Umat Islam Di Panggung Politik,
Memakai Kacamata Kuda Atau Kacamata Moral
Bahasa Rakyat
Rakyat
tidak ambil pusing kalau Politik adalah seni mengatur dan mengurus negara dan
ilmu kenegaraan. Rakyat tidak peduli di awal Reformasi bergulir tata kelola kepemerintahan
yang baik (good governance) bagi aparatur negara, sekarang berwujud Reformasi
Birokrasi. Rakyat tidak mau tahu apa dan siapa yang disebut pengatur/pengurus
atau penyelenggara negara. Rakyat acuh tak acuh ada ilmu bernegara yang harus
diamalkan.
Politik mengatasnamakan rakyat hanya manjur saat Proklamasi 17 Agustus
1945. Perjalanan sejarah, rakyat diposisikan sebagai obyek pembangunan, sebagai
pelengkap penderita, dibebani dengan berbagai kewajiban. Di era Reformasi,
pembangunan pro-rakyat hanya sebatas persyaratan administrasi.
Bukti Sejarah
Di pihak lain, mereka yang masuk kategori Penyelenggara Negara [adalah
Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif,
dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (UU 28/1999 tentang “PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS
DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME”)], menganggap antar sesama bukan sebagai
mitra, tetapi lebih sebagai pesaing, sebagai kompetitor. Secara internal pun,
khususnya legislatif, tidak belaku asas musyawarah untuk mufakat. Bahkan asas
mufakat untuk musyawarah, misal sidang DPR terkadang tak sesuai kuota.
Jangan heran, para penyelenggara negara tidak memandang negara sebagai
organisasi besar, dengan tujuan yang bisa diraih melalui kerja sama. Mereka melihat
negara sebagai lahan basah, ibarat mengelola lahan parkir liar, tiap jam bisa mendatangkan
uang. Mereka menganggap negara sebagai tanah tak bertuan, untuk mendapatkannya
perlu pengorbanan berdasarkan standar duniawi. Mereka tetap bersikukuh bahwa
tanggung jawab utama negara bak perusahaan adalah menghasilkan profit,
khususnya mensejahterakan anggotanya.
Negara menjadi panggung politik. Pemainnya bebas berekspresi, berakting dan
melakonkan peran apa saja. Pemain watak, kepribadian ganda, mendadak alim,
mudah lupa, tiba-tiba sakit menjadi modal utama sebagai pemain. Ikuti aturan
main sesuai kebutuhan hari ini, besok pagi akan berubah.
Dalil Politik Islam
Rasulullah
SAW menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya
: "Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh
para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang
lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak
para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
Jelaslah
bahwa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan
masyarakat.
Rasulullah
SAW. bersabda :"Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya
memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di
sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin,
maka dia tidak termasuk golongan mereka (yaitu kaum Muslim)”. (Hadis Riwayat
Thabrani).
Islam merupakan agama yang sarat dengan
pemikiran politik. Kandungannya menjelaskan tentang masalah etika politik,
falsafah politik, hukum, hingga tatacara bernegara dam bermasyarakat. Pemikiran
politik Islam berawal dari pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Islam
masih tetap pada persoalan yang satu yaitu penyatuan Islam dan politik sejak
zaman Nabi hingga zaman kini.
Semangat Khilafiyah
Umat Islam yang mengabdikan dirinya di partai politik, siap perang batin
dan makan hati. Kehendak parpol bukan akumulasi niat pribadi yang mengedepankan
hati nurani, mengutamakan moral. Keputusan politik bisa jadi bumerang, bisa
senjata makan tuan. Pilihan bersifat dilematis. Kecerdasan dibutuhkan,
mengikuti arus dan kepentingan politik tetapi tidak terkontaminasi. Pondok Aren, 11 Pebruari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar