Halaman

Kamis, 11 Juni 2015

revolusi mental BJ Habibie, ora dadi presiden ora duwe parpol ora patheken

revolusi mental BJ Habibie, ora dadi presiden ora duwe parpol ora patheken


Bacharuddin Jusuf Habibie. Rekam jejak beliau sudah diketahui rakyat indonesia, walau dibesarkan di era rezim Orda baru. Sosok yang secara tak langsung menyuratkan dan menyiratkan perannya sebagai kepala keluarga, sebagai suami dan sebagai ayah. Daya juang ipteknya memang layak mengudara, mengangkasa, membubung ke langit. Kelebihannya a.l miskin bicara.

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya (sumber laman KPU).

BJ Habibie, dengan tenang dan aman, bisa dimana saja, bisa datang  dan berada kapanpun sebagai apa saja. Tidak perlu disanjung, apalagi menyanjumg diri sendiri. Tak mau hidup dari negara. Tak mau tahu adanya bantuan sosial untuk parpol, tunjangan politik untuk parpol.

Otak politik BJ Habibie memang kosong, melompong dan bolong, akhirnya lebih diisi dan dipadati dengan karya nyata yang bermanfaat buat bangsa, negara dan masyarakat. Tidak mengagungkan masa lampau. Hidup untuk masa depan.

BJ Habibie hidup di alam nyata, tidak mengandalkan silsilah dan keturunan. Tidak mengharapkan adanya warisan kekuasaan. Tidak ambisi bahwa berbuat baik dan benar untuk negara harus jadi kepala negara. Tidak mau jual jasa masa lampau. Tidak mau hidup di bawah bayang-bayang pendahulunya. Tidak mau hidup berandai-andai.

Konon, beberapa penggantinya pernah bertanya bagaimana rasanya atau apa yang dirasakan sekarang. Dengan enteng, ringan, tanpa beban menjawab lugu dengan logat daerahnya  : “ora dadi presiden, ora duwe parpol, ora patheken”. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar