Halaman

Senin, 02 Mei 2016

susahnya menjadi orang yang bisa menggunakan akal

susahnya menjadi orang yang bisa menggunakan akal

Dalih, kiat mempergunakan akal; kapan merasa mempunyai akal, kurang akal, tanpa akal, hilang akal, lemah akal; termasuk bisa menggunakan akal budi, atau kebalikannya mendayagunakan akal berupa akal bulus, mengakali, menjadi menu harian kita. Sesuatu yang otomatis. Namun menghadapi kondisi yang absurd, yang mustahil, yang  tidak masuk akal, yang ajaib, yang aneh-aneh, kita malah tetap berpaku mendewakan akal. Kita membiarkan akal yang menjawab.

Wajar dan alami jika kita selalu mengkaitkan suatu kejadian sebagai proses, mengandalkan hukum sebab-akibat, sehingga kalau tidak ada sebab maka tidak mungkin ada akibat. Atau kebalikannya, sesuai pepatah “ada asap, ada api”.

 Uraian di atas, sebagai substansi istimewa yang diingatkan Allah dalam Al-Qur’an, melalui beberapa ayat, a.l di [QS Al Jaatsiyah (45) : 5] : dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.”

Tanda kekuasaan Allah di jagat raya, fenomena alam yang tertangkap panca indra manusia, sebagai ayat kauniyah, diperlukan seperangkat akal untuk membacanya. Tanda orang berakal secara formal dibuktikan dengan  gelar akademis. Kita mengantongi ijazah, surat tanda tamat belajar, sampai sertifikat keahlian. Pendidikan formal menggirng anak didik agar mampu dan cakap calistung (baca, tulis, hitung). Pendidikan tinggi dengan berbagai strata, pada dasarnya masih mengakumulasi potensi otak manusia sebagai pembangkit daya pikir, daya ucap dan daya tindak.

Orang yang mendewakan akalnya, mengkultuskan akalnya bahkan tanpa sadar telah mempertuhankan akalnya, di Indonesia ini sangat lebih dari banyak. Media massa memberi contoh tampilan orang atau manusia, dengan seragam kebesaran sebagai penyelenggara negara. Padahal, kaum atau individu, yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, sama artinya dengan menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya.

 Salah satu dampak mendewa-dewakan akal, mengkultuskan akal, bahkan mempertuhankan akal, manusia bisa berperi laku seperti iblis. Kita simak [QS Al A’raaf (7) : 12] : Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."

Walhasil, menjadi orang atau manusia yang bisa menggunakan akal saja secara minimal, yang mendasar, jangan berpikir ke arah dengan berbagai tingkatan, sudah susah. Apalagi masuk strata di atas menggunakan akal. Memahami di atas akal masih ada lagi potensi yang memperkaya diri manusia di dunia dan bekal ke akhirat. Terlebih, apakah kita mampu “calistung” atas segala pikir, tindak dan ucap yang telah kita lakukan selama ini. [HaeN] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar