bakal calon
koruptor, calon koruptor, koruptor dan mantan koruptor merasa di atas awan
Tatkala Indonesia
menyandang status negara multipartai, mau tak mau, sejarah Orde Lama berulang. Ketika
konsep politik Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) menjadi platform partai
politik yang aktif, dibawah kendali Sukarno. Pasca Reformasi 21 Mei 1998, PPP,
PDI dan Golkar yang berdasar UU 3/1975 menjadi 3 kawanan kekuatan politik di
era Orde Baru, membelah diri menjadi puluhan bahkan ratusan partai politik. Terbukti, pada
saat Pemilu 1999 diikuti sesedikit 48 partai dari 141 partai yang ada dan terdaftar di
Departemen Kehakiman dan HAM.
Tatkala
di Indonesia terjadi politik transaksional (bagi hasil, balas jasa sekaligus
balas dendam), ideologi Rp, munculnya aliran bandar politik vs kurir politik, mau
tak mau, aroma irama dan syahwat politik, industri politik merupakan fungsi
rupiah atau f(Rp). Muncul jargon untuk pemilih yaitu NPWP. Jangan dibayangkan tarif/harga
kursi penyelenggara negara khusus untuk kawanan parpolis. Maraknya koalisi
pro-pemerintah, oposisi banci, oposisi setengah hati, koalisi penggembira
memberi peluang masuknya bisnis politik.
Tatkala
di Indonesia, dominasi kekuatan politik (partai politik) di penyelenggara negara
dalam melaksanakan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat memposisikan
hukum sebagai budak di negeri sendiri.
Tatkala terjadi perseteruan
lanjutan Buaya vs Cicak. Ketika KPK Cetak 'Hattrick,' Kalah Lagi di
Praperadilan. Pertama, kasus Budi Gunawan, lalu
Ilham Arief, dan kini Hadi Poernomo.
Akhirnya, sinyalemen wong Jawa
yaitu “Asu gedhé menang kerahé” (tegesé wong gedhé lan nduwé
panguwasa menang kuwasané). Terbukti dan ternyata nyata-nyata
sekali nyatanya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar