2014, Semangat Dan Jiwa Reformasi
Di Titik Nadir
Arus Politik
Sejarah
mencatatat bahwa tanggal 21 Mei 1998 sebagai alih kepemimpinan nasional yang
belum jatuh waktu, dari presiden 1997-2002 Suharto ke wakil presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie. Permasalahan
bangsa dan negara dimulai ketika presiden pengganti secara konstitusional, terkondisikan
agar pemilu dipercepat.
Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni
1999 untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan
dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan
lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak
dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR
untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Sejarah membuktikan bahwa MPR
hasil pemilu 1999, telah mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1999 tahun 1999, tentang
“PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PROF. DR. ING. BACHARUDDIN
JUSUF HABIBIE”, kita simak khususnya pada Pasal 1 :
Pasal 1
Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr Ing. Bacharuddin
Jusuf Habibie yang diucapkan/disampaikan di hadapan Rapat Paripurna ke 8
tanggal 14 Oktober 1999 dan jawaban Presiden atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi
terhadap Pidato Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing.
Bacharuddin Jusuf Habibie pada Rapat Paripurna ke 11 tanggal 17 Oktober 1999
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 14 sampai
dengan 21 Oktober 1999, dinyatakan ditolak.
Jika rakyat berani jujur bahwa dalam 17 bulan
pertama era Reformasi terbaca semangat dan jiwa reformis hanya seolah sekedar
bongkar pasang presiden/wakil presiden Orde Baru.
Periode 1999-2004 semakin membuktikan niat dan
nafsu reformis yang sebenarnya. Semakin parah, majunya reformis sebagai capres
2004 dan 2009, menandakan politik sebagai panglima, syahwat politik mendasari
semangat dan jiwa Reformasi.
Tak salah jika disimpulkan bahwa Reformasi
diawali, dimulai dari puncaknya bertebaran ke segala penjuru pamrih. Merasa
kurang ruang juang, merasa demokrasi meraih kursi sebagai wujud ambisi semakin mahal,
wilayah Indonesia dikapling-kapling dengan dalih otonomi daerah. Semangat
otonomi di daerah menyuburkan dinasti politik, perputaran kekuasaan berada di
dalam sistem famili, nepotisme versi Reformasi.
Hegemoni Politik
Dominasi legislatif di
dua periode SBY diimbangi koalisi partai politik sebagai pengingkaran terhadap
kodrat Bhinneka Tunggal Ika. Oposisi setengah hati, hegemoni banci mendudukan
politik sebagai komoditas ekonomi, mempunyai nilai jual. Panggung politik
menjadi ajang jual beli kepercayaan yang berujung bagi-bagi kursi.
Menghadapi tahun
politik 2014, emosi rakyat sebagai pemilih atau yang akan menggunakan hak
pilihnya diaduk-aduk secara sistematis dan menerus. Partai politik peserta
pemilu belum ada yang secara jantan dan jujur memproklamirkan siapa calon
presiden yang ditawarkan kepada rakyat.
Parpol tanpa dikomando kompak menunggu hasil pemilu
9 April 2014, baru menentukan nasib siapa bakal calon presiden dan wakil
presiden. Rakyat yang selalu mengharapkan perubahan, akan melihat siapa capres,
usulan dari parpol apa, baru mencoblos (tepatnya asal mencoblos) nama caleg di
parpol tersebut agar ambang batas atau persyaratan peroleh kursi terpenuhi.
Tidak seperti di
tahun 2004 dan 2009, banyak yang merasa bisa jadi presiden / wakil presiden,
tampil dalam format politik pasangan calon presiden dan presiden. Suhu politik
akibat persaingan antar pasangan saat itu lebih kuat daripada pasal hukum.
Akrobat
politik menjadikan panggung politik 2014 bak kuda kayu yang lari di tempat. Jika
lengah, kursi akan melayang diserobot pesaing. Seolah kursi capres menjadi tak
bertuan namun tak ternilai harganya.[HaeN] 11feb2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar