islah partai politik, isin
ngalah vs isané polah
Bukan tanpa sebab jika di tubuh suatu
partai politik subur dengan konflik internal, khususnya dalam pemilihan ketua
umum. Tak terkecuali parpol peninggalan zaman Orde Baru. Bedanya, PDI-P sudah
menjadi perusahaan dan industri politik keluarga., bisa-bisa okum ketua umum
bisa menjadi ‘presiden partai’ seumur hidup.
Nasib PG (Partai Golongan Karya)
dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang telah ‘melahirkan’ berbagai partai
politik atau karena tidak betah antri, banyak kader PG dan PPP menyempalkan
diri dengan mendirikan partai.
Bagi oknum parpol yang sabar
antri, tetapi tidak punya nyali mendirikan partai, dengan dalih AD dan ART
partai mengadakan musyawarah nasional. Tujuan utamanya adalah melengserkan
ketua umum secara konstitusional. Seperti yang telah dipraktekkan oleh PPP dan
PG.
Ketika jabatan ketua umum partai
otomatis maju sebagai calon presiden di pesta demokrasi, menjadikan aroma irama
dan syahwat politik semakin kental. Sarat dengan kepentingan politik individu
maupun golongan. Imbas, efek dan dampaknya pada pengurus parpol di tingkat daerah
sampai lokal. Ujung-ujungnya, nasib rakyat dipertaruhkan. Seperti kasus luberan
lumpur Lapindo, yang tak kunjung surut.
Munculnya kubu, loyalis maupun
penggembira di tubuh PG dan PPP semakin membuktikan betapa jabatan capres
begitu menggairahkan, sebagai daya tarik yang dominan. Menghadapi pilkada
serentak Desember 2015, PG kebakaran jenggot. Golkar yang selama zaman Orba
menjadi kendaraan politik Soeharto, namun di era Reformasi malah tidak mampu
meluncurkan presiden sendiri.
Islah yang dilakukan karena isin
ngalah. Artinya malu untuk mengalah. Karena dua oknum ketua umum PG
memahami makna “wong ngalah dhuwur wekasané” menjadi “wong ngalah dhuwur rekasané”. Paling tidak menterjemahkan islah menjadi isané polah. Bisanya bertingkah. Artinya . . . Pikir sendiri. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar