Perut rakyat
korban “ketahanan Pangan”
Konon, visi misi dan program aksi
Jokowi-JK bertajuk Trisakti dan Nawa Cita sebagai dasar filosofi dalam
mewujudkan Indonesia Hebat. Sakti ke-2 dari Trisakti berujar : “Berdikari salam ekonomi”. Cita
ke-7 dari Nawa Cita berbunyi : “Mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.” Di atas kertas, Jalan Ideologis dan 9
Agenda Prioritas pemerintah di periode 2015-2019 tidak ada yang aneh, salah
atau asing di hati rakyat.
Konon, para oknum atau kawanan pemburu rente, di periode Jokowi-JK seolah merasa mendapat
mandat dan kekebasan untuk menjamah urusan perut rakyat. Dalih perdagangan
bebas dunia, masyarakat ekonomi ASEAN, bahan baku olah pangan bisa masuk
sembarang waktu dan tempat. Tidak perlu ada prosedur dan proses yuridis. Beras
sintetis, beras plastik, beras oplosan (campuran dari kentang, ubi jalar dan
resin sintetis) atau sebutan ilmiah lainnya dari RRC/Tiongkok, tiba-tiba tanpa
berita dan sosialisasi dari pemerintah liwat jaringan jajaran pembantu presiden,
sudah nangkring dan nongkrong di pasar tradisional, warung rakyat.
Konon, rakyat semakin bingung bin
linglung, karena tidak ahli menyalahkan, kurang mahir mencari kambing hitam,
belum punya sertifikat untuk tunjuk hidung siapa pelakunya. Rakyat jadi korban
“ketahanan pangan”. Walau perut rakyat kebal lapar, kebal cuma makan sekali
sehari, kebal asupan gizi di bawah standar nasional. Bukan berarti perut rakyat kebal bagaikan
tabung reaksi. Untuk perut rakyat, pemerintah tega coba-coba, apapun dalih dan
alasan ilmiahnya. Perut rakyat diteror dengan asupan tidak manusawi. Wakil
rakyat yang terhormat, merasa ini bukan ursannya, hanya berpangku tangan.
Pura-pura kaget. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar