Dana aspirasi dpr, menghinakan diri sendiri
Kemasan politik sinterklas dalam wujud
Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dikenal dengan sebutan
dana aspirasi semakin membuktikan bahwa kawanan 565 anggota parlemen Senayan
merasa bahwa suara rakyat bisa dibeli. Apapun alasannya, dengan dalih balas
jasa bagi pemilih di daerah pemilihannya, kenyataannya uang sebagai alat
intimidasi yang ampuh. Minimal berlaku skenario udang di balik batu.
Satu-satunya alasan formal yang dihafal, yaitu musrenbangnas tidak optimal.
Karena perjuangan wakil rakyat hanya menunggu di hilir, bukan berkeringat sejak
di hilir.
Jarang yang menganalisa bahwa dalam
Pemilu DPR 2014 terdapat 77 daerah pemilihan (dalam bentuk provinsi atau
gabungan beberapa kabupaten/kota) yang menengadahkan tangannya siap menerima
dana aspirasi dari 565 wakil rakyat tingkat pusat. Tidak termasuk dapil di luar
negeri. Duplikasi atau penerima ganda tidak masalah. Agar dapil cepat merasakan
perjuangan wakil rakyat yang hanya kontrak lima tahun di DPR.
Jarang yang menduga fakta yang
terjadi, yaitu : Pertama, jika wakil rakyat di periode pertama berarti mereka
berharap terpilih kembali di pemilu mendatang. Kedua, wakil rakyat sudah di
periode kedua berarti ada harapan bisa
booking atau indent kursi kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) saat
pilkada nantinya. Fakta ini sudah terang benderang, tidak perlu kajian
akademis, apalagi survei pesanan dari pihak tertentu.
Artinya, bagi rata dana asipirasi oleh
wakil rakyat bukan untuk memuliakan rakyat pemilihnya, tapi justru menghinakan
diri sendiri. Mereka, kawanan oknum wakil rakyat, menganggap akan terjadi
proses bottom-up jika dirangsang dengan fulus. Daftar belanja keinginan
dan kemauan rakyat berbasis kebutuhan/kemampuan nyata seolah akan dilayani
dengan tulus dan tuntas. Mereka, kawanan oknum wakil rakyat, merasa
jika rakyat dielus-elus, dibuai, dicumbu, dininabobokan dengan uang, akan jadi
penurut, peturut, pengikut yang loyal. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar