Halaman

Sabtu, 21 Mei 2016

18 tahun reformasi dan daya tahan tenggang rasa rakyat

18 tahun reformasi dan daya tahan tenggang rasa rakyat

Dampak kebijakan yang berdampak pada kehidupan sehari-hari rakyat, disikapi dengan bijak dan tetap tersenyum lebar. Rakyat yang terkategorikan berdasarkan mata pencaharian dan penghasilan, terbiasa terbang pagi sekedar cari makan sehari sekali. Modal keringat, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, rumus kehidupan yang dipraktikkan. Tidak terbelenggu ambisi politik. Jauh dari tindakan menggantang asap, aspirasi, ambisi dan angan-angan politik kambuhan.

People power” melahirkan peristiwa 21 Mei 1998. Betapa perilaku pelaku, pemain dan pekerja politik selama 18 tahun, hanya menampilkan aroma irama dan citra rasa politik yang berkiblat pada berhala Reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat). Diperparah dengan tangan-tangan awak media massa berbayar, yang hanya mengutamakan pesan sponsor, skenario pemodal, pengejar peringkat.

Rakyat tetap tegar, kesemrawutan lalu lintas jalanan, ibarat gaya sembarangan yang dipraktikkan para penyelenggara negara, dinikmati tanpa mencari siapa kambing hitamnya. Tanpa didemo rakyat, “kambing hitam politik” acap nongol di media massa. Menjadi bumbu adegan, acara, atraksi “siapa makan siapa”, menjadi andalan utama media penyiaran televisi.

Rakyat sudah tahu mana pecundang politik sejati. Walau awalnya bergaya reformis, namun sejalan waktu, tampak watak aslinya. Tanpa menyadari bahwa rakyat menghargai para pendiri bangsa. Betapa mengapa sampai pemilu 1999 sebagai hasil percepatan gagasan reformis. Ironis, hasil pemilu 1999 dan fakta MPR memilih dan sekaligus mendepak presiden RI ke empat. Pilpres 2004 dan pilpres 2009 yang semakin membuktikan rakyat yang buta politik, tetapi hati nuraninya masih mampu bicara tanpa kata. Rakyat tetap berdoa, agar Nusantara ini tidak mengalami kasus turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo. Tidak terjadi lagi praktik “tinggal gelanggang, colong playu”.

Menikmati bulan madu reformasi di periode 2014-2019, sebagai penentu arah kemajuan bangsa dan negara selanjutnya. Generasi muda, generasi penerus sudah terkontaminasi oleh berbagai peradaban yang dibiarkan menjajah jiwa raga. Tanpa merasa malau ada pihak yang berkipas-kipas jual pengharu-rasa, diperkuat dengan sosok penghiba-hiba yang merasa paling berjasa mengatasi kemelut. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar