revolusi mental Nusantara, notonegoro I vs notonegoro II
Wong Jawa memang ahli otak-atik kata berbasis otak-atik matuk, waton
gathuk. Zaman lotere buntut, ahli otak-atik angka yang akan keluar tiap
hari. Pernah muncul wabah SDSB, Porkas (peras otak rencana kaya akibatnya
sinting) di zaman Orde Baru. Saat itu, rakyat tidak perlu mikir nasib negara. Semua
sudah ada yang mengatur. Kalau tidak di tangan Golkar, ya di tangan presiden
Suharto.
Wong Jawa juga ahli membaca pertanda zaman. Keberadaan atau kehadiran
binatang di lingkungan tempat tinggal bisa diterjemahkan. Dikombinasikan dengan
otak-atik kata, khususnya karena punya aksara Jawa, terkhusus orang Jawa kalau ”dipangku” akan ”mati”.
Wong
Jawa ketika memposisikan diri sebagai abdi (hamba, ingat makna hamba Allah)
bukan merasa sebagai bawahan, sebagai makhluk yang andap asor (rendah
hati). Bukan sebagai manusia yang adigang
adigung adiguna (wong sing ngendelake
kekuatan, kaluhuran lan kapinteran) alias orang yang selalu mengandalkan
kekuatan, budi pekerti dan kepandaian.
Notonegoro, sebagai satu-satunya kata kunci tulisan ini, menjadi
pondasi inti tulisan.
Jelang pesta
demokrasi, rakyat pusing memikirkan siapa yang layak jadi pemimpin nasional di
periode lima tahun mendatang. Banyak nama abal-abal yang suka numpang nampang
di media masa, khsusnya penyiaran televisi. Dari yang modal mulut, modal
dengkul dan berani tampil nekat.
Kita kupas Notonegoro I.
Sudah kehendak
sejarah, “NOTO” berupa Soekarno identik Orde Lama. Suharto identik Orde Lama. Alih
kepemimpunan nasional dari penguasa seumur hidup Orde Lama ke penguasa tunggal
Orde Baru, masuk ranah ‘inkonstitusional
tetapi legal’.
“NEGORO I”,
yang jarang masuk kamus otak-atik matuk, yaitu presiden RI ke-3, ke-4 dan ke-6
tidak bisa menyelesaikan masa jabatan satu periode lima tahun. Seolah mengalami
bongkar pasang. Untuk negara kok coba-coba.
Era “NEGORO
I” membuktikan para oknum elit politik baru dan sedang belajar politik yang
baik dan benar. Semua bumbu dalam takaran bebas dicampur aduk dalam satu wadah.
Masing-masing memainkan perannya sendiri-sendiri. ‘sing ora wangun,
diwangun-wangunke’, ujar pengamat politik aliran Jawa.
Kita kupas “NEGORO II”
Sudah pertanda sejarah. “NOTO” yang sudah berjalan
adalah SBY. Dua periode sebagai waktu transisi, Indonesia mau kemana!!!
Di era yang sedang kita lakoni, kita jalani, kita
nikmati dengan jiwa dan semangat “ing ngarso sung tulodo”
Jokowi-JK, jangan sampai terjadi kejadian NOTOG, MENTOG lan JEDHUG. Ingat pepatah
Jawa “kejedhug ing tawang, kesandung ing roto”. Maaf, tidak saya
terjemahkan, bisa multitafsir.
Jokowi-JK sebagai jembatan menuju
“NEGORO II”. Kita menuju negara yang diperjuangkan bersama sesuai harapan
bersama atau menuju negara tanpa bentuk. Tak ayal, bandar politik, ambisi
politik, kekuatan manca negara, kutub zionis dengan segala kaki tangannya yang
telah mengakar di Nusantara, sangat menentukan bentuk “NEGORO II”.
Alon-alon waton kelakon, ojo
padon, ojo waton guyon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar