Halaman

Selasa, 23 Juni 2015

revolusi mental Nusantara, fakir mental pejabat vs fakir miskin rakyat

revolusi mental Nusantara, fakir mental pejabat vs fakir miskin rakyat

Fakir miskin se-Nusantara boleh hidup tenang, karena akan ditangani secara formal oleh Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin, Kementerian Sosial. Lebih jelas, melalui Perpres 46/2015 tentang KEMENTERIAN SOSIAL, disuratkan pada :

Pasal 18
Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan penanganan fakir miskin sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.

Lokus penanganan fakir miskin perdesaan, perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, tertinggal dan/atau perbatasan antar negara. Berita sensasional karena terjadi penetapan kriteria dan data fakir miskin dan orang tidak mampu. Artinya, fakir miskin dan orang tidak mampu diposisikan setara.

Terkait dengan pihak yang berhak menerima zakat, Islam memposisikan fakir miskin secara terpisah menjadi :
1.  Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2.  Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.

Jangan lupa, UUD 1945 perubahan keempat, disebutkan melalui
Pasal 34
(1)   Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Apa kaitan fakir miskin dengan revolusi mental Nusantara?

Begini kisahnya, penyelenggara negara (Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku) pada umumnya terikat kontrak politik lima tahunan.

Hasil pesta demokrasi, pemilu legislatif dan pilpres, menghasilkan pejabat negara yang hanya praktek selama lima tahun, dan bisa turun di tengah jalan (banyak buktinya).

Karena kontrak politik lima tahunan, menjadikan harga jual kursi pejabat negara menjadi harga liar. Itupun kalau oknum parpol berhasil meraihnya, kalau tidak? Mental pejabat negara berbasis politik transaksional, ideologi Rupiah, industri politik, aroma irama dan syahwat politik, secara tak sadar menempatkan dirinya menjadi fakir mental. Begitu usai disumpah dan diambil janjinya sebagai pejabat negara, otomatis argo Rp-nya berjalan dan bergerak.

Semester pertama kawanan pembantu presiden sudah jelas dan benderang mentalnya. Bahkan di awal penentuan, penetapan dan penujukkan pejabat wakil rakyat, secara tak langsung menyuratkan dan menyiratkan mental, mental individu tetapi umumnya mental parpol.

Perilaku, tabiat dan karakter parpol pengusul Jokowi sebagai capres 2014, menjadi bukti nyata adanya fakir mental, bahkan mental luar dalam, mental jam-jaman, mental turun temurun. Mentalpun ada kw-kw. 

Jangan membayangkan bahwa fakir mental ada hubungan kekerabatan dengan tuna mental, cacat mental, keterbelakangan mental, dll yang berbasis mental. Fakir mental lebih dekat dengan dampak atau ekses berpolitik yang tidak bermartabat. Fakir mental dipertontonkan bahkan dipercontohkan oleh oknum parpol yang getol meraih jabatan ketua umum dengan asas ‘tujuan menghalakan segala cara’. Menjadikan jabatan ketum sebagai jabatan seumur hidup, jabatan turun temurun. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar