kadar imajinasi politik penentu pikun politik
Katakan, tolok ukur kesuksesan anak bangsa yang sadar
diri terjun sebagai anggota suatu partai politik, tergantung niat dasarnya. Negara
sebagai organisasi besar dengan rakyat otomatis yuridis formal sebagai
anggotanya. Kendati Nusantara tidak mengenal kasta seperti di India, namun efek
domino penjajah Belanda sampai Jepang, melahirkan berbagai lema di Kamus
Tesaurus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Depertemen Pendidikan Nasional 2008, tentunya
sebagai hasil olah fakta kejadian perkara di lapangan. Diterapkan pada berbagai
kejadian sampai tulisan ini dirilis, isi kamus tsb masih layak pakai. Pasti,
ada berbagai kasus yang bisa menambah lema atau memperjelas maknanya.
Mulai dari lema “rakyat”, diartikan : rakyat n anak buah, bala tentara, kaum, orang biasa, orang
kebanyakan, orang bawahan, warganegara;
rakyat biasa proletariat, rakyat jelata, rakyat
kebanyakan, wong cilik;
rakyat jelata kaum kromo, kaum marhaen, kaum murba, kaum
rendah, orang bawahan, rakyat biasa, rakyat gembel, rakyat kebanyakan, rakyat
marhaen, rakyat murba;
kerakyatan n kewarganegaraan;
Makna
“rakyat” semakin terposisikan pada penjelasan lema “klas: :
klas atas papan atas, superior;
klas bawah 1 inferior, papan bawah; 2 kelas pekerja, proletariat,
rakyat jelata.
Hebatnya, berkat kadar dan daya imajinasi politik, kedudukan “wakil
rakyat”
menjadi kasta utama, tinggi dan terhormat serta bermartabat. Masuk tataran dan
tatanan penyelenggara negara, tingkat kabupaten/kota, sampai tingkat provinsi,
dan terlebih tingkat nasional yang bermarkas di gedung parlemen Senayan,
Jakarta. 560 oknum wakil rakyat menentukan nasib ratusan juta penduduk
Indonesia. Tidak perlu dibahas dan dipersoalkan betapa tabiat politiknya,
konsekunesi lgis mengabdi kepada partai politik.
Antonim (berlabel ant) atau lawan kata, diterapkan pada lema
“rakyat”, sudah baku, merupakan fakta sejarah jauh sebelum Proklamasi, yaitu
ada lema “priayi” n adiwangsa, aristokrat, bangsawan, darah biru,
menak, ningrat, permasan; ant rakyat.
kepriayian n aristokratis, feodalisme,
kebangsawanan, keningratan, mahardika.
Mau tak mau, kita bedah
makna lema :
Pertama, terdapat lema “adiwangsa”
bermakna : adiwangsa n aristokrat, bangsawan, darah biru,
menak, ningrat, priyayi.
Kedua, terdapat lema “aristokrat”
bermakna aristokrat n 1 penganut cita-cita
kenegaraan yang berpendapat bahwa negara harus diperintah oleh kaum bangsawan
(orang kaya dan orang-orang yang tinggi martabatnya); 2 orang dari
golongan bangsawan; 3 kaum bangsawan (ningrat).
aristokratis a bersifat aristokrat. (Ket :
sumber dari KBBI)
Ketiga, terdapat lema “bangsawan”
bermakna : bangsawan n adiwangsa, andi, aristokrat, darah biru,
gusti, menak, ningrat, pangeran, permasan, priayi, raden ajeng, raden ayu,
raden mas, raden roro, raden, raja, tubagus; ant proletar
Keempat, terdapat lema “menak”
bermakna menak /ménak/ n orang terhormat; bangsawan; keturunan
raja. (Ket : sumber dari KBBI)
Kelima, terdapat lema “ningrat”
bermakna : ningrat n golongan orang-orang mulia; bangsawan; borjuis;
keningrat-ningratan v (bertindak,
berlaku) seperti kaum ningrat.
Keenam, terdapat lema “feodalisme”
bermakna : feodalisme n aristokrasi, kebangsawanan, kekonservatifan,
keningratan, kepriyayian, mahardika.
Ketujuh, terdapat lema “mahardika”
bermakna mahardika 1 a akil, arif, bakir, berakal, berilmu, bestari,
bijaksana, cendekia, cerdas, pandai, pintar; 2 a berbudi, fadil, luhur, mulia; 3 n kebangsawanan, keningratan, kepriyayian.
Sebagai bonus, saya sertakan lema berikut :
tuan 1 n bendoro, majikan, junjungan,
juragan; empunya, pemilik; 2 pron Anda,
kamu, sampean, saudara; ant 1 pembantu
kawula n 1 abdi, babu (cak), budak, bujang, jongos, kacung,
pelayan, pembantu, pesuruh, sahaya; 2 barisan, massa, pengikut, orang biasa, rakyat.
marhaen a hina,
jelata, murba, rakyat, rendah
proletariat n kaum buruh, kaum marhaen, kaum
murba, kelas bawah, kelas pekerja, rakyat biasa, rakyat jelata, rakyat
kebanyakan.
Mengacu
dari dua kamus yang dipakai, banyak hal yang bisa disimpulkan. Terserah pembaca
untuk membuat multitafsir. Imajinas politik, masih dalam kamus, lema
“imajinasi’ lawan kata atau ant dari “kenyataan”.
Apa
itu “pikun politik” sengaja tidak saya otak-atik, takut kuwalat. Takut
menimbulkan fitnah.
Bangsa
asing, dengan enteng memberi gelas akademis kehormatan pada pelaku, pemain,
pekerja politik Nusantara. Seperti jelang pesta demokrasi 2014,
Pangsa
pasar “uneducated people” mengusik logika para pengamat politik, mereka
adalah pemilih dari strata masyarakat akar rumput yang fanatik terhadap si raja
ndangdut sebagai capres (calon presiden). Jumlahnya mampu mendongkrak perolehan
suara PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) nyaris dua kali lipat, usai pemilu
legislatif 9 April 2014. Terlebih yang
disasar bergelar Profesor atau guru besar, anugerah dari universitas di Amerika
(aku yang punya) dan bertitel Doktor (maksudnya doktor kehormatan). Ironis,
terdapat “kesenjangan pendidikan formal” antara pemilih dengan yang dipilih.
Banyak
contoh lainnya, bahkan pihak PTN melakukan modus yang sama. Artinya, secara
sadar terjadi bahwa yang masuk kategori pikun politik, justru layak didaulat
sebagai negarawan. Selangkah lagi Indonesia akan ada anak bangsa meraih nobel
dunia, bidang politik dalam negeri. Karena mampu memadukan dua jenis gender
politik. Aroma irama politik citra rasa, penuh pengharu-rasa dengan gaya
politik penghiba-hiba merasa banyak jasa. Kita tunggu.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar