Keluarga Sebagai Madrasah Dan Beteng Akhlak
Berbagai kejadian kekerasan seksual dengan korban anak, remaja atau calon generasi penerus, kita sebagai bangsa beradab wajib mawas diri. Tidak bisa serta merta mengutuk keadaan. Jangan gampang menyalahkan berbagai pihak yang mulai sebagai pemacu dan pemicu tindak kekerasan seksual sampai pembiaran oleh pemerintah. Sebagai bangsa yang relijius, bencana dan musibah sosial, atau apapun namanya, sebagai peringatan dari Allah. Kita wajib evaluasi diri, instropeksi, muhasabah sebelum berbuat, ketika berbuat dan setelah berbuat.
Pasangan suami isteri (pasutri) tentu mendambakan anak keturunan. Upaya asuh anak tidak sekedar bisa memberi makan minum belaka. Sederet kewajiban orang tua menanti. Orang tua bahkan memberikan dirinya saat memenuhi kebutuhan anaknya. Bahkan sejak dalam kandungan, anak berhak mendapat pendidikan agama. Suasana islami bisa dihadirkan, misal mulai dari berdo’a untuk anak dalam kandungan, diajak berbicara sampai pikir, ucap dan tindak sang ibu yang mengarah pada pembentukan karakter anak sholeh.
Makna keluarga dalam Islam mempunyai posisi
yang pertama dan utama, baik sejak dipertemukannya pasangan suami isteri,
tempat batu pertama pembangunan pondasi keislaman anak sampai fungsinya
sebagai sekolah dan madrasah pertama dan utama. Keluarga merupakan lingkungan awal bagi anak sebelum terjun ke dalam lingkungan
masyarakat. Rumah tangga atau rumah tinggal bagi keluarga tidak sekedar fungsi
fisik, banyak fungsi lain yang bisa diwujudkan. Keluarga sebagai awal
pembentukan akhlak anak, bahkan bisa sebagai beteng akhlak keluarga.
Salah satu faktor yang harus orang tua cermati agar anak siap bermasyarakat, yaitu sabda Rasulullah SAW : "Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (isteri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit." (HR Ibnu Hibban)
Diriwayatkan dalam sebuah sebuah hadits, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Ali bin Abi Thalib r.a : "Wahai Ali, hak-hak anak yang diwajibkan atas orang tua adalah sebanyak hak orang tua yang diwajibkan kepada anak-anaknya".
Hubungan timbal balik hak anak dengan hak orang tua tidak bisa dirumuskan secara matematis serta bukan dalam tataran balas jasa. Keluarga seperti apa yang kita harapkan, agar hubungan timbal balik hak bisa terjalin. Kita mengacu sabda Rasulullah SAW : "Apabila Allah menghendaki, maka rumah tangga yang bahagia itu akan diberikan kecenderungan senang mempelajari ilmu-ilmu agama, yang muda-muda menghormati yang tua-tua, harmonis dalam kehidupan, hemat dan hidup sederhana, menyadari cacat-cacat mereka dan melakukan taubat." (HR Dailami dari Abas r.a)
Pasutri yang bekerja maupun isteri sebagai ibu rumah tangga, tetap menjaga komunikasi timbal balik dengan anak. Menganggap anaknya banyak teman, bangga sebagai anak gaul. Langkah anak harus tetap diikuti dengan cermat. Tidak bisa dilepas total ke tangan guru. Faktor ajar dari orang tua, sehingga sebagai panutan juga memposisikan diri sebagai mitra dari anak. Demokrasi dalam keluarga untuk mengantisipasi masalah yang sedang dihadapi anak.
Seberapa besar kewajiban orang tua, minimal jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah. Orang tua juga harus berani melakukan perubahan, dalam arti peningkatan harkat dan martabat keluarga, kita mengacu [QS Ar Ra’d (13) : 11] : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Perubahan tidak hanya pada urusan dunia, dengan kesuksesan yang terukur (memberi nama anak dengan nama yang baik, memberi pendidikan atau menyekolahkan anak, mencarikan jodoh atau menikahkan anaknya) tetapi juga dan yang utama pada urusan akhirat, ukhrawi. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar