Semangat
kolektif kolegial KPK, memberantas korupsi vs
melawan
tembok tirani politik
Sejarah
membuktikan, jika untuk mendapatkan sosok pemimpin harus melalui uji kepatutan
dan kelayakan yang diselenggarakan oleh DPR RI, jelas dan nyata muatan politik akan
mendominasi keputusan. DPR menjelma menjadi manusia setengah dewa, yang mampu
menerawang perjalanan hidup capim (calon pemimpin). Kasus calon tunggal Kapolri
yang disodorkan presiden ke DPR untuk diseleksi, sebagai contoh nyata. Darah
politik yang mengalir di tubuh capim yang menjadi sasaran dan penilaian utama.
Persyaratan administrasi dan rekam jejak capim hanya sebagai formalitas belaka.
Paling tidak tekanan politik bisa menjadikan capim sebagai robot politik. Rekayasa
politik yang akan meloloskan capim KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Parpol
yang sedang berkuasa, mempunyai skenario jangka panjang dan berbingkai. Kalau
perlu skenario politik bak main catur politik. Ada pihak yang dijadikan umpan
untuk memuluskan langkah berikutnya. Ada pihak yang dijadikan kambing hitam
untuk menyelamatkan diri sendiri. Ada pihak yang siap dikorbankan untuk
mengamankan sistem. Minimal bisa mengamankan sistem politik yang dibangun
selama berkuasa. Bahkan sampai pasca periode atau purna sebagai penyelenggara
negara akan aman dari pasal hukum. Bebas dari kilas balik kejahatan politik.
Bakal calon koruptor, calon koruptor, koruptor belajar langsung dari bencana
politik, gegar politik di era SBY.
Modus
operandi dan faktor pencetus, pemacu/pemicu tipikor (tindak pidana korupsi)
merupakan konsekuensi dari penggunaan anggaran (APBN/APBD) maupun sumber dana
lainnya. Tipikor dengan berbagai hirarkinya merupakan produk sampingan dari
penggunaan anggaran. Semangat otonomi daerah membuahkan tipikor tingkat lokal oleh
penyelenggara pemerintahan daerah (adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya). Sejalan dengan PP 38/2007 tentang PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA
PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA, bisa terjadi korelasi antara berbagai dimensi desentralisasi (khususnya
: konstitusional, politik dan fiskal) dengan tinggi atau rendahnya korupsi di daerah.
Daerah
otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Ikhwal ini yang menyuburkan korupsi di daerah
seolah bisa terjadi menahun atau turun temurun (dampak dinasti politik).
Memberantas korupsi selama
ini ibarat menunggu koruptor nongol. Operasi tangkap tangan menjadi andalan. Di
kondisi lain, para koruptor pasif berlomba melawan waktu, menggunakan politik
aji mumpung maupun memanfaatkan politik mumpung aji. Korupsi pasif jauh dari
jangkauan tindak tangkap tangan, namun bisa ditengarai antara lain dengan
rekening gendut, transaksi keuangan yang ‘wajar tidak sesuai pengecualian’. Paket
kontrak politik lima tahun menjadikan tembok politik tampak solid, kaku dan
masif. Revolusi mental sebagai sinyal betapa isi hati atau jeroan tubuh dan
sosok pelalu politik Nusantara bak berkepala batu. Politik Nusantara menjadi
pemakan segala. Revolusi mental untuk membatasi ruang gerak pihak yang merasa
bahwa kekuasaan bisa diwariskan.
Tatkala
di Indonesia terjadi politik transaksional (bagi hasil, balas jasa sekaligus
balas dendam), ideologi Rp, munculnya aliran bandar politik vs kurir politik,
pilkada serentak, mau tak mau, aroma irama dan syahwat politik, industri
politik secara matematis merupakan fungsi rupiah atau f(Rp). Muncul jargon
untuk pemilih yaitu NPWP. Jangan dibayangkan tarif/harga kursi penyelenggara
negara/darah khusus untuk kawanan parpolis. Maraknya koalisi pro-pemerintah,
oposisi banci, oposisi setengah hati, koalisi penggembira memberi peluang
masuknya pebisnis politik. Raja-raja kecil di daerah tak tinggal diam dan tak
mau ketinggalan dengan yang di pusat.
Walau
capim KPK dalam praktiknya akan berbasis semangat kolektif kolegial, namun
karena hasil besutan DPR, dipastikan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
KPK akan menghadapi, membentur dan melawan tembok tirani politik. Sesuai jargon
pariwara tempo doeloe ‘monster politik kok dilawan’. Jangan-jangan KPK menjadi
manusia setengah robot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar