




Pedoman Moral dan Pembentukan Karakter dalam Kepemimpinan.
ABSTRAK
Terkadang kita tak bisa memakai kaca mata
moral dalam meneropong baik buruknya pimpinan. Bisa-bisa malah seperti meludah
ke atas. Banyak kriteria yang harus dipakai dalam menetapkan keberhasilan
seseorang pemimpin. Dari satu aspek seorang pemimpin kurang berhasil, namun
dari aspek yang lain gemilang. Misal, ada seorang bapak yang sukses di
kantornya sebagai top manajer, tetapi kurang sukses di rumah tangganya sebagai
kepala keluarga. Ada seorang perwira tinggi yang mampu mengomandani ribuan
personilnya, tetapi kelabakan untuk mengomando kelima anaknya. Dari sekian faktor
penyebab seseorang bisa jadi pemimpin (kepandaian, kekayaan), yang akan tetap
dikenang walau sudah tidak memimpin, adalah karakter, watak dan temperamennya.
Karakter, watak dan temperamen [pemimpin yang baik] merupakan cerminan jiwa
yang sudah teruji, karena mengalami pasang surut serta bersumber dari moral.
LATAR
BELAKANG
Dalam kehidupan berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini kita acap direpoti
dengan kepemimpinan nasional, sering disibuki dengan sepak terjang antara yang
pro dan kontra. Akhirnya enerji kita tersedot dan terkuras pada pemberitaan
kasus dan konflik internal para pemimpin bangsa. Pada saat babak penyaringan
dan penjaringan, banyak orang yang merasa bisa menjadi pemimpin. Dari yang
punya modal pernah mendirikan partai politik sampai yang merasa berjiwa muda
bersemangat pembaharuan, yang berjanji akan mengadakan perubahan.
Pada saat pemimpin nasional sedang
menjalankan amanah atau kepercayaan dari rakyat, banyak orang yang merasa lebih
pandai, lebih cakap, lebih cerdik, lebih layak, lebih patut, lebih berkelas.
Unjuk rasa, unjuk raga, unjuk suara sampai unjuk gigi di jalanan yang selalu
mengatasnamakan rakyat, menyuruh presiden turun atau berhenti di tengah jalan. Kalau
perlu, dalam rangka pemaksaan kehendak bisa berbuntut malapetaka dan bencana
demokrasi (kasus usulan pembentukan Protap yang berdampak pada kematian Ketua
DPRD Provinsi Sumatera Utara, 3 Februari 2009).
Banyak orang bisa melihat, mengamati,
meneliti, mengukur, menakar dan menimbang kekurangan pemimpinnya, khususnya
pemimpin formal. Banyak orang mengandalkan kapasitas akademis, sampai yang
berbekal pengalaman jalanan, nongkrong di pinggir got, ngrumpi di warung
pojok, gosip dengan sesama jenis di kaki
lima dengan enteng mengkritisi pemimpin atau kepemimpnan seseorang. Banyak
orang yang mampu menilai pemimpinnya, pengamatan pada tongkrongan, penampilan, tampang,
profil, gaya, kemampuan personal, tutur kata yang total jenderal dianggap
kurang becus, tidak aspiratif, tidak berpendirian, memihak golongannya, mudah
dibisiki. Dinamika dan risiko pemimpin, begitu mulai duduk, langsung digoyang
dan siap tergusur seperti Gus Dur. Habis duduk, menjadi terpidana kasus
korupsi, seperti yang dialami oleh beberapa wakil rakyat. Main pasal KUHP bisa
menjegal atau senjata makan tuan yang dialami jaksa maupun penegak hukum
lainnya.
Prosesi kepemimpinan, formal maupun non formal,
biasanya didominasi pemimpin formal terdapat sedikitnya 5 fenomena:
Pertama, setiap lima tahun sekali diselenggarakan pesta
demokrasi untuk memilih wakil rakyat, wakil daerah, kepala negara atau presiden,
melalui mekanisme Pemilu Legislatif dan Pilpres. Di tingkat daerah (provinsi,
kabupaten dan kota) juga diadakan Pilkada (pemilihan kepala daerah) untuk
menjaring pasangan figur/sosok yang akan menduduki jabatan gubernur, bupati dan
walikota beserta wakilnya dalam periode waktu tertentu.
Kedua, betapa setiap tahun anggaran pemerintah menganggarkan Dana
Kepemimpinan (biasanya untuk Eselon Ia) dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksana Anggaran), terutama dalam APBN. Dana
kepemimpinan ditujukan untuk kepentingan kedinasan pimpinan, atau siapa pun
yang ditunjuk untuk mewakilinya, khususnya untuk kondisi yang tak terprogram
tapi diprediksi ada dan selalu ada. Termasuk membelikan tiket pesawat anggota
Dewan, yang komisinya sedang melaksanakan kunjungan kerja.
Ketiga, jabatan Ketua RT (Rukun Tetangga), sebagai
jabatan yang dihindari oleh sebagian besar warga atau penghuni. Walau jabatan
tersebut, untuk provinsi tertentu ada uang jabatan, tetap tak diminati. Ketua
RT bisa muncul di pemberitaan media massa, sebagai saksi atau tokoh masyarakat
yang dimintai keterangan atas terjadinya peristiwa/perkara. Diposisikan atau
dinaikkan pamornya sebagai bahan dan sasaran lelucon di sinetron, bisa tampil
bersama komedian. Jabatan Ketua RT, walau dipilih langsung oleh warganya, dalam
kenyataan di beberapa daerah bisa turun-temurun atau bahkan bisa seumur hidup.
Nyaris bisa jadi prestis di lingkungan masyarakat yang homogen, statis,
terbelenggu.
Keempat, pariwara di media cetak, terbaca ada lowongan
untuk jadi rektor, kepala sekolah, kepala madrasah, direktur PDAM, dan
lain-lain jabatan dengan persyaratan tertentu. Bahkan ketua perhimpunan alumni
perguruan tinggi, terlebih alumni S2/S3 dari negara adidaya, negara barat
lainnya merupakan jabatan bergengsi. Jabatan ini diperoleh melalui proses adu
program, adu kontes, debat dan penilaian akhir/ penentuan oleh juri terpandang.
Kelima, dicari seseorang berjiwa pemimpin untuk
ditempatkan di pelosok desa, di daerah terpencil, di kawasan perbatasan, di
pulau-pulau kecil, di pedalaman, di lingkungan kumuh atau di komunitas adat
terpencil, untuk menjadi pelopor, motivator, penggerak masyarakat; sebagai
dinamisator, akselerator dan katalisator pembangunan nasional di akar rumput; memberantas
buta aksara mulai dari sumbernya. Pengalaman tidak diutamakan, begitu bunyi
pariwara di media cetak nasional.
Pemimpin (kepala, ketua, komandan,
panglima, rektor, mandor, manager, raja, gubernur, bupati, walikota, camat,
lurah atau sebutan lainnya), yang diformat sebagai jabatan karir, dibingkai
sebagai jabatan formal, dikemas sebagai jabatan struktural, dijabarkan sebagai
jabatan politis, dibentuk sebagai jabatan profesional berlaku untuk semua
kalangan pemerintah, militer, swasta, maupun masyarakat. Siapa yang layak dan
punya tiket jadi pemimpin, secara historis terjadi diskriminasi menyangkut
masalah gender, kesukuan, alumni, angkatan dan latar belakang lainnya.
Kepemimpinan,
dengan berbagai versi definisi, yang semuanya bersumber pada kemampuan seseorang
untuk memimpin (biasanya dikaitkan dengan jabatan dan organisasi). Ditelusur lebih
jauh, kepemimpinan, dalam koridor jabatan dan organisasi memancing beberapa
pertanyaan, dimulai dari apakah seseorang sejak lahir sudah mempunyai bakat
untuk memimpin serta apakah “kesempatan” untuk menjadi pemimpin itu sebagai hak
atau kewajiban warga negara:
apakah kepemimpinan itu diperoleh karena garis tangan, nasib, keturunan,
silsilah, warisan, bawaan, darah biru, bersifat kodrati;
apakah kepemimpinan itu didapat dari wahyu, wangsit, tirakat, nyepi,
nyekar, puasa, prihatin, bertapa atau kegiatan spiritual tertentu;
apakah kepemimpinan itu diraih karena ybs punya ilmu, jimat, jurus,
pusaka, andalan, ajian atau kesaktian lainnya;
apakah kepemimpinan itu dicapai karena ybs mempunyai kharisma, karakter,
watak, temperamen, sifat, moral, mental, budi pekerti, peri laku atau jiwa;
apakah kepemimpinan itu digapai karena ybs mempelajari secara ilmiah (ada
sekolahnya), merekayasa secara genetis, merumuskan secara sistematis, dan
mempraktekkan secara jenius.
|
Dari daftar pertanyaan di atas, yang melihat
berbagai kemungkinan seseorang bisa menjadi (memperoleh, mendapatkan, meraih,
mencapai maupun menggapai) “jabatan” pemimpin, pertanyaan berikutnya adalah
apakah seseorang yang bisa memimpin itu wajib mempunyai karakter, watak atau
temperamen kepemimpinan:
þ
apakah karakter kepemimpinan itu bisa digali, dipupuk, dibentuk dan
dikembangkan;
þ
apakah karakter kepemimpinan itu bisa dirumuskan, dibakukan,
distrukturkan, distandarisir dan dipatenkan;
þ
![]()
þ
apakah karakter kepemimpinan itu ada ilmu, pakem, atau norma, standar,
pedoman, kriterianya (NSPK).
|
Tiap individu dilahirkan akan
mempunyai risalah kehidupan yang mungkin tak jauh beda dengan kedua orang
tuanya. Terkadang terjadi pengulangan dari fragmen kehidupan dari yang pernah
dilakukan oleh ibu bapaknya. Walau seorang bayi dilahirkan dalam keadaan
fitrah, suci, tanpa dosa, namun kualitas diri dan perjalanan hidupnya akan
dipengaruhi oleh babad, bibit dan bobotnya. Setiap orang itu sejatinya sudah
jadi pemimpin. Konkritnya, dalam kapasitas memimpin dirinya sendiri menuju keutamaan,
atau memimpin keluarga sebagai Kepala Keluarga, lingkungan tempat tinggal
(ketua RT) sampai tingkat atau skala nasional. Pemimpin artinya orang yang
mempunyai kepandaian serta wibawa untuk mempengaruhi, menarik orang lain berkait
melaksanakan karya nyata. Pemimpin meneladani yang dipimpin untuk melaksanakan
karya seacara serius, tekun.
Campur tangan orang tua sangat
menentukan pejalanan hidup anaknya, dimulai apakah sang anak akan jadi majusi,
mempertuhankan akal dan materi, mendaulat politik sebagai panglima, atau
penyembah berhala mutakhir (kekayaan, kekuatan dan kekuasaan). Bahkan Pak
Harto, merasa apa yang dilakukan sebagai orang tua adalah hal yang wajar dan
benar, sampai mengangkat Mbak Tutut jadi menteri sosial sekalipun. Artinya
bagaimana dan seberapa jauh orang tua harus membimbing anaknya. Kapan seorang
anak bisa dilepas, apakah setelah dewasa, berkeluarga, mampu hidup mandiri. Setelah
keluarga, maka lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah sampai pergaulan
yang lebih luas akan mempengaruhi perjalanan nasib anak.
Keyakinan yang masih melansir
pendapat bahwa ada beberapa kategori pemimpin yakni : (1) Orang yang dilahirkan
sebagai pemimpin, sudah mempunyai bakat memimpin serta mendapat dukungan dari
lingkungan; (2) Orang yang mempunyai motifasi, kemampuan, dan kesempatan untuk
menjadi pemimpin; (3) orang yang berproses pada kehidupan secara lahir batin,
pada puncaknya atau tujuan perjalanannya dibutuhkan orang banyak; (4) Orang yang sedang mencari jalan, membaca
tanda zaman dalam menemukan jati dirinya (identitas diri dan percaya diri)
untuk selangkah lagi menjadi pemimpin; dan (5) Orang yang selalu atau seolah
“ditunggu” kehadirannya untuk memimpin, ketika keadaan sedang gonjang-ganjing. Mungkin ada benarnya, atau
mungkin ada versi lain yang relevan, tergantung skala ruang dan waktu.
Mengacu pada bagaimana latar
belakang dan proses munculnya seorang pemimpin, dikenali tipologi jenis pemimpin : (1) Pemimpin Tradisional, yaitu karena latar belakang tradisi yang berlaku di tengah
masyarakat dan telah berlangsung turun-temurun, misalnya Kepala Suku, Pemangku
Adat, Bangsawan (raja, sultan, sunan, dsb); (2) Pemimpin Rasional, yaitu yang
menjadi pemimpin karena kemampuan personal, kapabilitas, pengetahuan, pengalaman,
wawasan, human approcah antara lain
pemimpin organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi mahasiswa;
(3) Pemimpin Formal, yakni karena mendapatkan mandat atau aspek legalitas,
melalui mekanisme pemilihan atau berdasarkan perencanaan karir, seperti yang
berlaku di para penyelenggara negara, swasta, dan lainnya; (4) Pemimpin
Kharismatik, yaitu yang menjadi pemimpin karena pembawaan kharisma atau wibawa
yang dimilikinya, bisa juga karena faktor latar belakangnya; (5) Pimpinan
Ketokohan, model pemimpin ini karena ketokohan yang menonjol, populer, diakui
dan diterima secara mayoritas; (6) Pimpinan Populis, ketekunan menyebabkan
seseorang ahli di bidangnya ditambah pribadinya yang supel, humoris, berjiwa sosial,
aktif di bidang lain; dan (7) Pimpinan de
facto, pemimpin ini tidak mempunyai jabatan formal. Karena faktor keahlian,
kedekatan dengan poros kekuasaan, masih disegani dan mempunyai pengaruh,
pengikut (tepatnya punya ilmu nglurug
tanpa bala, lihat tulisan berikutnya).
TATA
KEPEMIMPINAN YANG BAIK

Kepemimpinan (leadership) di kalangan pemerintah, militer, swasta, maupun
masyarakat, mempunyai persamaan yang mendasar dan perbedaan yang hakiki,
kondisi ini dipengaruhi oleh budaya kerja, budaya organisasi. Model pemimpin
bisa mempunyai batasan moral yang fluktuatif, kondisional tergantung kestabilan
ekonomi, hukum dan politik.
Kemampuan manajerial adalah kemampuan
seseorang untuk memimpin serta melakukan
tindakan yang berhubungan langsung dengan perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, dan pengawasan seluruh sumber daya secara berdaya guna dan berhasil
guna untuk mencapai tujuan organisasi.
Hanya orang yang bernyali tetap, punya
rasa berani di atas rata-rata, semangat pantang putus asa sebelum jatuh tempo,
tak mudah menyerah pada rasa malu, tebal muka dan rasa takut tinggal kenangan –
kesemua ini sebagai standar minimal untuk berani hidup maju – untuk menatap
jauh ke zaman depan. Perhitungan matang untuk merintis dan menapak pada
kenyataan bahwa hidup ini bisa diformulasikan dan dikalkulasikan. Hidup penuh
dengan angka. Berhadapan dengan angka banyak faktor yang tak diketahui, tapi
bisa diprakirakan. Prakiraan inilah yang harus dihadapi oleh bangsa ini.
Apa hubungan tata kepemimpinan yang
baik dengan tata pemerintahan yang baik ( GG
= Good Governance). Pasca lengser
keprabon Pak Harto, 21 Mei 1998, GG
diformat dalam modul, nyaris mirip P4, mirip doktrin, mirip indoktrinasi.
Terdapat empat belas karakteristik
yang terhimpun dari telusuran wacana nilai GG dapat dijelaskan secara
deskriptif:
1.
Tata
pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis).
Semua kegiatan
pemerintah di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi yang
jelas disertai strategi implementasi yang tepat sasaran.
2.
Tata
pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan).
Wujud nyata prinsip
tersebut antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai kemudahan untuk
mengetahui serta memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan
kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat pusat maupun
daerah.
3.
Tata
pemerintahan yang cepat tanggap (responsif).
Masyarakat yang berkepentingan ikut serta dalam proses perumusan dan/atau
pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat.
4.
Tata pemerintahan yang bertanggung jawab/bertanggung gugat (akuntabel).
Instansi pemerintah dan para
aparaturnya harus dapat mempertanggungjawabkan
pelaksanaan kewenangan yang diberikan
sesuai dengan tugas dan fungsinya. Demikian halnya dengan kebijakan, program,
dan kegiatan yang dilakukannya.
5.
Tata
pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi. Wujud nyata
prinsip ini mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM,
peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta pengembangan
budaya hukum. Upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan aturan dan prosedur
yang terbuka dan jelas, serta tidak tunduk pada manipulasi politik.
6.
Tata
pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan
efektif.
Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan
melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif.
Keputusan yang diambil antara lembaga eksekutif dan legislatif harus didasarkan
pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan
keputusan bersama.
7.
Tata
pemerintahan yang terdesentralisasi.
Wujud nyata dari
prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian
kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan
profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
8.
Tata
pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus.
Aparat pemerintahan
harus cepat tanggap terhadap perubahan situasi/kondisi mengakomodasi aspirasi
masyarakat, serta mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi masyarakat.
9.
Tata
pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat.
Pemerintah baik pusat
maupun daerah dari waktu ke waktu harus selalu menilai dukungan struktur yang
ada, melakukan perbaikan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti
menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan, menyusun jabatan dan
fungsi yang lebih tepat, serta selalu berupaya mencapai hasil yang
optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara
efisien dan efektif.
10. Tata pemerintahan yang mendorong
kemitraan dengan swasta dan masyarakat.
Pendelegasian tugas dan kewenangan
pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat mempercepat proses
pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup untuk mengelola
pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan di pusat maupun di daerah.
11. Tata pemerintahan yang menjungjung
supremasi hukum.
Pembangunan
masyarakat madani melalui peningkatan peran serta masyarakat dan sektor swasta
harus diberdayakan melalui pembentukan kerjasama atau kemitraan antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hambatan birokrasi yang menjadi rintangan
terbentuknya kemitraan yang setara harus segera diatasi dengan perbaikan sistem
pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta serta penyelenggaraan pelayanan
terpadu.
12. Tata pemerintahan yang memiliki
komitmen pada pengurangan kesenjangan.
Pengurangan kesenjangan dalam berbagai
bidang baik antara pusat dan daerah maupun antardaerah secara adil dan
proporsional merupakan wujud nyata prinsip pengurangan kesenjangan. Hal ini
juga mencakup upaya menciptakan kesetaraan dalam hukum (equity of the law)
serta mereduksi berbagai perlakuan diskriminatif yang menciptakan kesenjangan
antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
13. Tata pemerintahan yang memiliki
komitmen pada pasar.
Pengalaman telah
membuktikan bahwa campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali
berlebihan sehingga akhirnya membebani anggaran belanja dan bahkan merusak
pasar. Upaya pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan pasar baik di dalam
daerah maupun antardaerah merupakan contoh wujud nyata komitmen pada pasar.
14. Tata pemerintahan yang memiliki
komitmen pada lingkungan hidup.
Daya dukung
lingkungan semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak terkendali. Kewajiban
penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsekuen, penegakan
hukum lingkungan secara konsisten, pengaktifan lembaga-lembaga pengendali
dampak lingkungan, serta pengelolaan sumber daya alam secara lestari merupakan
contoh perwujudan komitmen pada lingkungan hidup.
Salah satu prnsip GG telah mengakomodit kata “moral” yaitu pada PROFESIONALISME
diartikan sebagai “Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang
mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau”. Dalam Undang-Undang RI Tahun
32 tentang “PEMERINTAHAN DAERAH”, yang disebut penyelenggara pemerintahan
adalah :
BAB IV
PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Penyelenggara
Pemerintahan
Pasal 19
(1). Penyelenggara pemerintahan
adalah Presiden dibantu oleh 1 (satu) orang wakil Presiden, dan oleh menteri
negara.
(2). Penyelenggara pemerintahan
daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.
Meningkatkan kemampuan dan moral, akan
mempunyai paradigma, NSPK yang bisa berkembang menjadi proyek tersendiri. Ingat
GG, ingat korupsi :
KORUPSI LINTAS GENERASI
Bisa saja terjadi, anak sekarang cita-citanya
jadi koruptor. Menurut pandangan mereka, para koruptor umumnya dari kalangan
orang terhormat, terpandang, kaya, punya jabatan, sering nongol di TV, jadi
pembiacaraan dan pemberitaan media cetak. Dengan fantasi dan daya imaji
anak-anak, mereka anggap bahwa koruptor itu bukan penjahat.
§ Maling jemuran ketangkap
basah oleh masyarakat, dihakimi secara masal, itu baru penjahat.
§ Copet di angkot kepergok
oleh korbannya, babak belur, bonyok dihadiahi bogem mentah, itu baru
penjahat.
§ Rampok di rumah juragan
sembako, dikeroyok warga satu kampung, tewas ditempat tanpa meninggalkan
pesan terakhir, itu baru penjahat.
§ Penodong yang tak mempan
dibacok, dibekuk, ditembak polisi, akhirnya kebahisan nyawa dalam perjalan
menuju rumah makan, itu baru penjahat.
§ Jambret sial, dikejar
penduduk melarikan diri dengan menceburkan diri ke empang, tak muncul-muncul
kecuali arwahnya, itu baru penjahat.
§ Preman jalanan yang sering
memeras pedagang kaki lima, mabuk, tewas diseruduk truk tinja, mayatnya tak
ada yang mengakui, itu baru penjahat.
§ Pembunuh yang memutilasi
korbannya menjadi berkerat-kerat, mati ketakutan sebelum dihukum mati, itu
baru penjahat.
§ Pemalak anak sekolahan
dengan dalih untuk makan, gosong tersengat listrik dan tawon saat sedang
beroperasi, tanpa identitas yang jelas kecuali jenis kelamin, itu baru
penjahat.
§ Perompak merompak kapal
importir pakaian bekas, kebahisan bahan bakar di tengah laut, tenggelam mati
pelan-pelan, itu baru penjahat.
§ Begal yang merampas motor
tukang ojek, kabur nabrak kereta api yang sedang langsir, motor selamat
begalnya kiamat, itu baru penjahat.
Duduk perkara, bahwa yang jadi
korban tipikor adalah bukan orang tetapi negara, mana anak-anak tahu. Memang
koruptor tidak meresahkan masyarakat, koruptor tidak menghantui anak-anak,
koruptor tidak menakuti anak-anak, koruptor tidak mengancam anak-anak,
koruptor tidak memalak anak-anak, koruptor tidak berjualan jajanan berbahaya,
koruptor tidak menculik anak-anak. Di pasar tradisional tak ada dampak dan
keresahan adanya tipikor. Di warteg dan warnas tahu tempe tak merasakan ulah
tipikor atau perilaku koruptor yang sedang makan di warungnya.
§ Jadi, ……. itu baru penjahat
(hn).
|
KARAKTER
KEPEMIMPINAN (=IDENTITAS DIRI + PERCAYA DIRI)
Satu fakta yang harus kita pegang
teguh, pada umumnya pimpinan tak akan menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang
dipimpin. Bayangkan kalau puluhan, ratusan bahkan ribuan staf yang menjadi
tanggung jawabnya, antar pimpinan dalam kualitas yang sama, mempunyai karakter
yang berbeda, bahkan satu sama lain bisa kontradiktif.
Di tingkat RT, keinginan warga sangat
variatif, beragam, terlebih pada penduduk yang heterogen, ada yang menghendaki pembangunan
dan perbaikan jalan lingkungan diprioritaskan, ada yang mengharapkan pengelolaan
sampah rumah tangga didahulukan, ada yang mengusulkan air bersih yang layak
dikonsumsi lebih diutamakan dan sederet permintaan bak daftar belanja. Semua
keinginan ini bisa diakomodir oleh Ketua RT berikut jajarannya, dalam program
pembangunan RT. Dalam skala yang lebih
luas, skala nasional misalnya, kalau pemimpin nasional harus mendengarkan
satu-persatu suara hati nurani dan aspirasi rakyatnya, bisa-bisa harus buka
praktek 24 jam dan menjadi presiden seumur hidup.
Staf, karyawan, pegawai, pekerja,
buruh, tenaga kerja, tukang, perajurit, kawula, punggawa, pelayan, abdi
masyarakat, abdi pemerintah, aparatur negara atau sebutan lainnya, jangan hanya
mengandalkan haknya saja, tetapi juga harus mengelola kewajibannya dengan
sepenuh jiwa raga. Jangankan orang, pemerintah daerah soal banjir atau bencana
alam lainnya, selalu menyalahkan pemerintah pusat, minimal mengharapkan bantuan
dan uluran tangan. Soal sampah ada daerah yang membuangnya ke tetangga. Soal
air minum, terkadang tetangga diutamakan karena kemampuan membayar sebagai
pelanggan, sedangkan daerah sendiri hanya diliwati pipa air minumnya karena
belum layak secara teknis dan finansial. Antar pemimpin yang setara pun bisa
terjadi konflik demi kepentingan daerah masing-masing. Banyak upaya unuk
meminimalisir dampak konflik horizontal maupun konflik vertikal.
Pimpinan selalu dihadapkan pada
kondisi yang dilematis, pertentangan kepentingan antara internal dan eksternal,
perebutan pengaruh antara vertikal dan horizontal, perang batin antara masalah
pribadi dengan masalah golongan, menyebabkan pimpinan harus punya kiat yang
jitu. Menghadapi kondisi yang bak memakan buah simalakama, pimpinan tidak bisa
netral dan steril, tidak mudah mengambil jalan tengah atau resultantenya
apalagi jalan pintas. Pimpinan bergerak di antara koridor dua kutub, kutub
pertama mensyaratkan pimpinan harus arif, bijaksana, penuh toleransi, solider, mengedepankan
musyawarah, manusiawi; kutub kedua mensyaratkan pimpinan harus tegas tanpa
pandang bulu, tanpa pilih kasih, tanpa tebang pilih, tanpa tedeng aling-aling,
tidak menjilat luah sendiri. Di sisi yang lain, seorang pemimpin harus bisa
memadukan antara jiwa sosial dengan jiwa profesional, antara watak demokratis
dengan watak otoriter, termasuk mensinkronkan atau mengharmoniskan perpaduan
karakter yang kontradiktif.
Bung Karno terkenal dengan gaya hantam
kromo. Kalau Pak Harto dalam menghadapi anti kemapanan, kalau tak mau dirangkul
terpaksa dipukul. Habibie dengan falsafah daripada kehilangan sepuluh jari,
lebih baik kehilangan kuku kelingking kiri (ingat kisah referendum Timor Timur).
Gus Dur jelas tak mau repot dengan urusan tetek-bengek. “Begitu saja koq
repot”, guyon Gus Dur. mBak Mega lebih menampilkan jurus diam adalah emas.
Walau diam sudah ada kadarnya, di bawah bayang-bayang Bung Karno. SBY dengan
tata bahasa dan bahasa tubuh yang santun menunjukkan klasnya.
Terkait identitas diri, bisa pada atribut fisik, bisa pada gaya, bisa pada
figur yang didapat dalam proses, sebagai contoh:
§ Bung Karno modal cangkem (=
mulut), dikenal sebagai orator ulung.
§ Pak Harto modal mesem (= senyum),
senyum sang bintang lima.
§ Habibie modal kerem (= tenggelam),
habis Orba ikut tenggelam dalam larutan Reformasi.
§ Gus Dur modal merem (= pejamkan
mata), mengandalkan pendengaran dari pembisik.
§ mBak Mega, perempuan atau
wanita NKRI pertama yang menjadi presiden atau RI-1, sebelumnya sempat parkir
jadi RI-2, modal perem (= peram), bahkan oleh partai (PDIP) diperam
sewaktu-waktu ditampilkan, yang penting Merdeka!!
§ SBY modal kalem, ojo
grusa-grusu, ojo kesusu, ojo nafsu.
Pasca Reformasi, menyebabkan kran
demokrasi terbuka lancar, kesempatan untuk tampil habis-habisan di panggung
politik menjadi sah dan diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan. Panggung
politik untuk menjadi batu loncatan. Ajaran Pak Harto, yaitu jika ingin
berkuasa harus mempunyai kendaraan partai politik. Tak perlu jadi ketua umum,
yang penting bisa mengendalikan parpol.
Pergantian zaman menyebabkan perubahan di pola pikir, pola ucap dan pola
tindak. Puncaknya, ketika terjadi akumulasi krisis kepercayaan nasional, tak
ada panutan, tak ada lembaga yang dihormati dan disegani – semua orang merasa
bebas. Demokrasi diartikan sebagai kebebasan dalam segala bentuk. Bersuara
bebas. Bebas bermaksud. Bebas menentukan pendapat, menyampaikan aspirasi. Semua
serba menuntut dan menyampaikan protes. Memaksakan kehendak, keinginan secara
bebas.
Di NKRI ini kebebasan telah menjadi
dasar hak asasi manusia, khususnya dalam menyatakan jati dirinya. Menyantumkan
nama marga atau suku bangsa; memajang nama yang menunjukkan garis keturunan
darah biru utawa anak keturunan dari orang bernama merupakan hak asasi yang
kodrati dan alami. Kalangan militer pun terkena demam memajang gelar akademis,
di depan maupun di belakang namanya. Nama yang kurang komersial, tidak ngetrend, tidak gaul bisa yang punya nama
malu memakainya, merasa minder dengan nama lengkapnya.
Proses penyataan diri telah mengalami
kemajuan secara radikal. Masing-masing individu mempunyai pola dan modus yang
tak bisa disamaratakan. Masing-masing mengklaim dirinya sebagai pencetus ide
porno ragam, proklamator gerakan moral sampai merasa sebagai pembawa berita
kedamaian dan kepedulian ummat.
Interaksi yang terjadi sesuai kontak, ada interaksi sosial, interaksi politik,
interaksi usaha, dsb. Landasan hukum interaksi nyaris hukum rimba. Terlebih
dalam interaksi politik, siapa yang menyandang modal 3K (kaya, kuat, dan kuasa)
akan mendominasi jalannya politik
PEMBUNUHAN KARAKTER (character assassinations)
Entah siapa, entah mengapa, entah
kapan, entah bagaimana .... pembunuhan karakter menjadi basis wacana, bisa
disalahmengertikan, bisa disalahgunakan, bisa dimultitafsirkan, sampai
kemungkinan asal-asalan dipakai biar kelihatan cerdas, ilmiah dan jurnalis.
Kawanan politisi sipil, anggota aktif parpol tertentu, kader tulen, aktifis
pupuk bawang, sampai pengamat politik dengan mudah menggunakan kata tsb –
baik sewaktu berorasi maupun yang ora-ora.
Diselidiki,
disidik, disigi lebih leluasa, sebetulnya ada pihak tertentu yang merasa
gerah dan resah karena secara politis duduk di kursi panas, belum kebagian
kursi, bak duduk di kursi goyang, kehabisan jatah kursi sampai periode
berikutnya, akhirnya, lebih baik diam, daripada makan bangkai saudara
sendiri.
|
RITUAL
POLITIK
Ritual formal berpolitik di NKRI
terdeteksi pada pesta demokrasi lima tahunan, berdampak pada betapa sibuknya kegiatan
internal parpol. Memilih ketua umumnya
sebagai PR terbesar dan terberat, akan menentukan nasib parpol lima tahun ke
depan. Menentukan daftar caleg, nomer urut dan daerah pilihan, menetapkan tim
sukses, menggalang dana, melakukan koalisi, serta seabrek hiruk-pikuk.
Kedewasaan parpol, kematangan jiwa kader parpol diukur ketika kalah bertanding.
Tak lolos babak saringan administrasi bisa menjadi kecewa berat, terlebih kalau
kalah tipis. Media massa dengan santai memberitakan pertikaian antara kubu yang
memenangkan pilgub dengan yang kalah
dalam perhitungan suara, baik di luar pulau Jawa maupun terjadi di pulau Jawa.
Kondisi ini menujukkan adanya oknum atau tepatnya parpol yang tidak siap kalah. Sikap ini dimaklumi. Masalahnya
setelah >10 tahun Reformasi (1998-2008) apa masih akan seperti ini.
Kader kagetan, kader karbitan, kader
jenggot, kader titipan, kader semusim, kader putera mahkota tumbuh bak jamur di
musim jamur. Tiba-tiba banyak orang peduli dan merasa prihatin atas nasib
bangsa dengan cara mendirikan partai politik. Alasannya cukup bersahaja, liwat
jalur politik bisa jadi negarawan, dan merasa mampu merubah keadaan dari atas. Perubahan dimulai dari pucuk pimpinan.
Sejalan dengan fenomena bahwa ikan busuk mulai dari kepalanya.
Ritual sosial berpolitik mencuat
ketika ada gerakan peduli bencana alam. Parpol berebut melakukan gerakan
sosial, aksi galang dana dari berbagai pihak dan cara. Afdol lagi kalau
kegiatan ini diliput langsung oleh media massa.
Daya juang fraksi maupun komisi di
legislatif, secara tak langsung ingin menunjukkan bahwa wakil rakyat memikirkan
nasib yang diwakili. Upaya untuk lebih dekat dan akrab dengan konstitiuennya di
masa reses pun diupayakan, terutama para pemilih di luar negeri.
Liga daerah sampai liga nasional lima
tahunan memang mempunyai daya pikat dan daya tarik tersendiri. Antara
petualang, pialang dan pejuang nyaris tanpa batas jelas. Pagi sekutu, malam
jadi seteru. Untuk urusan tertentu, terkait balas budi atau balas jasa beda
warna bisa jadi sekutu. Untuk urusan berbasis balas dendam, walau satu warna
bisa jadi seteru.
Semua menjadi jelas, tatkala sang
reformis mengincar kursi, dengan bahasa terangnya ada pamrih. Padahal, kata
orang bijak, reformis tugasnya hanya sampai masa pancaroba. Masa transisi antar
generasi tidak butuh waktu lama, walau sebelumnya tak ada pengkaderan.
Pergantian antar generasi memang bisa bak Bharatayudha, kalau masing-masing
pihak tidak merasa kalau kepercayaan adalah amanah. Yang kalah maupun yang
menang tidak legawa atau ikhlas menerima kenyataan. Artinya, yang menang
berupaya nantinya jangan sampai menjadi pihak yang kalah. Begitu juga yang
sedang menyandang kekalahan, akan berupaya untuk kembali menjadi pihak yang
menikmati kemenangan.
Percaya
diri lebih didominasi dengan pengertian merasa bisa. Dengan pertimbangan akumulasi
dari berbagai kejadian, mulai dukungan dari penggemar dari berbagai usia yang
dapat dipercaya, desakan dari komponen masyarakat miskin dan rakyat kecil yang
dapat diandalkan, permintaan mayoritas pirsawan, pendengar dan pembaca di dalam
negeri, tuntutan pengusaha dan penyandang dana melalui SMS agar berani tampil
beda, sampai perhitungan dan kalkulasi matematis, maka misal pencalonan diri
menjadi bakal calon presiden pun dilakukan. Persyaratan formal diabaikan atau
menjadi nomer kesekian.
Tampilan pemimpin (politik) yang
terlihat penuh percaya diri apakah menyiratkan kandungan moralnya yang bisa
dipercaya. Kembali ke awal makalah, jangan pakai kaca mata moral dalam
menemukenali atau mencatat indikator moral pemimpin. Ibarat menepuk air di
permukaan, terpecik wajah kita. Berpolitik, tidak sekedar harus bermuka dua,
bahkan harus mampu memanfaatkan muka orang lain. Ternyata, politik di Nusantara
ini sudah berbadan dua, berkepala dua, bahkan lebih dari perkiraan sejarahwan.
Karakter kepimpinan, yang secara tak
langsung menunjukkan kandungan dan kualitas moralnya, pada seseorang bisa juga
terlacak begitu argo masa bhaktinya berjalan. Ada juga masih sebatas
angan-angan, sudah terbaca karakternya. Contoh pada dunia politik : Jusuf Kalla
(JK) yakin mampu mengemban amanah menjadi calon presiden (capres) yang
dimandatkan partainya. Bahkan, JK merasa bisa berbuat lebih baik dari kinerja
pemerintahan saat ini yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
[sumber, Republika, Senin, 2 Maret
2009]
Orang belajar agar percaya diri
(pede), orang mencoba merokok. Dengan merokok
merasa pede. Tanpa rokok bak anak ayam kehilangan induk, resah, gelisah,
was-was dan bisa timbul rasa minder. Tanpa merokok seolah kehilangan identitas,
nyaris kehilangan harga diri. Berbagai pertimbangan alasan rasa inilah maka
para perokok boleh merokok dengan berbagai gaya, aksi, pose dan di sembarang tempat.
Prinsip mereka, merokok adalah hak asasi manusia beradab, salah sendiri kalau
tak mau merokok (perokok pasif). Merokok itu sehat, membelinya yang bisa tidak
sehat. Akal sehat jangan dipakai untuk memantaskan merokok utawa tidak.
Tampilan orang merasa agar kelihatan
pede, mulailah budaya memanfaatkan teknologi komunikasi telepon saku utawa
telepon genggam, dikenal dengan sebutan hp (baca : hape). Berhape ria bisa
dilakukan sambil apa saja, termasuk merokok. Bahkan untuk teman ke belakang pun
terasa menambahnya nikmat. Siapa saja, kapan saja, dimana saja orang bebas
berhape. Merokok sambil berhape, utawa sebaliknya – ini bukan masalah jender –
menyebabkan ybs merasa tampil full action
plus vulgar. Yang bisa mengimbangi
gaya ini mungkin hanya sopir angkot yang ngetem sembarang tempat. Alasan tunggu
penumpang utawa uber setoran tak ambil pusing. Yang pusing salah sendiri,
memangnya kepala sendiri-sendiri.
Saat orang utawa manusia merasa
kelebihan pede, apapun bisa dilakukan. Mulai merokok di sembarang waktu dan
asal tempat. Mulai berbincang ramai dan santai via hape, yang lain dianggap
sedang mudik. Akhirnya lahirlah budaya korupsi. Mengapa malu harus korupsi. Toh
korupsi tak merugikan lingkungan, tidak menimbulkan polusi, tak mengakibatkan
gangguan jiwa bagi pendengarnya. Efek utawa dampak korupsi lebih dahsyat
dibanding makar. Kalau makar, hukum bisa diberlakukan dan memang berlaku.
Menghadapai korupsi, hukum akan pandang bulu. Kendati koruptor bukan penyandang
senjata, hukum tetap memberlakukan sesuai kaidah jual beli perkara,
tawar-menawar antara pasal yang dilanggar dengan pasal yang disalip. Artinya
puncak pede seeorang adalah melakukan tindak pidana korupsi dengan merasa aman,
terbagi, dan bebas dari jeratan dan jebakan hukum buatan manusia.
Kesimpulan, bagaimana ketika seorang
oknum koruptor (sebut saja si Badu = banyak duwit) melakukan proses korupsi
sambil merokok diselingi berhape ria ???
Orang gila utawa yang edan beneran,
berak sembarang tempat itu manusiawi. Kalau minat buang hajat tertunda akan menimbulkan
komplikasi. Tidak baik menunda yang bisa dikerjakan saat ini. Kalau
dilaksanakan tepat waktu, seandainya menimbulkan masalah ya namanya orang
sedang gila-gilanya, mosok tahu hukum.
Orang melakukan korupsi, secara
individual maupun gotong royong berjama’ah, apapun atau seberapapun diembatnya,
maklum gila harta. Bukan karena gila seseorang melakukan ritual korupsi, yang
penting substansi utawa rupiah yang bisa ditadah.
FALSAFAH
KEPEMIMPINAN

“Ing Ngarso Sung Tulodo,
Ing Madyo Mangun Karso,
Tut Wuri Handayani”, yang dimaksud adalah di depan memberi
contoh/teladan, di tengah membangkitkan semangat, kehendak atau keinginan, di
belakang memberi arahan, dorongan. “Posisi” seorang pemimpin sangat strategis, dimana
pun berada bisa memberikan sederet kepemimpinan. Rumusan ini menunjukkan bahwa
seorang pemimpin harus mampu menjalankan berbagai macam peran dan peranan.
Ketika di barisan depan
atau bahkan saat menjadi imam, pemimpin harus mampu memberikan teladan yang
baik bagi anak buahnya. Di lini depan pimpinan mempunyai daya tarik. Peran sebagai
panutan, sehingga dapat menjadi contoh tentang apa yang seharusnya dilakukan
untuk mencapai tujuan bersama. Berada di antara anak buahnya, seorang pemimpin
harus mampu berperan sebagai motivator, dinamisator dan akselerator bagi anak
buahnya sehingga mereka tergugah semangat untuk mewujudkan keinginannya dalam
koridor tujuan bersama. Pemimpin yang sedang turba (turun ke bawah) atau berada
di garis belakang, dengan melihat kondisi nyata mampu berperan sebagai pengarah
atau mampu memberi arahan pada anak buahnya, ataulah disebut mempunyai daya
dorong, sehingga mereka dapat melaksanakan berbagai kegiatan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Sistem paternalistik yang
masih kuat berakar di masyarakat Indonesia menuntut kehadiran pemimpin sebagai
sosok panutan masyarakat.
ACUAN MORAL
Moral bersifat universal, berlaku di
semua negara, di semua pemerintahan sampai di tatanan kehidupan masyarakat.
Acuan moral yang paling jitu dan terbukti adalah dari ajaran agama. Pelantikan pejabat,
pengambilan sumpahnya berdasarkan agama ybs sudah menyuratkan apa saja yang tak
boleh dilakukan dan yang wajib dilakukan. Isi
kandungan Berita Acara Pengangkatan Sumpah Jabatan sudah merupakan pedoman
moral bagi pejabat yang mengangkat sumpah. Selanjutnya terserah bagaimana
pemimpin atau sitersumpah akan menterjemahkan isi sumpah dalam
operasionalisasinya. Apakah pemimpin akan membuat aturan main dengan isi sumpah
sebagai payung hukumnya, apakah akan menjabarkan isi sumpah menjadi pasal hak,
kewajiban wewenang pemimpin tidak masalah. Apakah akan dicari celah mana yang
menguntungkan, mana yang merugikan, tidak menjadi soal. Apakah akan memilah dan memilih kegiatan yang
bersifat kebal hukum, sedikit melenceng dari hukum tapi akan kembali ke jalan
yang benar maupun punya dalih adanya force
majeru, menjadi urusan yang bersangkutan. Pelanggaran sumpah seolah tak
terkena sanksi dunia, sanksi akhirat pasti dapat.

Perubahan besar bangsa ini antara lain
pada saat lengser keprabon RI-1 Bapak Pembangunan, Jenderal Besar H.M.
Soeharto, 21 Mei 1998. Perubahan kenegaraan berikutnya, percepatan Pemilu 1999,
terdapat 2 RI-1 dalam periode 1999-2004. Artinya, bangsa ini hobi dengan segala
perubahan.
Celakanya, walau banyak orang atau kelompok
mencerca duet SBY–JK, lebih banyak lagi yang menginginkan kekuasaannya, atau
sebagai penerus RI-1 dan RI-2.
Kesimpulannya, melalui media massa
banyak orang yang minat pada kekuasaan, bukan pada perubahan. Karena perubahan
tidak harus dimulai dari atas, lebih merakyat kalau dimulai dari bawah. Teori
kita memang salah, bahwasanya orang akan bisa berbuat banyak kalau mempunyai
kekuasaan. Seperti orang praktek dagang, baru mulai setelah merasa dan harus
punya modal yang memadai dan layak. Bukannya langsung terjun, tanpa teori,
bahkan tanpa ilmu.
Promosi dengan berani tampil beda,
ibarat lagu anak-anak, aku seorang pahlawan,
mempunyai ambisi besar, kalau sudah duduk ....
BUDI
PEKERTI vs BUDAYA MALU
Budi pekerti utawa budi pekerti, tak
jadi soal. Yang jadi soal, adalah asal-muasal budi pekerti. Ternyata bukan.
Budi pekerti, apalah arti sederet huruf, yang penting hakekat mengapa dipakai.
Secara bahasa, budi pekerti bersifat
individual, netral, universal dan dalam skala berbagai tingkatan, siapa saja
bisa menyandangnya. Jika seseorang dipertanyakan betapa budi pekertinya,
konotasinya positif!!! Budi pekerti seseorang hanya Allah yang tahu, orang
hanya bisa menduga dengan melihat tingkah lakunya saja. Tingkah laku seseorang
memang cerminan jiwa. Apa yang diperbuat manusia, mulai dari pikir, ucap dan
tindak bisa merupakan tolok ukur budi pekerti. Ajaran leluhur bangsa Jawa
mengajarkan cara berbudi pekerti yang baik termasuk meninggalkan kelakuan mo
limo (5M) yaitu Main, Minum, Madon, Madat, dan Maling.
Dalam hubungan antar manusia, bisa
terjadi budi pekerti seseorang bersifat dinamis dan fluktuatif. Bukan sebagai
pemain watak, hanya karena perannya maka manusia bisa, mau tak mau, akan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, beradaptasi dengan dimana bumi dipijak.
Di barisan bebek kampung, tinggal mengikuti irama kwek-kwek. Nimbrung di
perkampungan srigala bisa-bisa jadi menjadi pemakan segala. Artinya, bisa
terjadi kadar budi pekerti seseorang bersifat luwes. Secara eksternal
tergantung daya tarik untuk mengikuti arus nafsu dengan berbagai pilihan.
Secara internal tergantung daya dorong untuk mengendalikan nafsu, mulai dari
tingkatan berandai-andai sampai ke tingkat berani mengatakan tidak. Minimal
bagaimana caranya mengelola berbagai kesempatan utawa peluang untuk membuktikan
budi pekerti.
Membuktikan budi pekerti, sepertinya
seperti orang penting mendatangi hajatan utawa undangan. Kalau panitia tidak
mempersilahkan duduk di depan atau deretan VIP akan tersinggung. Kalau
dipersilahkan, malah oknum tersebut memilih duduk di bangku belakang, ingin
merakyat. Artinya seseorang secara sadar ingin memperlihatkan budi pekertinya,
di lain kesempatan yang bersangkutan dengan ringan tangan akan mengenyampingkan
budi pekerti.
Allah mengutus para rasul-Nya untuk
memperkuat aqidah dan memperbaiki akhlak umat manusia. Budi pekerti di
Nusantara ini bersifat kondisional, ada yang berbasis adat, adapula yang
berbasis agama. Secara adat, budi pekerti dipertautkan dengan tatakrama, sopan
santun serta pranata sosial lainnya. Adanya standar minimal hubungan antar
manusia menyangkut hak dan kewajiban. Temperamen seseorang terkadang tak ada
kaitan dengan budi pekerti.
Perkembangan akhlak manusia lebih
lesat daripada perjalanan waktu. Keinginan berbasis nafsu menyebabkan manusia
laju melebihi waktu dan tempatnya. Waktu direkayasa agar capaian bisa
diwujudkan, jalan pintas, itu lagu lama. Menghalalkan segala cara demi mencapai
tujuan, itu cara kuno.
Budi pekerti mungkin saudara dekat
budi luhur, yang jelas tak ada hubungan
darah dengan budi permana. Atau ada pertalian nenek moyang dengan budi bahasa.
Seperti lagu itu lho. Budi daya termasuk komponen budi pekerti. Karena dalam
diri manusia, harus ada yang selalu dibudidayakan agar ybs berjalan di
rambu-rambu budi pekerti.
Budaya malu, artinya mempunyai kontrol
diri untuk tidak melakukan sesuatu yang memalukan, memalukan diri sendiri
terlebih memalukan keluarga. Tahu tidak ada yang tahu, tidak ada yang
mengawasi, mengamati, mengontrol atau merekam kelakuannya tetap tidak akan
berbuat yang masuk kategori memalukan, bikin malu. Terlebih mendapat stigma tidak
bisa membedakan mana yang buat malu mana yang tidak, sederhananya : tak tahu
malu. Moral yang menjadi modal pemimpin akan menghasilkan budaya malu.
Urusan budi pekerti, UU RI Nomor 39
Tahun 1999 tentang “HAK ASASI MANUSIA” telah menyuratkan bahwa setiap anak
berhak untuk memperoleh pendidikan (mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti) dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya.

DIGDAYA TANPA AJI
NGLURUG TANPA BALA
MENANG TANPA NGASORAKE
Peribahasa Jawa ini bermakna bahwa : kaya
tanpa harta, perkasa tanpa aji-aji, menyerbu tanpa bala tentara, menang tanpa
mengalahkan. Peribahasa ini ditujukan kepada setiap manusia yang kaya akan
budi, tetapi tidak mempunyai harta benda. Budi pekerti yang baik lebih mahal dan
bernilai daripada harta benda sebanyak apa pun, bahkan lebih berguna katimbang
kesaktian sekali pun. Keperkasaan bukan karena obat kuat, bukan karena tenaga
yang berlebih, kuat angkat berat, otot kawat balung wesi. Atau pun punya
aji-aji bisa menghilang (koruptor zaman sekarang punya aji-aji bisa
menghilangkan uang negara, nyaris tanpa jejak). Mendatangi lawan / musuh,
bahkan sampai ke kandangnya/sarangnya, tanpa bantuan atau membawa wadya bala
bersifat maknawi (bahasa politik sebagai lobi tingkat tinggi). Orang yang kaya
pekerti dan baik budinya juga bisa menang tanpa harus mengalahkan serta berani
menghadapi siapa saja karena membela yang benar.
Bandha tidak hanya harta
benda, kekayaan materi, tetapi juga berupa pangkat, derajat, martabat, harkat, jabatan.
Akal, budi dan rasa yang dimiliki oleh
setiap manusia, jika dikelola secara selaras, serasi dan seimbang dalam
memenuhi keinginannya, maka segala apa yang diucapkan (ingat, lidah bisa lebih
tajam dari sebilah pedang) serta tindakan yang diambil oleh manusia tersebut
bernuansa bijaksana. Dalam menyikapi suatu konflik interaksi (untuk memenuhi
keinginannya), mereka akan mengambil suatu keputusan yang saling menguntungkan.
Dengan kondisi yang sama-sama mendapatkan (win-win
solution) keuntungan ini, kedua belah pihak akan merasa puas dan tidak ada
yang merasa dirugikan. Ikhwal inilah yang melandasi maksud dibalik makna konsep di atas disebut dengan istilah menang tanpa ngasorake, karena pihak lawan
atau yang tak menang juga merasa mendapatkan kemenangan / keuntungan).
Namun, jika sifat angkara murka
(kenapa muncul, lihat tulisan berikut) ini melanda kedua belah pihak, maka yang
terjadi adalah rusak-rusakan atau sampyuh
(sama-sama rugi, sama-sama tidak dapat, sama-sama hancur). Kedua belah pihak
tidak ada yang mau mengalah dan saling berkeras untuk mau menang sendiri.
Segala cara akan digunakan untuk mengalahkan pihak lawan (meskipun nantinya
akan menghancurkan dirinya sendiri), yang penting nafsunya terlampiaskan untuk
menghancurkan pihak lawan. Tak beda jauh dengan pemaknaan peribahasa ”Menang
jadi arang, kalah jadi abu”.
Akal, budi dan rasa ini sebagai cikal
bakal IQ, EQ, SQ maupun sumber
potensi yang dimiliki setiap manusia yang dapat direkayasa, dimanipulir atau
diberdayakan oleh yang bersangkutan untuk tujuan tertentu. Bekerja hanya
mengandalkan ijazah, kemampuan akademis, kepandaian tak akan menjamin masa
depan. Pintar bukan jaminan, orang harus pintar-pintar. Pintar memilih teman,
pintar menyiasati lingkungan yang selalu berubah, pintar membaca situasi dan
menentukan langkah ke depan, pintar mengantisipasi perubahan yang tak dapat
diprediksi. Kampanye terselubung bisa dilakukan, sambil bekerja bisa melakukan
bina lingkungan, membentuk jaringan dan dukungan.
Peribahasa Jawa ini terasa masih
relevan dengan situasi terkini. Mengandalkan perhitungan di atas kertas, banyak
kemungkinan yang tak bisa diprediksi akan terjadi. Banyak kejadian yang baru
diketahui setelah liwat, atau ”meninggalkan korban tanpa jejak”. Banyak
kejadian di luar perhitungan dan jangakauan daya akal manusia. Manusia tinggal
meratapi dan menyesali nasibnya. Setiap kemungkinan membawa dampaknya
sendiri-sendiri. Di atas lapangan, mengandalkan akal dalam memperturuti hawa
nafsu akan menimbulkan watak angkara murka. Sifat mau menang sendiri muncul
karena penggunaan akal lebih dominan daripada penggunaan rasa dan budi
pekertinya.
Akal pikiran yang didorong oleh nafsu
tanpa kontrol dan pengendalian dari rasa (hati nurani) dan budi pekerti akan
menyebabkan manusia ini menjadi tamak dan mau menang sendiri tanpa
memperdulikan akibatnya pada pihak lain. Inilah yang biasa disebut angkara
murka.
Ramalan
Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi
Jawa yang dipercaya
ditulis oleh Jayabaya,
raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada
khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Menyoal angkara
murka, ramalan Jayabaya telah mengingatkan kita bahwa :
i.
Kana-kene rebutan unggul - Di mana-mana berebut menang.
ii. Angkara murka ngombro-ombro - Angkara murka menjadi-jadi.
iii. Agama ditantang - Agama
ditantang.
iv. Akeh wong angkara murka - Banyak
orang angkara murka.
v. Nggedhekake duraka - Membesar-besarkan
durhaka.
vi. Ukum agama dilanggar - Hukum
agama dilanggar.
vii. Prikamanungsan di-iles-iles -
Perikemanusiaan diinjak-injak.
viii. Kasusilan ditinggal - Tata
susila diabaikan
ix. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi - Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
x. Wong cilik akeh sing kepencil - Rakyat kecil banyak tersingkir.
xi. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil - Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
Jika perasaan (hati nurani) yang lebih
mendominasi, maka yang terjadi adalah andap
asor ini. Sebenarnya andap asor
ini mengandung banyak arti. Bisa juga berarti sikap rendah hati yang merupakan
sikap awal untuk bisa menang tanpa
ngasorake (ini kalau menggunakan akal dan budi pekertinya). Jika hal ini
dilaksanakan tanpa menggunakan akal pikiran dan budi pekerti maka yang terjadi
adalah merendahkan diri. Kalah akal main
okol, sebagai hal kalau kalah akal (tidak pintar atau tidak pintar-pintar)
maka akan menggunakan otot, kekuatan fisik atau kekerasan, waton rosa, waton okol.

DESA MAWA CARA
NEGARA MAWA TATA
Peribahasa Jawa yang menunjukkan betapa
pada tingkat yang béda, aturannya juga béda. Tempat
yang béda juga aturannya béda. Di era otonomi daerah, tak boleh ada produk
hukum yang bertentangan dengan produk hukum di atasnya, walau ada perbedaan
waktu, ruang dan subyek hukum. Bahkan antar
daerah jangan sampai ada pertentangan kepentingan.
Di sisi lain, pemimpin
daerah yang terkungkung dalam kontrak lima tahunan bisa menjadikan berjiwa
besar dalam melaksanakan kewajibannya. Lima tahun dipandang sebagai masa tanam,
tanpa mempedulikan siapa yang panen. Jangan menjadikan lima tahun sebagai masa
perah susu.
Perkembangan saat ini menunjukkan
bahwa belum semua daerah dapat melaksanakan otonomi dengan benar. Kondisi ini
terlihat pada berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan otonomi
daerah terutama terkait dengan permasalahan regulasi
(peraturan daerah), serta pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya keuangan
melalui pengeluaran atau belanja daerah. Kewenangan yang dimiliki menyebabkan
daerah menjadi kerajaan-kerjaan kecil.
Sejalan dengan GG, trio KKN menjadi daya dongktak popularitas daerah. Mirip
selebritis baru tenar setlah tersandung berbagai kasus. KKN semula yang menjadi
hak paten dan dilakukan oleh mereka yang dekat dengan poros atau sumbu
kekuasaan Orde Baru, berkat Otonomi Daerah, KKN menjadi pusat pemberitaan di
daerah.
Modus KKN seolah resmi dalam bentuk
peraturan daerah. Akhirnya, dunia usaha, terutama para pengusaha dan investor
di daerah banyak yang mengeluhkan keberadaan perda-perda yang bermasalah
tersebut. Keluhan utama adalah ketidakpastian mengenai besarnya jumlah yang
harus dibayar dan kerumitan administrasi yang ditimbulkan oleh begitu banyaknya
jenis pajak dan retribusi daerah. Dari sisi pemerintah daerah, keberadaan perda-perda
tersebut tanpa disadari telah menurunkan daya saing perekonomian daerah,
termasuk daya tarik investasi daerah.

RAME ING GAWE
MEMAYU HAYUNING BAWANA
Maksudnya jauh dari mengutamakan
kepentingan diri sendiri, sibuk dalam melaksanakan kewajiban, untuk memelihara
ketentraman masyarakat dan dunia. Ibarat tangan kanan sibuk memberi sedekah,
berbuat amal, menyantuni anak yatim, tangan kiri tidak tahu.
Pemimpin mempunyai sederet kewajiban,
gemar berkarya dengan dasar rela hati, ikhlas hati. Bekerja dengan semangat
baja, tidak mudah patah semangat, semua halangan dan rintangan dihadapi dengan
arif. Mengoptimalkan potensi bangsa yang ada untuk mencapai masyarakat yang
tenteram, stabilitas terjaga agar program pembangunan terlaksana dengan baik.
Mengacu pada posisi
seorang pemimpin yang sangat strategis namun terkadang lokasinya “terisolir” (tentunya
tak selalu duduk di belakang meja, atau bekerja dalam ruang besar, di gedung
yang megah, ada penjaga, ada birokrasi) jauh dari yang dipimpinnya. Dari
belakang meja seorang pemimpin memang bisa melakukan apa saja. Perkembangan
bisa diikuti langsung berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi,
sehingga seolah tak ada beda jarak dan waktu. Koordinasi, komando, kontak bisa
dilakukan dimana saja, kapan saja.
Tolok ukur keberhasilan
seorang pemimpin tidak ditentukan oleh hasil survey dan jajag pendapat, tidak
juga karena seringnya muncul di media massa pada acara peliputan peresmian
pabrik, acara pembukaan pameran, memberi pengarahan pada seminar nasional,
peletakan batu pertama pasar super modern, membagi sembako di lokasi banjir,
menjengkuk pasien korban kompor gas meledak di Puskesmas terdekat, pidato di
depan ribuan kader partainya, atau nonton tinju bareng di café gaul.
Jadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, secara kontekstual bisa tak
berlaku. Dengan kapasitas yang berbeda, seorang pimpinan minimal akan memenuhi
jam kerjanya dengan kesibukan yang luar biasa. Yang menjadi luar biasa, kalau
seorang pemimpin bekerja 24 jam sehari atau jika dalam tingkatannya melebihi
panggilan tugas akan mendapat bintang penghargaan.
Ada juga pemimpin lebih
banyak berperan di belakang layar atau memberi peran dan porsi yang cukup besar
kepada kepercayaannya. Pimpinan de facto
ini pernah muncul di zaman Orde Baru sebagai think tank di bidang ekonomi, keamanan dan politik.

BECIK KETITIK
ALA KETARA
Mungkin, seorang koruptor bisa hidup
bebas melanglang buana, seolah kebal hukum, berkelit dari pasal hukum tipikor,
atau dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan serta nama baikya telah dipulihkan
dengan akta notaris. Untuk ukuran dunia pun, ada satu hal yang tak bisa ditipu
yaitu hati nurani si koruptor. Mungkin si koruptor tenang, karena telah
melakukan korupsi secara gotong royong, melibatkan semua unsur terkait,
sistematis seolah legal, transparan dan dilakukan dalam satu periode.
Rakyat, walau tanpa kaca mata moral,
dengan bekal keluguan, kearifan lokal, cita-citanya tak panjang, menerima apa
adanya, hidup itu pengabdian, tak banyak tuntutan dan protes, terutama yang
masih bisa membedakan mana kanan, mana kiri jelas tak bisa ditipu hidup-hidup.
Rakyat sudah terbiasa hidup dan lebih
suka menerima mereka bekas penganut mo-limo
(5M), daripada di lokasinya bercokol mantan pejabat bekas orang baik-baik.
Petani yang berkubang lumpur bersama kerbau, mempunyai kepekaan untuk
membedakan mana musang berbulu ayam, mana musang berkumis, mana musang
berjangut.
Tanda-tanda orang pintar, minimal
seperti sosok yang ditayangkan oleh media kaca swasta dan lokal, adalah manusia
dengan busana kebesaran serba hitam berkesan
menakutkan, wajah berambut menyeramkan, kepala gundul depan belakang
melambangkan “saya pikir, saya pintar”, menghunus senjata tajam, kepulan asap
dupa, komat-kamit baca mantra AD dan ART Parpol “X”, sembur liur, kumis tempelan,
bahasa rokh halus, sampai atribut mistis misterius lainnya.
Dalam keadaan tertentu, sebagai
penghormatan, maka wong timur akan mendaulat serta mempersilahkan dari hadirin
yang hadir untuk tampil total kopral. orang yang dipilih secara aklamasi masuk kategori
orang yang dituakan. Yang dituakan belum tentu karena usia, bisa jadi karena
penyandang dana utawa sponsor, tokoh masyarakat, utawa karena pangkat, jabatan
dan predikat lainnya. Para pinisepuh, terkadang kalau tak dipersilahkan tampil
untuk duduk di depan, untuk maju terlebih dahulu atau hal-hal yang berbau
prioritas kemungkinan terbanyak akan merasa tersinggung peranakannya.
Bisa terjadi, tokoh politik sekaliber
ketua umum merangkap pendiri parpol khusus pemilu tak dikenal di lingkungannya.
kalah pamor sama tukang sayur atau pedagang sayur keliling (jangan disingkat),
kalah tenar dengan tukang ojeg, kalah sohor dengan pemulung, kalah angka dengan
pencari barang bekas, kalah klas dengan tukang vermak pakaian, ......
Celakanya, berkat demokrasi yang jauh dari sifat wong timur, banyak oknum
warga negara yang tiba-tiba merasa tua dan sekaligus merasa pintar untuk
memimpin bangsa ini. entah karena pengalaman, utawa memang menyandang berbagai
kriteria / kategori yang dituakan maupun yang dipintarkan.
PEMIMPIN
JUGA MANUSIA

Mengacu pada identitas diri, sebagai contoh para RI-1, dengan Pancasila kita
senang menggunakan kata panca (yang artinya : lima), seperti Panca Prasetya
Korpri, Panca Usaha Tani, termasuk falsafah Jawa Pancapratama dan Pancaguna.
Pancapratama, diartikan sebagai lima
keutamaan : (1) mulat, (2) amilala, (3) amiluta, (4) miladarma, lan (5) parimarma. Diharapkan seorang pimpinan harus selalu : berhati-hati
dan waspada; memberi anugerah, penghargaan kepada semua para kawula; menyenangkan
dan selalu memberi semangat atau motivasi, peningkatan kapasitas dan
kesempatan; mendatangkan ketenteraman kepada bangsa dan negara; serta selalu
belas kasih, dan kaya ampunan kepada sesama.
Pancaguna, diartikan selalu menjaga
dan menyebarkan lima kepandaian dan keutamaan, meliputi : (1) rumeksa; (2) rurasa (ilat, ulat, ulah);
(3) rumasuk; (4) rumesep; (5) rumangsa. Diharapkan
jadi pemimpin haru selalu menjaga ketenteraman negara, serta rakyatnya. Untuk
itu pmpinan harus bisa menjaga ilat
(lidah) atau ucapan yang baik, ulat
(cahaya wajah) atau pancaran jiwa dan isi hati yang baik, ulah (tatakrama) yang baik. Mau menyatu cipta, rasa, karsa kepada
para kawula. Bisa menyenangkan serta mengayomi semua para kawula. Merasa
memiliki serta tidak berlaku sombong, tidak “adigang adigung adiguna, siapa saya siapa kamu”, karena sudah
menerima amanah atau kepercayaan memimpin para kawula.
Mengharap banyak dari pimpinan, tak
akan terwujud jika kita sendiri tak mau capai singsingkan lengan baju, tak mau
lelah banting tulang, tak mau lesu peras keringat sampai titik keringat
penghabisan. Pemimpin bukan sejenis Sinterklas yang datang bagi-bagi hadiah,
itu pun setahun sekali.
Pemimpin sebagai manusia mengharapkan
porsi kesenangan lebih banyak dinikmati daripada porsi kesusahan. Sudah payah
memikirkan orang lain, diri sendiri tak pernah terpikirkan. Ada 4 (empat) rukun
agar kebahagiaan yang bersemayam dalam kehidupan manusia menjadi dominan,
dibanding kesusahannya. Pertama, dimulai dari sehat tubuh. Menjaga kesehatan
fisik diimbangi dengan menjauhi sifat hasad. Sifat hasad menggiring manusia ke
kondisi : maka susahmu, miskinmu, dan sakitmu akan berlipat. Kedua, sehat akal,
ingatan, keteguhan pendapat, kejernihan pikiran, serta kokohnya keyakinan.
Perjuangan hidup [tidak sekedar pandangan hidup, pegangan hidup, susah hidup, berjuang
untuk hidup sampai kemungkinan tak mau hidup-hidup] memang selayaknya menguras
potensi diri (akal, keinginan dan perasaan). Akumulai potensi diri tadi
terlihat dalam daya tanggap, peduli, peka dan respon dalam mengantisipasi
gejala dan makna dari suatu kejadian dan perubahan. Potensi diri harus selalu
diasah, dilatih dan dikendalikan, sehingga menghadirkan kemenangan,
keberhasilan, kesuksesan sekaligus kebahagiaan. Ketiga, sehat jiwa, yang
merupakan derivasi keimanan kepada Allah swt. Sehat jiwa – dalam badan yang
sehat terdapat jiwa yang sehat – akan semakin berarti jika memberikan efek
nyata dalam kehidupan. Keempat, kekayaan adalah pada perasaan telah kaya.
Ingat, sugih tanpa bandha! Bila
seseorang telah merasa kaya, bersyukur atas apa yang telah dipunyai bukan
melihat pada apa yang belum dimilikinya, sepeser pun tak berarti kekayaan kalau
belum untuk kemaslahatan umum, pro-poor,
dan mensucikan kekayaannya dengan ZIS.
KESIMPULAN
Keberhasilan seorang pemimpin (formal) tak bisa diduplikasi oleh orang
lain, tak bisa didaur ulang dalam waktu yang berbeda, tak bisa diteruskan oleh
penggantinya, bahkan tak bisa digeneralisir untuk dipakai sebagai patokan
maupun pedoman. Setiap pemimpin punya karakter atau ciri yang khas, yang
menjadi pembeda dengan pemimpin lainnya/berikutnya. Karakter tersebut baru
ketahuan setelah ybs tidak menjabat atau setelah dievaluasi oleh generasi
berikutnya.
Kehidupan pribadi pemimpin bisa menunjukkan kandungan, muatan, kadar,
persentase moralnya walau ditakar dalam pasal hukum buatan manusia. Mungkinkah
seorang pemimpin harus berwatak atau berkepribadian ganda. Idealnya, karakter kepemimpinan
sebagai satu sisi, sisi yang lain didominasi kepribadian si pemimpin.
Pedoman moral sudah tersurat / tersirat dalam sumpah jabatan, yang bersifat
relijius dan multi tafsir tergantung pemanfaatannya.
Kata “moral” dijumpai satu
kali pada PENJELASAN butir I.UMUM sebagai berikut : Undang-Undang ini mengatur
mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan
Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi
etika dan moral, serta memiliki
kapasitas dan kapabilitas yang baik. Indikasi betapa dalam UU RI Nomor 42 tahun
2008 tentang “PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKLI PRSIDEN”, dari 18 persyaratan
menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal5), tidak satu syarat pun yang
memakai kata “moral”.
Hubungan timbal balik moral antara pemimpin dengan yang menjadi tanggung
jawabnya berupa setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain, moral, etika dan tata tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kepemimpinan terkait dengan berbagai rumpun dan tingkatan jabatan, maka
diperlukan kontrol sosial dari pemuka agama, tokoh dan unsur masyarakat, kaum
cendikiawan, akademisi, praktisi, dunia usaha/swasta.
Salah satu kebutuhan manusia yang bersifat universal adalah kebutuhan
integratif. Kebutuhan ini muncul dari hakekat manusia sebagai makhluk pemikir
dan bermoral. Manusia sebagai makhluk individu butuh pedoman moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar