Humaniora Dibaca :382 kali , 0 komentar
Persatuan Islam Sebagai Modal Kedaulatan Umat
Ditulis : Herwin Nur, 07 Januari 2013
Fenomena Perubahan
Melakukan perubahan seperti yang tersurat dalam sebagian terjemahan [QS Ar Ra’d (13) : 11] : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.", harus diartikan bersifat proaktif, jangan sampai menunggu musibah baru bertindak.
Pasang surut kehidupan, kita bisa mengalami kondisi yang tak menentu, atau menjurus ke kemunduran yang tak terasa. Perubahan yang dilakukan suatu kaum secara politis diterjemahkan sebagai gerakan radikalisme, sporadis bahkan mengarah ke perbuatan anarkis.
Di Indonesia, perubahan diklaim hanya bisa dilakukan lewat partai politik (parpol). Aspirasi umat Islam liwat parpol maupun ormas Islam (NU atau Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) tidak bisa direalisasikan secara optimal.
Parpol Islam terbelenggu aturan main parpol yang mengutamakan asas politik sebagai panglima. Keberagaman parpol Islam menjadikan aspirasi umat Islam semakin tidak tersalurkan. Urusan kebijakan pemerintah antar parpol Islam bisa berseberangan. Ormas Islam menganut paham moderat, dalam prakteknya terkait kebijakan pemerintah, khususnya Muhammadiyah bergaya dualisme. Di satu sisi untuk berbuat perubahan harus menunggu komando pemerintah, tidak proaktif, preventif maupun antisipatif (misal dalam mengikis radikalisme dan terorisme bercorak agama), di sisi lain bersifat kontraproduktif atau menunggu kejadian baru berreaksi dan beraksi (mengkritisi pemerintah yaitu merasa pembubaran BP Migas sebagai kado milad Muhammadiyah).
Kedua ormas Islam yang mengandalkan jumlah pengikutnya, atau langsung bersentuhan dengan masyarakat, untuk urusan kedaulatan umat cenderung jalan sendiri tanpa koordinasi, apalagi bersinergi.
Fenomena Kedaulatan Umat
Penduduk Indonesia yang beragama Islam masuk kategori mayoritas. Bahkan sebagai negara berpenduduk mayoritas umat Islam diperhitungkan dunia. Soal ekonomi, politik, pendidikan dan sosial, umat Islam terkadang sebagai penonton. Ironisnya, malah bisa sebagai budak di negeri sendiri. Urusan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, eksistensi dan jati diri Islam berbaur dengan sifat pluralisme.
Menghadapi musuh yang sama, sebut saja kemiskinan dan kebodohan, umat Islam tidak dalam satu barisan. Kepentingan individu yang dibalut madu duniawi acap menyebabkan umat Islam mengabaikan ukhuwah.
Kita berharap umat Islam Indonesia dalam masalah akidah/tauhid, masuk golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dalam menjalankan agama selalu berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.
Secara individual umat Islam banyak yang berprestasi, yang berkibar, masuk bursa, tataran dan skala internasional. Kontribusi seolah tidak nampak, karena bak satu lidi. Gebrakannya hanya nampak di awal, langsung reda. Publikasi lebih memihak pada “prestasi” yang bersifat sensasional, atraktif dan meningkatkan peringkat dan sponsor media massa, khususnya stasiun TV swasta.
Tantangan dan peluang umat Islam bak susu setetes melawan nila sebelanga. Daya juang dan jalur yang ditempuh bisa masuk ranah radikalisme, dipolitisir oleh pihak tertentu sebagai jihad individu yang mengarah ke terorisme.
Sapu Lidi
Zaman Rasulullah SAW, dakwah Islam membutukan pengorbanan jiwa raga. Memakai strategi dan sasaran yang jelas serta keuletan yang total, seperti yang tersurat dalam sebagian terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 249] : "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
Di zaman sekarang, umat Islam dalam satu barisan yang kokoh, bukan sekedar menghadapi kekuatan dunia, melawan golongan yang lebih banyak, secara fisik, namun dalam segala aspek kehidupan. (Herwin Nur/Wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar