Halaman

Minggu, 28 Juni 2015

Umat Islam Di Panggung Politik, Memakai Kacamata Kuda Atau Kacamata Moral

Umat Islam Di Panggung Politik, Memakai Kacamata Kuda Atau Kacamata Moral

Bahasa Rakyat
Rakyat tidak ambil pusing kalau Politik adalah seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan. Rakyat tidak peduli di awal Reformasi bergulir tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) bagi aparatur negara, sekarang berwujud Reformasi Birokrasi. Rakyat tidak mau tahu apa dan siapa yang disebut pengatur/pengurus atau penyelenggara negara. Rakyat acuh tak acuh ada ilmu bernegara yang harus diamalkan.

Politik mengatasnamakan rakyat hanya manjur saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Perjalanan sejarah, rakyat diposisikan sebagai obyek pembangunan, sebagai pelengkap penderita, dibebani dengan berbagai kewajiban. Di era Reformasi, pembangunan pro-rakyat hanya sebatas persyaratan administrasi.

Bukti Sejarah
Di pihak lain, mereka yang masuk kategori Penyelenggara Negara [adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU 28/1999 tentang “PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME”)], menganggap antar sesama bukan sebagai mitra, tetapi lebih sebagai pesaing, sebagai kompetitor. Secara internal pun, khususnya legislatif, tidak belaku asas musyawarah untuk mufakat. Bahkan asas mufakat untuk musyawarah, misal sidang DPR terkadang tak sesuai kuota.

Jangan heran, para penyelenggara negara tidak memandang negara sebagai organisasi besar, dengan tujuan yang bisa diraih melalui kerja sama. Mereka melihat negara sebagai lahan basah, ibarat mengelola lahan parkir liar, tiap jam bisa mendatangkan uang. Mereka menganggap negara sebagai tanah tak bertuan, untuk mendapatkannya perlu pengorbanan berdasarkan standar duniawi. Mereka tetap bersikukuh bahwa tanggung jawab utama negara bak perusahaan adalah menghasilkan profit, khususnya mensejahterakan anggotanya.

Negara menjadi panggung politik. Pemainnya bebas berekspresi, berakting dan melakonkan peran apa saja. Pemain watak, kepribadian ganda, mendadak alim, mudah lupa, tiba-tiba sakit menjadi modal utama sebagai pemain. Ikuti aturan main sesuai kebutuhan hari ini, besok pagi akan berubah.

Dalil Politik Islam
Rasulullah SAW menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang  menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Jelaslah bahwa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat.

Rasulullah SAW. bersabda :"Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (yaitu kaum Muslim)”. (Hadis Riwayat Thabrani).

Islam merupakan agama yang sarat dengan pemikiran politik. Kandungannya menjelaskan tentang masalah etika politik, falsafah politik, hukum, hingga tatacara bernegara dam bermasyarakat. Pemikiran politik Islam berawal dari pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Islam masih tetap pada persoalan yang satu yaitu penyatuan Islam dan politik sejak zaman Nabi hingga zaman kini.

Semangat Khilafiyah

Umat Islam yang mengabdikan dirinya di partai politik, siap perang batin dan makan hati. Kehendak parpol bukan akumulasi niat pribadi yang mengedepankan hati nurani, mengutamakan moral. Keputusan politik bisa jadi bumerang, bisa senjata makan tuan. Pilihan bersifat dilematis. Kecerdasan dibutuhkan, mengikuti arus dan kepentingan politik tetapi tidak terkontaminasi. Pondok Aren,  11 Pebruari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar