karena kepala negara bukan
pemimpin bangsa
Terlampir
saya tayangkan bacaan ringan, santai dan menggemaskan tetapi tidak mengenaskan.
Mungkin, jarang dikomsumsi oleh orang awam. Saya cuplik dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor : VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa,
khususnya pada :
BAB III
ARAH KEBIJAKAN
Arah kebijakan untuk membangun etika kehidupan berbangsa diimplementasikan
sebagai berikut :
1.
Mengaktualisasikan
nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, informal dan non
formal dan pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin
bangsa, dan pemimpin masyarakat.
Salah satu
pertimbangan ditetapkannya Tap MPR ini adalah bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami
kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.
Pengertian Etika Kehidupan Berbangsa
merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat
universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila
sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam
kehidupan berbangsa.
Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa
mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos
kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga
kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
Agar menggigit, tak heran Etika Kehidupan
Berbangsa dijabarkan (tanpa jateng dan jatim) menjadi beberapa komponen, yaitu
:
1.
Etika
Sosial dan Budaya
2.
Etika
Politik dan Pemerintahan
3.
Etika
Ekonomi dan Bisnis
4.
Etika
Penegakan Hukum yang Berkeadilan
5.
Etika
Keilmuan
6.
Etika
Lingkungan
Untuk menghindari kejemuan dan kejenuhan
pembaca, uraian 6 etika tsb tidak saya tayangkan. Mau diringkas, takut salah
ringkas yang mengundang tafsir yang tidak diinginkan.
TANCAP KAYON
Yang
menggelitik, yaitu adanya pernyataaan di Tap MPR : terjadinya ketidakadilan
ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang
batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan
munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika.
Apa
kata kunci dari kalimat di atas, terserah pembaca. Bukan sekedar penempatan
kata ‘etika’ saja tentunya. Sudah ada fakta yang tersurat secara nyata dan
terang-benderang tanpa bahasa kias.
Yang lebih menggelitik lagi, pernyataan tadi,
dilanjutkan dengan 2 (dua) ujaran yang justru sebagai fakta dasar dan ori dari tulisan
ini, yaitu :
þ kurangnya keteladanan dalam sikap dan
perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa;
þ tidak berjalannya penegakan hukum secara
optimal, dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang
menyimpang dari etika yang secara alamiah masih hidup di tengah-tengah
masyarakat;
Memang
ironis, karena frasa “pemimpin negara” hanya muncul sekali. Tentunya tanpa
uraian tentang keteladannya. Maklum. MPR sebagai bagian dari apa itu penyelenggara
negara tak akan membeberkan kekurangteladanannya. Atau justru ingin menyuarakan
makna bahwa pemimpin negara tidak otomatis yuridis formal sebagai pemimpin
bangsa.
Jabatan
kepala negara atau presiden atau RI-1, sebagai jabatan formal dalam waktu yang
sudah ditentukan. Proses politik yang memungkinkan adanya jabatan kepala
negara. Proses politik sebagai bukti demokrasi bahwa kepala negara dipilih
langsung oleh rakyat yang telah mengantongi hak pilih.
Siapa
frasa “pemimpin dan tokoh bangsa”, tentunya, mudahnya pasti bukan jabatan
formal. Minimal muncul dari bawah, diklaim sebagai tomas (tokoh masyarakat).
Jauh dari profil orang politik yang masuk kategori tobing (tokoh bingung). Ciri
‘tobing’ yang mendasar adalah suka mengaku yang paling berjasa, menglaim
dirinya sebagai penjual jasa nomer wahid. Merasa dirinya sebagai pengentas bangsa
dari berbagai konflik, sengketa, dan kerusuhan. ‘Tobing’ tak mengenal gender,
sudah hak milik kaum adam dan kaum hawa.
Makna “pemimpin
dan tokoh bangsa” tidak mengenal istilah kader karbitan, bawaan orang tua, pewaris
kekuasaan secara konstitusional, dan seabreg fakta pelaku dan pemain berkadar “perilaku yang menyimpang”.
Bukan terjadi lantas muncul dua kutub
berbeda, “bernegara” menjadi kutub tersendiri dan kutub lainnya yang
patut diduga berseberangan adalah gabungan “berbangsa
dan bermasyarakat”
Paling tidak Tap MPR VI/2001 masih kental
jiwa reformasinya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar