Halaman

Selasa, 09 Juni 2015

Semangat kolektif kolegial KPK, memberantas korupsi vs melawan tembok tirani politik

Semangat kolektif kolegial KPK, memberantas korupsi vs
melawan tembok tirani politik

Sejarah membuktikan, jika untuk mendapatkan sosok pemimpin harus melalui uji kepatutan dan kelayakan yang diselenggarakan oleh DPR RI, jelas dan nyata muatan politik akan mendominasi keputusan. DPR menjelma menjadi manusia setengah dewa, yang mampu menerawang perjalanan hidup capim (calon pemimpin). Kasus calon tunggal Kapolri yang disodorkan presiden ke DPR untuk diseleksi, sebagai contoh nyata. Darah politik yang mengalir di tubuh capim yang menjadi sasaran dan penilaian utama. Persyaratan administrasi dan rekam jejak capim hanya sebagai formalitas belaka. Paling tidak tekanan politik bisa menjadikan capim sebagai robot politik. Rekayasa politik yang akan meloloskan capim KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Parpol yang sedang berkuasa, mempunyai skenario jangka panjang dan berbingkai. Kalau perlu skenario politik bak main catur politik. Ada pihak yang dijadikan umpan untuk memuluskan langkah berikutnya. Ada pihak yang dijadikan kambing hitam untuk menyelamatkan diri sendiri. Ada pihak yang siap dikorbankan untuk mengamankan sistem. Minimal bisa mengamankan sistem politik yang dibangun selama berkuasa. Bahkan sampai pasca periode atau purna sebagai penyelenggara negara akan aman dari pasal hukum. Bebas dari kilas balik kejahatan politik. Bakal calon koruptor, calon koruptor, koruptor belajar langsung dari bencana politik, gegar politik di era SBY.

Modus operandi dan faktor pencetus, pemacu/pemicu tipikor (tindak pidana korupsi) merupakan konsekuensi dari penggunaan anggaran (APBN/APBD) maupun sumber dana lainnya. Tipikor dengan berbagai hirarkinya merupakan produk sampingan dari penggunaan anggaran. Semangat otonomi daerah membuahkan tipikor tingkat lokal oleh penyelenggara pemerintahan daerah (adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya). Sejalan dengan PP 38/2007 tentang PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA, bisa terjadi korelasi antara berbagai dimensi desentralisasi (khususnya : konstitusional, politik dan fiskal) dengan tinggi atau rendahnya korupsi di daerah.

Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Ikhwal ini yang menyuburkan korupsi di daerah seolah bisa terjadi menahun atau turun temurun (dampak dinasti politik).

Memberantas korupsi selama ini ibarat menunggu koruptor nongol. Operasi tangkap tangan menjadi andalan. Di kondisi lain, para koruptor pasif berlomba melawan waktu, menggunakan politik aji mumpung maupun memanfaatkan politik mumpung aji. Korupsi pasif jauh dari jangkauan tindak tangkap tangan, namun bisa ditengarai antara lain dengan rekening gendut, transaksi keuangan yang ‘wajar tidak sesuai pengecualian’. Paket kontrak politik lima tahun menjadikan tembok politik tampak solid, kaku dan masif. Revolusi mental sebagai sinyal betapa isi hati atau jeroan tubuh dan sosok pelalu politik Nusantara bak berkepala batu. Politik Nusantara menjadi pemakan segala. Revolusi mental untuk membatasi ruang gerak pihak yang merasa bahwa kekuasaan bisa diwariskan.

Tatkala di Indonesia terjadi politik transaksional (bagi hasil, balas jasa sekaligus balas dendam), ideologi Rp, munculnya aliran bandar politik vs kurir politik, pilkada serentak, mau tak mau, aroma irama dan syahwat politik, industri politik secara matematis merupakan fungsi rupiah atau f(Rp). Muncul jargon untuk pemilih yaitu NPWP. Jangan dibayangkan tarif/harga kursi penyelenggara negara/darah khusus untuk kawanan parpolis. Maraknya koalisi pro-pemerintah, oposisi banci, oposisi setengah hati, koalisi penggembira memberi peluang masuknya pebisnis politik. Raja-raja kecil di daerah tak tinggal diam dan tak mau ketinggalan dengan yang di pusat.

Walau capim KPK dalam praktiknya akan berbasis semangat kolektif kolegial, namun karena hasil besutan DPR, dipastikan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPK akan menghadapi, membentur dan melawan tembok tirani politik. Sesuai jargon pariwara tempo doeloe ‘monster politik kok dilawan’. Jangan-jangan KPK menjadi manusia setengah robot.

Akhirnya rakyat memanfaatkan sisa enerjinya di sisa waktu periode 2014-2019 hanya untuk berdoa dan berharap tindak turun tangan tuhan (T4).  Tinggal sejarah peradaban yang akan membuktikan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar