18 tahun
reformasi dan daya tahan tenggang rasa rakyat
Dampak kebijakan yang
berdampak pada kehidupan sehari-hari rakyat, disikapi dengan bijak dan tetap
tersenyum lebar. Rakyat yang terkategorikan berdasarkan mata pencaharian dan
penghasilan, terbiasa terbang pagi sekedar cari makan sehari sekali. Modal
keringat, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, rumus kehidupan yang
dipraktikkan. Tidak terbelenggu ambisi politik. Jauh dari tindakan menggantang asap, aspirasi, ambisi dan angan-angan
politik kambuhan.
“People power” melahirkan peristiwa 21 Mei 1998. Betapa perilaku
pelaku, pemain dan pekerja politik selama 18 tahun, hanya menampilkan aroma
irama dan citra rasa politik yang berkiblat pada berhala Reformasi 3K (kuasa,
kaya, kuat). Diperparah dengan tangan-tangan awak media massa berbayar, yang
hanya mengutamakan pesan sponsor, skenario pemodal, pengejar peringkat.
Rakyat tetap tegar, kesemrawutan lalu lintas jalanan, ibarat gaya
sembarangan yang dipraktikkan para penyelenggara negara, dinikmati tanpa
mencari siapa kambing hitamnya. Tanpa didemo rakyat, “kambing hitam politik”
acap nongol di media massa. Menjadi bumbu adegan, acara, atraksi “siapa makan
siapa”, menjadi andalan utama media penyiaran televisi.
Rakyat sudah tahu mana pecundang politik sejati. Walau awalnya bergaya
reformis, namun sejalan waktu, tampak watak aslinya. Tanpa menyadari bahwa
rakyat menghargai para pendiri bangsa. Betapa mengapa sampai pemilu 1999
sebagai hasil percepatan gagasan reformis. Ironis, hasil pemilu 1999 dan fakta
MPR memilih dan sekaligus mendepak presiden RI ke empat. Pilpres 2004 dan
pilpres 2009 yang semakin membuktikan rakyat yang buta politik, tetapi hati
nuraninya masih mampu bicara tanpa kata. Rakyat tetap berdoa, agar Nusantara
ini tidak mengalami kasus turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo. Tidak
terjadi lagi praktik “tinggal gelanggang, colong playu”.
Menikmati bulan madu reformasi di periode 2014-2019, sebagai penentu
arah kemajuan bangsa dan negara selanjutnya. Generasi muda, generasi penerus
sudah terkontaminasi oleh berbagai peradaban yang dibiarkan menjajah jiwa raga.
Tanpa merasa malau ada pihak yang berkipas-kipas jual pengharu-rasa, diperkuat
dengan sosok penghiba-hiba yang merasa paling berjasa mengatasi kemelut. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar