Halaman

Senin, 01 Juni 2015

Teror Kata Lebih Kejam daripada Fitnah

Politika     Dibaca :809 kali , 0 komentar
Teror Kata Lebih Kejam daripada Fitnah
 Ditulis : Herwin Nur 16 Oktober 2012


Sejarah Berulang
Partai Komunis Indonesia (PKI), telah dua kali menikam bangsa dan rakyat Indonesia dari dalam. Pemberontakan PKI yang pertama pada tanggal 18 September 1948 di Madiun (dikenal dengan sebutan Madiun Affairs). Peristiwa Lubang Buaya, Jakarta dan Kentungan, Yogyakarta dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September 1965, sebagai pemberontakan PKI untuk kedua kalinya.

G30S PKI sebagai alih orde, Orde Lama ke Orde Baru. Di awal Orba muncul istilah “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”. Fitnah yang dilontarkan PKI jelang G30S sebagai cara, taktik dan strategi alihkan perhatian rakyat, setelah lengah baru PKI bertindak. Sampai sekarang, komunis tetap sebagai bahaya laten, dalam arti komunis sebagai “ideologi tidak akan pernah mati”.

Bahaya Laten Komunis
Adalah Dandim 0608 Cianjur, provinsi Jawa Barat,  Letkol (Kav) Jala Argananto menegaskan kepada masyarakat Cianjur untuk mewaspadai penyebaran paham komunis. Meski belum ditemukan secara kasus, namun pihaknya telah mencium adanya pergerakan penyebaran paham tersebut. Dirinya mengatakan, pergerakan tersebut masih dilakukan secara perorangan, belum diorganisir melalui kelompok-kelompok tertentu. “Paham komunis sendiri, diidentikkan dengan menanamkan sifat permusuhan. Untuk kasusnya, di Cianjur belum ditemukan, tapi pergerakannya ada,” tuturnya pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2012. (sumber :Short URL: http://radarsukabumi.com/?p=30277) 

Bahaya laten komunis bak bara dalam sekam. Pergerakannya tidak perlu wadah formal, dengan pendekatan orang ke orang. Mereka memanfaatkan jargon yang menyebutkan “siapa menguasai media massa akan jadi raja”. Berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seolah dunia ini tanpa batas jarak dan tanpa beda waktu. Jargon dalam dunia komunikasi: "Siapa yang menguasai informasi, akan menguasai dunia." Ungkapan ini dapat dibenarkan, karena secara objektif bidang garap apa pun di dunia ini hampir tidak ada yang mampu melepaskan dirinya dari informasi.

Lidahmu Harimaumu
Menanamkan sifat permusuhan, tidak sekedar adu domba, bisa jadi promotor, provokator yang menanamkan benih-benih permusuhan antar umat, lebih tepat sasaran jika menggunakan media masa.

Sajian fakta dalam selembar foto, bisa lebih dari sekedar bicara. Foto, terlebih tayangan langsung lebih bermakna daripada penjelasan panjang lebar. Namun, lidah bisa lebih tajam dari sembilu. Kata orang bijak “lidahmu, harimaumu, akan mengkerkah kepalamu”. Luka fisik bisa sembuh, luka akibat lidah akan membekas dibawa mati.

Saling mengatai, meledek, mengejek berakhir dengan bentrok fisik. Memakan korban jiwa. Dampak lidah lebih dahsyat daripada dampak foto.

Menghujat atau Menjilat
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, mau tak mau, kita berada di antara dua kutub yang kontradiktif. Yaitu antara menjilat dan menghujat. Walau kondisi itu nampak jelas di panggung politik, namun efeknya ke kehidupan semua anak bangsa. Di era Orba, banyak pihak menghamba ke penguasa tunggal. Media massa, takut dibredel atau mendapat stigma anti kemapanan, seolah tak punya nyali untuk menyuarakan amanat penderitaan rakyat.

Kita lihat melalui media massa, khususnya TV swasta, banyak acara yang menilai bahwa pemerintah rapornya merah. Acara dialog, diskusi, debat sampai kupas tuntas berbagai kasus malah membuktikan betapa rendahnya kadar, martabat si pembawa acara. Demi rating atau peringkat, demi pesan sponsor, mereka tanpa malu menghujat pemerintah.

Kebebasan menyampaikan pendapat, pihak pengelola layar kaca tidak punya kode etik jurnalistik, menyampaikan opini tanpa bekal data dan informasi. Pembicara memang cerdas, tetapi tidak mempunyai kecerdasan untuk mempertimbangkan dampak ucapannya. (Herwin Nur/Wasathon.com)

Peserta Lomba Menulis:
"Kami Cinta Rohis, Kami Bukan Teroris"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar