Halaman

Jumat, 13 Mei 2016

karena kepala negara bukan pemimpin bangsa

karena kepala negara bukan pemimpin bangsa

Terlampir saya tayangkan bacaan ringan, santai dan menggemaskan tetapi tidak mengenaskan. Mungkin, jarang dikomsumsi oleh orang awam. Saya cuplik dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya pada :

BAB III
ARAH KEBIJAKAN
Arah kebijakan untuk membangun etika kehidupan berbangsa diimplementasikan sebagai berikut :
1.        Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, informal dan non formal dan pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat.


Salah satu pertimbangan ditetapkannya Tap MPR ini adalah bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.

Pengertian Etika Kehidupan Berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.

Agar menggigit, tak heran Etika Kehidupan Berbangsa dijabarkan (tanpa jateng dan jatim) menjadi beberapa komponen, yaitu :
1.        Etika Sosial dan Budaya
2.        Etika Politik dan Pemerintahan
3.        Etika Ekonomi dan Bisnis
4.        Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
5.        Etika Keilmuan
6.        Etika Lingkungan
Untuk menghindari kejemuan dan kejenuhan pembaca, uraian 6 etika tsb tidak saya tayangkan. Mau diringkas, takut salah ringkas yang mengundang tafsir yang tidak diinginkan.

TANCAP KAYON
Yang menggelitik, yaitu adanya pernyataaan di Tap MPR : terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika.

Apa kata kunci dari kalimat di atas, terserah pembaca. Bukan sekedar penempatan kata ‘etika’ saja tentunya. Sudah ada fakta yang tersurat secara nyata dan terang-benderang tanpa bahasa kias.

Yang lebih menggelitik lagi, pernyataan tadi, dilanjutkan dengan 2 (dua) ujaran yang justru sebagai fakta dasar dan ori dari tulisan ini, yaitu :
þ  kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa;
þ  tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal, dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika yang secara alamiah masih hidup di tengah-tengah masyarakat;

Memang ironis, karena frasa “pemimpin negara” hanya muncul sekali. Tentunya tanpa uraian tentang keteladannya. Maklum. MPR sebagai bagian dari apa itu penyelenggara negara tak akan membeberkan kekurangteladanannya. Atau justru ingin menyuarakan makna bahwa pemimpin negara tidak otomatis yuridis formal sebagai pemimpin bangsa.

Jabatan kepala negara atau presiden atau RI-1, sebagai jabatan formal dalam waktu yang sudah ditentukan. Proses politik yang memungkinkan adanya jabatan kepala negara. Proses politik sebagai bukti demokrasi bahwa kepala negara dipilih langsung oleh rakyat yang telah mengantongi hak pilih.

Siapa frasa “pemimpin dan tokoh bangsa”, tentunya, mudahnya pasti bukan jabatan formal. Minimal muncul dari bawah, diklaim sebagai tomas (tokoh masyarakat). Jauh dari profil orang politik yang masuk kategori tobing (tokoh bingung). Ciri ‘tobing’ yang mendasar adalah suka mengaku yang paling berjasa, menglaim dirinya sebagai penjual jasa nomer wahid. Merasa dirinya sebagai pengentas bangsa dari berbagai konflik, sengketa, dan kerusuhan. ‘Tobing’ tak mengenal gender, sudah hak milik kaum adam dan kaum hawa.

Makna “pemimpin dan tokoh bangsa” tidak mengenal istilah kader karbitan, bawaan orang tua, pewaris kekuasaan secara konstitusional, dan seabreg fakta pelaku dan pemain berkadar “perilaku yang menyimpang”.

Bukan terjadi lantas muncul dua kutub berbeda, “bernegara” menjadi kutub tersendiri dan kutub lainnya yang patut diduga berseberangan adalah gabungan “berbangsa dan bermasyarakat

Paling tidak Tap MPR VI/2001 masih kental jiwa reformasinya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar