revolusi mental BJ Habibie, ora dadi presiden ora duwe parpol ora
patheken
Bacharuddin Jusuf Habibie. Rekam jejak beliau sudah diketahui rakyat indonesia, walau dibesarkan
di era rezim Orda baru. Sosok yang secara tak langsung menyuratkan dan
menyiratkan perannya sebagai kepala keluarga, sebagai suami dan sebagai ayah.
Daya juang ipteknya memang layak mengudara, mengangkasa, membubung ke langit.
Kelebihannya a.l miskin bicara.
Setelah Presiden
Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan
presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan
publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil
Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7
Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian
alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan
dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga
lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini
kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih
presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa
dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan
DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri
memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu
kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya (sumber
laman KPU).
BJ Habibie, dengan
tenang dan aman, bisa dimana saja, bisa datang dan berada kapanpun sebagai apa saja. Tidak perlu
disanjung, apalagi menyanjumg diri sendiri. Tak mau hidup dari negara. Tak mau
tahu adanya bantuan sosial untuk parpol, tunjangan politik untuk parpol.
Otak politik BJ
Habibie memang kosong, melompong dan bolong, akhirnya lebih diisi dan dipadati
dengan karya nyata yang bermanfaat buat bangsa, negara dan masyarakat. Tidak mengagungkan
masa lampau. Hidup untuk masa depan.
BJ Habibie hidup di
alam nyata, tidak mengandalkan silsilah dan keturunan. Tidak mengharapkan
adanya warisan kekuasaan. Tidak ambisi bahwa berbuat baik dan benar untuk
negara harus jadi kepala negara. Tidak mau jual jasa masa lampau. Tidak mau
hidup di bawah bayang-bayang pendahulunya. Tidak mau hidup berandai-andai.
Konon, beberapa
penggantinya pernah bertanya bagaimana rasanya atau apa yang dirasakan
sekarang. Dengan enteng, ringan, tanpa beban menjawab lugu dengan logat
daerahnya : “ora dadi presiden, ora duwe
parpol, ora patheken”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar