Jimly Tegaskan Frasa "Empat Pilar" Telah
Dibatalkan
Senin, 18 Mei 2015 |
Dibaca 497 kali
Jakarta,
(Analisa). Pakar Hukum Tata
Negara Jimly Asshiddiqie kembali menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK)
telah membatalkan Frasa "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara"
sehingga perlu menjadi perhatian semua pihak.
"Jadi saya harapkan putusan MK tentang pembatalan
frasa empat pilar harus kita jadikan pegangan," kata Jimly Asshiddiqie
yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Minggu.
Dengan demikian, kata dia, tidak perlu ada perdebatan
lagi mengenai frasa empat pilar. Dan dia juga menyarankan agar MPR tidak lagi
menyosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Pancasila jangan lagi ditempatkan sebagai salah
satu pilar kehidupan berbangsa bernegara. Karena Pancasila adalah filosofi
berbangsa, dasar negara, saran saya kegiatan sosialisasi diganti saja dengan
kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat dan pengkajian. Karena sosialisasi itu
kegiatan eksekutif atau pemerintah," katanya.
Dia menambahkan, dengan penyebutan sebagai pilar,
seolah-olah dianggap setara dengan yang lain dan pada akhirnya menimbulkan
salah faham di masyarakat.
Seharusnya, katanya, MPR menghormati putusan MK dalam
Amar Putusan Nomor 100/PUU-XI/2014 yang membatalkan Frasa "Empat Pilar
Berbangsa dan Bernegara" dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik terkait Pancasila pilar kebangsaan.
Sebelumnya, pada acara Membumikan kembali Pancasila
sebagai Dasar Negara; PascaPutusan MK, yang diselenggarakan Lembaga Pelatihan
dan Kajian Ulul Albab Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB
PMII) Jimly mengatakan program sosialisasi empat pilar yang dilakukan oleh MPR
harus mempertimbangkan putusan MK dan sebaiknya tidak diteruskan.
Sementara itu, Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun
mengatakan era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 seharusnya menjadi era
untuk menemukan kembali tafsir Pancasila yang benar sesuai prinsip demokrasi.
"Teks Pancasila sebagai ideologi negara tetap
sama sejak 1945, tetapi tafsirnya harus senantiasa kontekstual, sesuai dengan
jiwa dan spirit demokrasi yang berkembang, baik di Indonesia maupun di belahan
negara lain di dunia," katanya. (Ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar