Halaman

Selasa, 31 Mei 2016

fakta dibalik anak-anak bermain di masjid



fakta dibalik anak-anak bermain di masjid

Namanya anak, kelakukannya dimana saja tak jauh beda, terutama saat menggerombol. Bahkan tak pandang gender. Komunitas anak bersepeda tampak dominan, mudah pindah tempat. Memilih lokasi tertentu sebagai tempat kumpul. Mereka tampak bahagia, merdeka dan akrab. Ngobrol sambil tangan sibuk otak-atik HP.

Di lingkungan tempat tinggal kami, komunitas anak-anak ada yang memilih masjid sebagai tempat berkumpul. Daya tarik masjid di kompleks kami, masih dalam proses pembangunan dan renovasi, karena dua lantai. Mihrab ada di lantai dasar/pertama. Saatnya sholat lima waktu, tak pernah sepi dari anak yang sholat. Pertanda cinta masjid sudah tertanam di jiwa anak.

Ironisnya, anak yang bermain di masjid waktu sholat sedang ditegakkan, berusia sudah wajib sholat. Kondisi masjid di lantai pertama, tiap pojok dipasang ac almari, bak laron mengerubungi lampu neon. Anak usia wajib sholat, memang ada yang berbusana untuk sholat, ada yang modal sarung itupun untuk mainan, atau hanya bercelana pendek. Sholat maghrib dan isya’ menjadi waktu favorit anak untuk bermain di masjid. Komitmen jamaah membiarkan anak, jangan dilarang, tetap dinasihati. Masalahnya, anak yang datang dari berbagai komunitas, seolah ada pembagian waktu. Anak bongsor atau anak didik setingkat SMP tak mau ketinggalan.

Kata marbot, ternyata sebagian besar anak yang bermain di masjid, walau juga ikut berjamaah, orang tuanya tidak ke masjid. Tepatnya bukan jamaah masjid. Mungkin karena kesibukkan mencari nafkah. Anak pulang sekolah, tidak menemukan ibunya di rumah, dengan mudah mereka mencari kesibukan di luar rumah. Kalau anak yang ikut TPA, sudah memahami tata tertib di masjid. Anak perempuan ada juga yang menjadi jamaah. Keluarga muda, membawa anaknya yang belum masuk wajib sholat, ke masjid. Sebagai pengenalan sejak dini. Atau ada yang membawa cucunya.

Singkat kata, kesibukan orang tua yang sedemikian sibuk, sehingga tidak sempat mengajak anaknya ke masjid, atau minimal diikutkan TPA, berdampak yang tidak bias dianggap sederhana. Pendidikan agama dimulai dari rumah tangga. Orang tua sebagai panutan. Rumah tinggal yang dihuni sebuah keluarga menjadi multifungsi. Menjadi sekolah dan madrasah pertama bagi anak. Menjadi beteng akhlak keluarga, sehingga anak siap terjun ke masyarakat. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar