revolusi mental Nusantara, fakir mental pejabat vs fakir miskin rakyat
Fakir miskin se-Nusantara
boleh hidup tenang, karena akan ditangani secara formal oleh Direktorat
Jenderal Penanganan Fakir Miskin, Kementerian Sosial. Lebih jelas, melalui
Perpres 46/2015 tentang KEMENTERIAN SOSIAL, disuratkan pada :
Pasal
18
Direktorat
Jenderal Penanganan Fakir Miskin mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan penanganan fakir miskin sesuai ketentuan dan peraturan
perundang-undangan.
Lokus penanganan
fakir miskin perdesaan, perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, tertinggal
dan/atau perbatasan antar negara. Berita sensasional karena terjadi penetapan
kriteria dan data fakir miskin dan orang tidak mampu. Artinya, fakir miskin dan
orang tidak mampu diposisikan setara.
Terkait dengan pihak yang berhak menerima zakat, Islam memposisikan
fakir miskin secara terpisah menjadi :
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai
harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam
keadaan kekurangan.
Jangan lupa, UUD
1945 perubahan keempat, disebutkan melalui
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara.
Apa kaitan fakir
miskin dengan revolusi mental Nusantara?
Begini kisahnya, penyelenggara
negara (Penyelenggara
Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif,
atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku) pada umumnya terikat kontrak politik lima tahunan.
Hasil pesta demokrasi, pemilu legislatif dan pilpres,
menghasilkan pejabat negara yang hanya praktek selama lima tahun, dan bisa
turun di tengah jalan (banyak buktinya).
Karena kontrak politik lima tahunan, menjadikan harga
jual kursi pejabat negara menjadi harga liar. Itupun kalau oknum parpol
berhasil meraihnya, kalau tidak? Mental pejabat negara berbasis politik transaksional,
ideologi Rupiah, industri politik, aroma irama dan syahwat politik, secara tak
sadar menempatkan dirinya menjadi fakir mental. Begitu usai disumpah dan
diambil janjinya sebagai pejabat negara, otomatis argo Rp-nya berjalan dan
bergerak.
Semester pertama kawanan pembantu presiden sudah jelas
dan benderang mentalnya. Bahkan di awal penentuan, penetapan dan penujukkan
pejabat wakil rakyat, secara tak langsung menyuratkan dan menyiratkan mental, mental
individu tetapi umumnya mental parpol.
Perilaku, tabiat dan karakter parpol pengusul
Jokowi sebagai capres 2014, menjadi bukti nyata adanya fakir mental, bahkan
mental luar dalam, mental jam-jaman, mental turun temurun. Mentalpun ada kw-kw.
Jangan membayangkan bahwa fakir mental ada hubungan kekerabatan dengan tuna mental, cacat mental, keterbelakangan mental, dll yang berbasis mental. Fakir mental lebih dekat dengan dampak atau ekses berpolitik yang tidak bermartabat. Fakir mental dipertontonkan bahkan dipercontohkan oleh oknum parpol yang getol meraih jabatan ketua umum dengan asas ‘tujuan menghalakan segala cara’. Menjadikan jabatan ketum sebagai jabatan seumur hidup, jabatan turun temurun. [HaeN]
Jangan membayangkan bahwa fakir mental ada hubungan kekerabatan dengan tuna mental, cacat mental, keterbelakangan mental, dll yang berbasis mental. Fakir mental lebih dekat dengan dampak atau ekses berpolitik yang tidak bermartabat. Fakir mental dipertontonkan bahkan dipercontohkan oleh oknum parpol yang getol meraih jabatan ketua umum dengan asas ‘tujuan menghalakan segala cara’. Menjadikan jabatan ketum sebagai jabatan seumur hidup, jabatan turun temurun. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar