Halaman

Jumat, 12 Juni 2015

revolusi mental Nusantara, notonegoro I vs notonegoro II

revolusi mental Nusantara, notonegoro I vs notonegoro II

Wong Jawa memang ahli otak-atik kata berbasis otak-atik matuk, waton gathuk. Zaman lotere buntut, ahli otak-atik angka yang akan keluar tiap hari. Pernah muncul wabah SDSB, Porkas (peras otak rencana kaya akibatnya sinting) di zaman Orde Baru. Saat itu, rakyat tidak perlu mikir nasib negara. Semua sudah ada yang mengatur. Kalau tidak di tangan Golkar, ya di tangan presiden Suharto.

Wong Jawa juga ahli membaca pertanda zaman. Keberadaan atau kehadiran binatang di lingkungan tempat tinggal bisa diterjemahkan. Dikombinasikan dengan otak-atik kata, khususnya karena punya aksara Jawa, terkhusus orang Jawa kalau ”dipangku” akan ”mati”.

Wong Jawa ketika memposisikan diri sebagai abdi (hamba, ingat makna hamba Allah) bukan merasa sebagai bawahan, sebagai makhluk yang andap asor (rendah hati). Bukan sebagai manusia yang adigang adigung adiguna (wong sing ngendelake kekuatan, kaluhuran lan kapinteran) alias orang yang selalu mengandalkan kekuatan, budi pekerti dan kepandaian.

Notonegoro, sebagai satu-satunya kata kunci tulisan ini, menjadi pondasi inti tulisan.

Jelang pesta demokrasi, rakyat pusing memikirkan siapa yang layak jadi pemimpin nasional di periode lima tahun mendatang. Banyak nama abal-abal yang suka numpang nampang di media masa, khsusnya penyiaran televisi. Dari yang modal mulut, modal dengkul dan berani tampil nekat.

Kita kupas Notonegoro I.
Sudah kehendak sejarah, “NOTO” berupa Soekarno identik Orde Lama. Suharto identik Orde Lama. Alih kepemimpunan nasional dari penguasa seumur hidup Orde Lama ke penguasa tunggal Orde Baru, masuk ranah ‘inkonstitusional tetapi legal’.

“NEGORO I”, yang jarang masuk kamus otak-atik matuk, yaitu presiden RI ke-3, ke-4 dan ke-6 tidak bisa menyelesaikan masa jabatan satu periode lima tahun. Seolah mengalami bongkar pasang. Untuk negara kok coba-coba.

Era “NEGORO I” membuktikan para oknum elit politik baru dan sedang belajar politik yang baik dan benar. Semua bumbu dalam takaran bebas dicampur aduk dalam satu wadah. Masing-masing memainkan perannya sendiri-sendiri. ‘sing ora wangun, diwangun-wangunke’, ujar pengamat politik aliran Jawa.

Kita kupas “NEGORO II”
Sudah pertanda sejarah. “NOTO” yang sudah berjalan adalah SBY. Dua periode sebagai waktu transisi, Indonesia mau kemana!!!

Di era yang sedang kita lakoni, kita jalani, kita nikmati dengan jiwa dan semangat ing ngarso sung tulodo” Jokowi-JK, jangan sampai terjadi kejadian NOTOG, MENTOG lan JEDHUG. Ingat pepatah Jawa “kejedhug ing tawang, kesandung ing roto”. Maaf, tidak saya terjemahkan, bisa multitafsir.

Jokowi-JK sebagai jembatan menuju “NEGORO II”. Kita menuju negara yang diperjuangkan bersama sesuai harapan bersama atau menuju negara tanpa bentuk. Tak ayal, bandar politik, ambisi politik, kekuatan manca negara, kutub zionis dengan segala kaki tangannya yang telah mengakar di Nusantara, sangat menentukan bentuk “NEGORO II”.


Alon-alon waton kelakon, ojo padon, ojo waton guyon. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar