negara dikuasai oleh negara
Konon, syarat
administrasi jauh lebih mendasar serta yang melekat dalam pengertian “dikuasai oleh negara”, yaitu negara wajib menguasai
keempat unsur yang melekat berupa mampu melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezichthoudensdaad).
Fungsi
pengaturan (regelendaad) oleh negara dilakukan melalui kewenangan
legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah dan regulasi oleh Pemerintah
(eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
pendayagunaan penguasaan negara atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan
bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad)
dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan
agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting
dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan
untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat.
Wajar jika masih mengacu hukum negara
Belanda selaku penjajah.
Pemerintah,
menurut Pasal 1 angka 12 UU 25/2007 tentang Penanaman Modal adalah “Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahannegara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. Artinya, tatkala Pemerintah melakukan tindakan
penghentian atau pembatalan hak atas tanah tersebut ia adalah bertindak atas
nama negara dalam kualifikasi de jure empirii (pemegang kedaulatan),
sehingga apabila keabsahan tindakannya diragukan maka pengadilan dalam
lingkungan peradilan tata usaha negaralah yang mempunyai kompetensi absolut
untuk mengadilinya.Karena hubungan antara negara, c.q. Pemerintah, dan penanam
modal dalam konteks pemberian dan perpanjangan HGU, HGB, dan Hak Pakai tersebut
adalah hubungan antara pemberi izin dan penerima izin, bukan hubungan
kontraktual;
Namun ternyata, tindakan negara yang
sesungguhnya dilakukan dalam kualifikasi
sebagai de jure empirii tersebut, terutama oleh Pasal 32 Ayat (4) UU 25/2007
tentang Penanaman Modal, akan “diadili” oleh arbitrase internasional. Arbitrase
adalah sarana penyelesaian sengketa antarpihak-pihak yang sederajat. Berarti,
dengan kata lain, tindakan negara tersebut oleh Pasal 32 Ayat (4) UU 25/2007
tentang Penanaman Modal secara implisit dikualifikasikan sebagai tindakan subjek
hukum perdata biasa (de jure gestiones) yang kedudukannya sederajat
dengan penanam modal. Seharusnya klausul penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dicantumkan dalam rumusan kontrak, kasus demi kasus, bukan dalam
perumusan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat permanen yang justru mempersulit
Pemerintah sendiri. Lagi pula, rumusan dalam Pasal 32 Ayat (4) UU 25/2007
tentang Penanaman Modal memperlihatkan indikasi ketidakpercayaan terhadap
institusi peradilan di Indonesia yang dilegalisasikan secara permanen oleh
pembentuk undang-undang. Hal demikian juga berarti mengurangi makna kedaulatan
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.(sumber dan acuan
utama Putusan MKRI Nomor 21-22/PUU-V/2007)
Jadi simak baca dengan seksama. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar