susahnya menjadi orang yang bisa
menggunakan akal
Dalih,
kiat mempergunakan akal; kapan merasa mempunyai akal, kurang akal, tanpa akal,
hilang akal, lemah akal; termasuk bisa menggunakan akal budi, atau kebalikannya
mendayagunakan akal berupa akal bulus, mengakali, menjadi menu harian kita. Sesuatu
yang otomatis. Namun menghadapi kondisi yang absurd,
yang mustahil, yang tidak masuk akal, yang
ajaib, yang aneh-aneh, kita malah tetap berpaku mendewakan akal. Kita
membiarkan akal yang menjawab.
Wajar dan alami jika kita
selalu mengkaitkan suatu kejadian sebagai proses, mengandalkan hukum
sebab-akibat, sehingga kalau tidak ada sebab maka tidak mungkin ada akibat. Atau
kebalikannya, sesuai pepatah “ada asap, ada api”.
Uraian di atas, sebagai
substansi istimewa yang diingatkan Allah dalam Al-Qur’an, melalui beberapa
ayat, a.l di [QS Al
Jaatsiyah (45) : 5] : “dan
pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit
lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran
angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.”
Tanda kekuasaan
Allah di jagat raya, fenomena alam yang tertangkap panca indra manusia, sebagai
ayat kauniyah, diperlukan seperangkat akal untuk membacanya. Tanda orang
berakal secara formal dibuktikan dengan
gelar akademis. Kita mengantongi ijazah, surat tanda tamat belajar,
sampai sertifikat keahlian. Pendidikan formal menggirng anak didik agar mampu
dan cakap calistung (baca, tulis, hitung). Pendidikan tinggi dengan berbagai
strata, pada dasarnya masih mengakumulasi potensi otak manusia
sebagai pembangkit daya pikir, daya ucap dan daya tindak.
Orang
yang mendewakan akalnya, mengkultuskan akalnya bahkan tanpa sadar telah mempertuhankan
akalnya, di Indonesia ini sangat lebih dari banyak. Media massa memberi contoh
tampilan orang atau manusia, dengan seragam kebesaran sebagai penyelenggara
negara. Padahal, kaum atau individu, yang menggunakan akal tidak pada
tempatnya, sama artinya dengan menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap
akalnya.
Salah satu dampak mendewa-dewakan akal, mengkultuskan
akal, bahkan mempertuhankan akal, manusia bisa berperi laku seperti iblis. Kita
simak [QS Al A’raaf (7) : 12] : “Allah
berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di
waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya:
Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."
Walhasil,
menjadi orang atau manusia yang bisa menggunakan akal saja secara minimal, yang
mendasar, jangan berpikir ke arah dengan berbagai tingkatan, sudah susah. Apalagi
masuk strata di atas menggunakan akal. Memahami di atas akal masih ada lagi
potensi yang memperkaya diri manusia di dunia dan bekal ke akhirat. Terlebih,
apakah kita mampu “calistung” atas segala pikir, tindak dan ucap yang telah
kita lakukan selama ini. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar