Halaman

Selasa, 09 Juni 2015

revolusi mental Nusantara vs mental nasi goreng KIH

revolusi mental Nusantara vs mental nasi goreng KIH

Humor berbasis satire (satire adalah gaya bahasa yang dipakai dl kesusastraan untuk menyatakan sindiran thd suatu keadaan atau seseorang; bisa sebagai sindiran atau ejekan) tentang nasi goreng sangat tepat untuk menggambarkan revolusi mental yang sedang bergulir. Humor satire nasi goreng, bermakna dua sisi atau dua arah yang berbeda. Satu sisi  menyiratkan watak pembeli dalam memanfaatkan kesederhanaan penjual. Sisi yang lain menyuratkan watak penjual menyiasati banyaknya peminta.

Di industri politik Nusantara, yang sedang mendendangkan revolusi mental, ternyata sedang terjadi strategi politik nasi goreng. KIH dengan senang hati mempraktekkan pola ini.

Pertama, jika calon pembeli bertanya ke abang penjual nasi goreng : “sepiring berapa bang?”. “Sepuluh ribu”, jawab penjual. “Kalau nasi sendiri berapa bang”, lanjut tanya calon pembeli”. Seperti humor yang sudah beredar resmi di tanah Jawa, jawaban abang penjual : “gratis pak”. Apa yang terjadi, bisa digambar liwat komik lebih atraktif. Kalau humor ala Madura, akan terasa lebih dinamis dan sadis.

Kedua, jika kita makan di warung yang berjajar menyita trotoar. Saat pesan nasi goreng lebih lama dibanding pesan nasi dengan lauk tinggal tunjuk. Hitung punya hitung, secara berseloroh diriwayatkan bahwa mengapa lama menggorengnya. Karena tukang goreng sedang mengumpulkan nasi sisa dari piring bekas makan. Nasi dikumpulkan, tanpa dicuci, langsung sebagai bahan baku nasi goreng.

Walhasil, dengan analisa pertama, banyak parpol dari KIH maupun KMP, begitu tahu kalau membawa kader sendiri (baca: keluarga) ikut “beli’ pesta demokrasi ternyata gratis. Atau beli sepiring nasi goreng, titip nasi sendiri sepiring untuk ditambahcampurkan. Paling-paling tambah biaya bumbu dan ongkos tukang. Betapa banyak oknum ketum parpol atau kandidat petahana dalam pilkada membawa keluarga besarnya, yang ada hubungan darah atau akibat perkawinan.

Walhasil, waktu presiden menggodok siapa yang layak dinobatkan jadi pembantu presiden, butuh waktu lama. Tak heran, khususnya dari KIH, menyodorkan nama kader parpol berstandar kualitas sisa. Walau bukan apkiran, atau sisa ekspor.


Jangan dibayangkan jika terjadi kombinasi kedua analisa humor nasi goreng. Anak bandar politik disodorkan untuk maju jadi pembantu presiden atau anak oknum ketum parpol dikarbit/diorbitkan masuk bursa caleg. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar