gosok pantat panci mbokdé mukiyo, dudu sogok mulut banci
Media massa asing yang benar-benar
asing. Artinya, kantor media memang ada di negaranya. Bukan yang punya cabang atau buka praktek di NKRI. Suatu ketika – tidak
diketahui kapan dan di mana – menayangkan
gambar seorang manusia atau anak wayang yang berdiri lunglai tanpa gapit di
samping ki dalang merangkap
sutradara, penulis skenario, pencari bakat, pencatat adegan. Soal siapa sponsor
kasus kejadian perkara.
Frasa “mulut banci“ bersinggungan
dengan eksistensi LGBT. Fakta tendensius menjurus ke sosok bosok tirani minoritas.
Kebanyakan
manusia bercermin (tidak sama dengan melihat foto diri hasil swafoto) untuk
mematut diri,
ukur baju karena akan tampil. Bercermin dengan mengedepankan akalnya untuk
mencari pembenaran atas segala tindakannya, tampilannya. Di momen inilah
manusia serba merasa bisa.
Ho no co ro ko . . . yang mendunia. Manusia politik menjadi
“mati” hati nurani ketika di pangku. Sisanya, dengan sedikit sanjungan, menjadi lupa
diri. Mati kutu. Kelamaan tidak ada yang menyanjung, tanpa sungkan
memuji diri sendiri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar