Halaman

Rabu, 17 Juni 2015

Revolusi Mental Nusantara : wis edan tenan tetep ora keduman

Revolusi Mental Nusantara : wis edan tenan tetep ora keduman

Bermula dan berawal dari berita yang ditayangkan  http://news.detik.com/berita Rabu 17 Jun 2015, 12:05 WIB, berjudul :
“Begini Kriteria Calon Pimpinan KPK Selera Komisi III”
Jakarta - Pansel KPK mulai melakukan seleksi calon pimpinan KPK. Setelah itu dikirim ke Komisi III DPR untuk di-fit and proper test. Seperti apa sosok pimpinan KPK yang diharapkan Komisi III DPR?

"Pimpinan KPK selain harus memiliki pengetahuan luas, pemahaman tentang pemberantasan korupsi, dia harus punya integritas dan keberanian," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman kepada detikcom, Rabu (17/6/2015).

Selain itu, Benny menekankan calon pimpinan KPK tak boleh punya ambisi politik. Juga harus benar-benar independen dari kepentingan apapun.

"Pimpinan KPK harus orang yang tak punya ambisi pribadi atau ambisi sekelompok orang. Karena itu dia harus independen dari kekuatan politik, kekuatan ekonomi, atau kekuatan sosial apa pun," kata Benny.

Soal sumbernya, tidak dipersoalkan dari mana saja. Yang penting saat jadi pimpinan KPK melepas semua kepentingan dengan pekerjaan sebelumnya.

"Asalnya bisa dari tokoh LSM, lembaga keagamaan, institusi penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian atau yang lain. Yang penting dia punya integritas dan begitu jadi pimpinan KPK harus membuat garis tegas antara dirinya dengan sumber-sumber dia bekerja sebelumnya," pungkasnya.
.  .  .  .  .  .  .
Kata kunci ‘selera Komisi III’, harus kita bedah seperti makhluk apakah? Apakah pemakan segala? Apakah bak kang dinosaurus, dengan ciri utama perut berdaya tampung segala.

Kalau selera politik, tidak ada batas minimal atau ambang bawahnya. Selera politik saudara dekat dari aroma irama dan syahwat politik. Ironis, selera politik wakil rakyat sudah memasuki kuadran dana aspirasi. Artinya, Rp sekecil dana aspirasi baru bisa menggerakkan selera, belum pada tahap menikmati, apalagi mengenyangkan.

Kita gali ingatan akan wejangan nenek moyang, yang artinya selalu ada tiga serangkai : politik-kekuasaan-korupsi, menjadi satu kesatuan. Kondisi ini terjadi mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah, bahkan sampai aliran terakhir penerima manfaat anggaran. Trias politika menjadi tempat mangkal kawanan tiga serangkai.

Tiga serangkai bersifat dinamis dan ahli menyesuaikan diri dengan kondisi apa pun. Kondisi sekarang justru sebagai dampak ulah mereka dan akan tetap terasa sampai periode mendatang. Bahkan generasi yang belum lahirpun sudah menangggung akibatnya. Masa depan generasi Nusantara sudah digadaikan oleh renternir politik.

Komisi III yang mengantongi wewenang menentukan siapa yang akan jadi Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tentunya mempunyai alat jaring dan alat saring yang ampuh. DPR bersiasat jangan sampai nanti KPK menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang, membongkar borok diri, mengungkap modus operandi yang dirasa sudah canggih dan brilian. Apalagi belum genap satu tahun buka praktek sebagai wakil rakyat. Argo rupiahnya belum terasa. Jangan belum jatuh tempo sudah terganjal dan terjegal pasal tipikor.

Bagi wakil rakyat yang berpengalaman di periode 2009-2014, momentum pemilihan pimpinan KPK sangat berarti. Bahkan partai politik langganan peserta pesta demokrasi, khususnya pilpres, merasa sangat berkepentingan dengan siapa yang akan menjadi ketua KPK. Terlebih bagi yang merasa bahwa kekuasaan atau penyelenggara negara adalah warisan, dan merasa paling berhak menerimanya.


Bagi siapa saja yang hanya duduk di bangku cadangan, menjadi oposisi banci plus setengah hati, menyandang status mantan calon. Hanya menjadi penggembira, relawan, bolodupak, tukang aba-aba, atau apapun namanya, yang cukup dibayar dengan nasi sebungkus dan kaos partai, no problem. Namun bagi petaruh atau penjudi, bahwa kekuasaan ada harganya, ada tarifnya, dari periode ke periode, bahkan ke anak keturunan, masih belum kebagian kursi. Atau sudah dapat kursi namum belum balik modal. Dari oknum ketua umum parpol sampai lapis paling bawah, mengalami nasib yang sama. Berlakulah paribasan Jawa : “wis edan tenan tetep ora keduman”. Sejarah selalu akan berulang, walau tetap tak memihak rakyat. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar