan akal lebih dominan daripada penggunaan rasa dan budi pekertinya.
Akal pikiran yang didorong oleh nafsu tanpa kontrol dan pengendalian dari rasa (hati nurani) dan budi pekerti akan menyebabkan manusia ini menjadi tamak dan mau menang sendiri tanpa memperdulikan akibatnya pada pihak lain. Inilah yang biasa disebut angkara murka.
Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Menyoal angkara murka, ramalan Jayabaya telah mengingatkan kita bahwa :
i.        Kana-kene rebutan unggul - Di mana-mana berebut menang.
ii.      Angkara murka ngombro-ombro - Angkara murka menjadi-jadi.
iii.     Agama ditantang - Agama ditantang.
iv.     Akeh wong angkara murka - Banyak orang angkara murka.
v.      Nggedhekake duraka - Membesar-besarkan durhaka.
vi.     Ukum agama dilanggar - Hukum agama dilanggar.
vii.    Prikamanungsan di-iles-iles - Perikemanusiaan diinjak-injak.
viii.  Kasusilan ditinggal - Tata susila diabaikan
ix.     Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi - Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
x.      Wong cilik akeh sing kepencil - Rakyat kecil banyak tersingkir.
xi.     Amarga dadi korbane si jahat sing jajil - Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
Jika perasaan (hati nurani) yang lebih mendominasi, maka yang terjadi adalah andap asor ini. Sebenarnya andap asor ini mengandung banyak arti. Bisa juga berarti sikap rendah hati yang merupakan sikap awal untuk bisa menang tanpa ngasorake (ini kalau menggunakan akal dan budi pekertinya). Jika hal ini dilaksanakan tanpa menggunakan akal pikiran dan budi pekerti maka yang terjadi adalah merendahkan diri. Kalah akal main okol, sebagai hal kalau kalah akal (tidak pintar atau tidak pintar-pintar) maka akan menggunakan otot, kekuatan fisik atau kekerasan, waton rosa, waton okol.
logo_bola_depan
DESA MAWA CARA
NEGARA MAWA TATA
Peribahasa Jawa yang menunjukkan betapa pada tingkat yang béda, aturannya juga béda. Tempat yang béda juga aturannya béda. Di era otonomi daerah, tak boleh ada produk hukum yang bertentangan dengan produk hukum di atasnya, walau ada perbedaan waktu, ruang dan subyek hukum. Bahkan antar daerah jangan sampai ada pertentangan kepentingan.
Di sisi lain, pemimpin daerah yang terkungkung dalam kontrak lima tahunan bisa menjadikan berjiwa besar dalam melaksanakan kewajibannya. Lima tahun dipandang sebagai masa tanam, tanpa mempedulikan siapa yang panen. Jangan menjadikan lima tahun sebagai masa perah susu.
Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa belum semua daerah dapat melaksanakan otonomi dengan benar. Kondisi ini terlihat pada berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama terkait dengan permasalahan regulasi (peraturan daerah), serta pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya keuangan melalui pengeluaran atau belanja daerah. Kewenangan yang dimiliki menyebabkan daerah menjadi kerajaan-kerjaan kecil.
Sejalan dengan GG, trio KKN menjadi daya dongktak popularitas daerah. Mirip selebritis baru tenar setlah tersandung berbagai kasus. KKN semula yang menjadi hak paten dan dilakukan oleh mereka yang dekat dengan poros atau sumbu kekuasaan Orde Baru, berkat Otonomi Daerah, KKN menjadi pusat pemberitaan di daerah.
Modus KKN seolah resmi dalam bentuk peraturan daerah. Akhirnya, dunia usaha, terutama para pengusaha dan investor di daerah banyak yang mengeluhkan keberadaan perda-perda yang bermasalah tersebut. Keluhan utama adalah ketidakpastian mengenai besarnya jumlah yang harus dibayar dan kerumitan administrasi yang ditimbulkan oleh begitu banyaknya jenis pajak dan retribusi daerah. Dari sisi pemerintah daerah, keberadaan perda-perda tersebut tanpa disadari telah menurunkan daya saing perekonomian daerah, termasuk daya tarik investasi daerah.

gudegSEPI ING PAMRIH
RAME ING GAWE
MEMAYU HAYUNING BAWANA
Maksudnya jauh dari mengutamakan kepentingan diri sendiri, sibuk dalam melaksanakan kewajiban, untuk memelihara ketentraman masyarakat dan dunia. Ibarat tangan kanan sibuk memberi sedekah, berbuat amal, menyantuni anak yatim, tangan kiri tidak tahu.
Pemimpin mempunyai sederet kewajiban, gemar berkarya dengan dasar rela hati, ikhlas hati. Bekerja dengan semangat baja, tidak mudah patah semangat, semua halangan dan rintangan dihadapi dengan arif. Mengoptimalkan potensi bangsa yang ada untuk mencapai masyarakat yang tenteram, stabilitas terjaga agar program pembangunan terlaksana dengan baik.
Mengacu pada posisi seorang pemimpin yang sangat strategis namun terkadang lokasinya “terisolir” (tentunya tak selalu duduk di belakang meja, atau bekerja dalam ruang besar, di gedung yang megah, ada penjaga, ada birokrasi) jauh dari yang dipimpinnya. Dari belakang meja seorang pemimpin memang bisa melakukan apa saja. Perkembangan bisa diikuti langsung berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga seolah tak ada beda jarak dan waktu. Koordinasi, komando, kontak bisa dilakukan dimana saja, kapan saja.
Tolok ukur keberhasilan seorang pemimpin tidak ditentukan oleh hasil survey dan jajag pendapat, tidak juga karena seringnya muncul di media massa pada acara peliputan peresmian pabrik, acara pembukaan pameran, memberi pengarahan pada seminar nasional, peletakan batu pertama pasar super modern, membagi sembako di lokasi banjir, menjengkuk pasien korban kompor gas meledak di Puskesmas terdekat, pidato di depan ribuan kader partainya, atau nonton tinju bareng di café gaul.
Jadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, secara kontekstual bisa tak berlaku. Dengan kapasitas yang berbeda, seorang pimpinan minimal akan memenuhi jam kerjanya dengan kesibukan yang luar biasa. Yang menjadi luar biasa, kalau seorang pemimpin bekerja 24 jam sehari atau jika dalam tingkatannya melebihi panggilan tugas akan mendapat bintang penghargaan.
Ada juga pemimpin lebih banyak berperan di belakang layar atau memberi peran dan porsi yang cukup besar kepada kepercayaannya. Pimpinan de facto ini pernah muncul di zaman Orde Baru sebagai think tank di bidang ekonomi, keamanan dan politik.
hips1
BECIK KETITIK
 ALA KETARA

Mungkin, seorang koruptor bisa hidup bebas melanglang buana, seolah kebal hukum, berkelit dari pasal hukum tipikor, atau dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan serta nama baikya telah dipulihkan dengan akta notaris. Untuk ukuran dunia pun, ada satu hal yang tak bisa ditipu yaitu hati nurani si koruptor. Mungkin si koruptor tenang, karena telah melakukan korupsi secara gotong royong, melibatkan semua unsur terkait, sistematis seolah legal, transparan dan dilakukan dalam satu periode.
Rakyat, walau tanpa kaca mata moral, dengan bekal keluguan, kearifan lokal, cita-citanya tak panjang, menerima apa adanya, hidup itu pengabdian, tak banyak tuntutan dan protes, terutama yang masih bisa membedakan mana kanan, mana kiri jelas tak bisa ditipu hidup-hidup.
Rakyat sudah terbiasa hidup dan lebih suka menerima mereka bekas penganut mo-limo (5M), daripada di lokasinya bercokol mantan pejabat bekas orang baik-baik. Petani yang berkubang lumpur bersama kerbau, mempunyai kepekaan untuk membedakan mana musang berbulu ayam, mana musang berkumis, mana musang berjangut.
Tanda-tanda orang pintar, minimal seperti sosok yang ditayangkan oleh media kaca swasta dan lokal, adalah manusia dengan busana  kebesaran serba hitam berkesan menakutkan, wajah berambut menyeramkan, kepala gundul depan belakang melambangkan “saya pikir, saya pintar”, menghunus senjata tajam, kepulan asap dupa, komat-kamit baca mantra AD dan ART Parpol “X”, sembur liur, kumis tempelan, bahasa rokh halus, sampai atribut mistis misterius lainnya.
Dalam keadaan tertentu, sebagai penghormatan, maka wong timur akan mendaulat serta mempersilahkan dari hadirin yang hadir untuk tampil total kopral. orang yang dipilih secara aklamasi masuk kategori orang yang dituakan. Yang dituakan belum tentu karena usia, bisa jadi karena penyandang dana utawa sponsor, tokoh masyarakat, utawa karena pangkat, jabatan dan predikat lainnya. Para pinisepuh, terkadang kalau tak dipersilahkan tampil untuk duduk di depan, untuk maju terlebih dahulu atau hal-hal yang berbau prioritas kemungkinan terbanyak akan merasa tersinggung peranakannya.
Bisa terjadi, tokoh politik sekaliber ketua umum merangkap pendiri parpol khusus pemilu tak dikenal di lingkungannya. kalah pamor sama tukang sayur atau pedagang sayur keliling (jangan disingkat), kalah tenar dengan tukang ojeg, kalah sohor dengan pemulung, kalah angka dengan pencari barang bekas, kalah klas dengan tukang vermak pakaian, ......
Celakanya, berkat demokrasi yang jauh dari sifat wong timur, banyak oknum warga negara yang tiba-tiba merasa tua dan sekaligus merasa pintar untuk memimpin bangsa ini. entah karena pengalaman, utawa memang menyandang berbagai kriteria / kategori yang dituakan maupun yang dipintarkan.

PEMIMPIN JUGA MANUSIA
restPrivacy atau hal-hal yang bersifat pribadi pimpinan sebaiknya jangan diotak-atik. Tetapi dari sisi lain justru yang skala pribadi atau moral menjadi track record atau bahan pertimbangan untuk dipilih. Pesaing awal Obama untuk maju menjadi bakal calon presiden AS gugur karena moral. Betapa kandungan moral bisa menentukan perjalanan nasib seseorang. Kalangan selebritis di Nusantara merasa bisa memimpin ketika anggota mereka bisa jadi wakil gubernur dan wakli bupati. Mereka tidak menganalisa bahwa kepopuleran tidak mendongkrak jumlah pemilih. Suara simpati dan harapan pemilih karena track record moral sang calon.
Mengacu pada identitas diri, sebagai contoh para RI-1, dengan Pancasila kita senang menggunakan kata panca (yang artinya : lima), seperti Panca Prasetya Korpri, Panca Usaha Tani, termasuk falsafah Jawa Pancapratama dan Pancaguna.
Pancapratama, diartikan sebagai lima keutamaan : (1) mulat, (2) amilala, (3) amiluta, (4) miladarma, lan (5) parimarma. Diharapkan seorang pimpinan harus selalu : berhati-hati dan waspada; memberi anugerah, penghargaan kepada semua para kawula; menyenangkan dan selalu memberi semangat atau motivasi, peningkatan kapasitas dan kesempatan; mendatangkan ketenteraman kepada bangsa dan negara; serta selalu belas kasih, dan kaya ampunan kepada sesama.
Pancaguna, diartikan selalu menjaga dan menyebarkan lima kepandaian dan keutamaan, meliputi : (1) rumeksa; (2) rurasa (ilat, ulat, ulah); (3) rumasuk; (4) rumesep; (5) rumangsa. Diharapkan jadi pemimpin haru selalu menjaga ketenteraman negara, serta rakyatnya. Untuk itu pmpinan harus bisa menjaga ilat (lidah) atau ucapan yang baik, ulat (cahaya wajah) atau pancaran jiwa dan isi hati yang baik, ulah (tatakrama) yang baik. Mau menyatu cipta, rasa, karsa kepada para kawula. Bisa menyenangkan serta mengayomi semua para kawula. Merasa memiliki serta tidak berlaku sombong, tidak “adigang adigung adiguna, siapa saya siapa kamu”, karena sudah menerima amanah atau kepercayaan memimpin para kawula.
Mengharap banyak dari pimpinan, tak akan terwujud jika kita sendiri tak mau capai singsingkan lengan baju, tak mau lelah banting tulang, tak mau lesu peras keringat sampai titik keringat penghabisan. Pemimpin bukan sejenis Sinterklas yang datang bagi-bagi hadiah, itu pun setahun sekali.
Pemimpin sebagai manusia mengharapkan porsi kesenangan lebih banyak dinikmati daripada porsi kesusahan. Sudah payah memikirkan orang lain, diri sendiri tak pernah terpikirkan. Ada 4 (empat) rukun agar kebahagiaan yang bersemayam dalam kehidupan manusia menjadi dominan, dibanding kesusahannya. Pertama, dimulai dari sehat tubuh. Menjaga kesehatan fisik diimbangi dengan menjauhi sifat hasad. Sifat hasad menggiring manusia ke kondisi : maka susahmu, miskinmu, dan sakitmu akan berlipat. Kedua, sehat akal, ingatan, keteguhan pendapat, kejernihan pikiran, serta kokohnya keyakinan. Perjuangan hidup [tidak sekedar pandangan hidup, pegangan hidup, susah hidup, berjuang untuk hidup sampai kemungkinan tak mau hidup-hidup] memang selayaknya menguras potensi diri (akal, keinginan dan perasaan). Akumulai potensi diri tadi terlihat dalam daya tanggap, peduli, peka dan respon dalam mengantisipasi gejala dan makna dari suatu kejadian dan perubahan. Potensi diri harus selalu diasah, dilatih dan dikendalikan, sehingga menghadirkan kemenangan, keberhasilan, kesuksesan sekaligus kebahagiaan. Ketiga, sehat jiwa, yang merupakan derivasi keimanan kepada Allah swt. Sehat jiwa – dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat – akan semakin berarti jika memberikan efek nyata dalam kehidupan. Keempat, kekayaan adalah pada perasaan telah kaya. Ingat, sugih tanpa bandha! Bila seseorang telah merasa kaya, bersyukur atas apa yang telah dipunyai bukan melihat pada apa yang belum dimilikinya, sepeser pun tak berarti kekayaan kalau belum untuk kemaslahatan umum, pro-poor, dan mensucikan kekayaannya dengan ZIS.

KESIMPULAN
    Keberhasilan seorang pemimpin (formal) tak bisa diduplikasi oleh orang lain, tak bisa didaur ulang dalam waktu yang berbeda, tak bisa diteruskan oleh penggantinya, bahkan tak bisa digeneralisir untuk dipakai sebagai patokan maupun pedoman. Setiap pemimpin punya karakter atau ciri yang khas, yang menjadi pembeda dengan pemimpin lainnya/berikutnya. Karakter tersebut baru ketahuan setelah ybs tidak menjabat atau setelah dievaluasi oleh generasi berikutnya.
    Kehidupan pribadi pemimpin bisa menunjukkan kandungan, muatan, kadar, persentase moralnya walau ditakar dalam pasal hukum buatan manusia. Mungkinkah seorang pemimpin harus berwatak atau berkepribadian ganda. Idealnya, karakter kepemimpinan sebagai satu sisi, sisi yang lain didominasi kepribadian si pemimpin.
ƒ    Pedoman moral sudah tersurat / tersirat dalam sumpah jabatan, yang bersifat relijius dan multi tafsir tergantung pemanfaatannya.
    Kata “moral” dijumpai satu kali pada PENJELASAN butir I.UMUM sebagai berikut : Undang-Undang ini mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Indikasi betapa dalam UU RI Nomor 42 tahun 2008 tentang “PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKLI PRSIDEN”, dari 18 persyaratan menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal5), tidak satu syarat pun yang memakai kata “moral”.
    Hubungan timbal balik moral antara pemimpin dengan yang menjadi tanggung jawabnya berupa setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
    Kepemimpinan terkait dengan berbagai rumpun dan tingkatan jabatan, maka diperlukan kontrol sosial dari pemuka agama, tokoh dan unsur masyarakat, kaum cendikiawan, akademisi, praktisi, dunia usaha/swasta.
    Salah satu kebutuhan manusia yang bersifat universal adalah kebutuhan integratif. Kebutuhan ini muncul dari hakekat manusia sebagai makhluk pemikir dan bermoral. Manusia sebagai makhluk individu butuh pedoman moral.





  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar