Halaman

Senin, 08 Juni 2015

bakal calon koruptor, calon koruptor, koruptor dan mantan koruptor merasa di atas awan

bakal calon koruptor, calon koruptor, koruptor dan mantan koruptor merasa di atas awan


Tatkala Indonesia menyandang status negara multipartai, mau tak mau, sejarah Orde Lama berulang. Ketika konsep politik Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) menjadi platform partai politik yang aktif, dibawah kendali Sukarno. Pasca Reformasi 21 Mei 1998, PPP, PDI dan Golkar yang berdasar UU 3/1975 menjadi 3 kawanan kekuatan politik di era Orde Baru, membelah diri menjadi puluhan bahkan ratusan partai politik. Terbukti, pada saat Pemilu 1999 diikuti sesedikit 48 partai dari  141 partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM.

Tatkala di Indonesia terjadi politik transaksional (bagi hasil, balas jasa sekaligus balas dendam), ideologi Rp, munculnya aliran bandar politik vs kurir politik, mau tak mau, aroma irama dan syahwat politik, industri politik merupakan fungsi rupiah atau f(Rp). Muncul jargon untuk pemilih yaitu NPWP. Jangan dibayangkan tarif/harga kursi penyelenggara negara khusus untuk kawanan parpolis. Maraknya koalisi pro-pemerintah, oposisi banci, oposisi setengah hati, koalisi penggembira memberi peluang masuknya bisnis politik.

Tatkala di Indonesia, dominasi kekuatan politik (partai politik) di penyelenggara negara dalam melaksanakan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat memposisikan hukum sebagai budak di negeri sendiri.

Tatkala terjadi perseteruan lanjutan Buaya vs Cicak. Ketika KPK Cetak 'Hattrick,' Kalah Lagi di Praperadilan. Pertama, kasus Budi Gunawan, lalu Ilham Arief, dan kini Hadi Poernomo.


Akhirnya, sinyalemen wong Jawa yaitu “Asu gedhé menang kerahé (tegesé wong gedhé lan nduwé panguwasa menang kuwasané). Terbukti dan ternyata nyata-nyata sekali nyatanya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar