dikotomi relawan Jokowi, bersatu
gaduh vs bercerai rusuh
Mengasuh,
mendidik anak sedikit atau banyak anak, tidak ada perbedaan yang ekstrem,
signifikan, mendasar. Setiap anak membawa rezekinya masing-masing. Hubungan
timbal balik antara orang tua dengan anaknya, Islam sudah menegaskan dalam
Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Untuk urusan berkeluarga, ber-rumah tangga,
dimanapun kita bermukim, adat, budaya, norma, budi pekerti lokal tak tinggal
diam, ada seperangkat pasal yang ikut memantapkan. Berbagai pribahasa, pepatah,
bahkan filosofi lokal yang menyuratkan sekaligus menyiratkan betapa makna sebuah
keluarga dalam masyarakat.
Mengasuh,
mendidik sebuah keluarga besar bernama bangsa, kendati sang kepala keluarga
atau disebut kepala negara, walau mempunyai otoritas penuh, hak asuh dan hak
didik, maupun segala bentuk hak, tidak serta merta revolusi mental berjalan
dengan lancar. Musuh besar, seteru nyata, lawan di depan mata adalah jika
sedang berhadap-hadapan menampakkan wajah manis, begitu balik kanan, putar
haluan 180 derajat, maka si wajah manis siap mendepak. Tepatnya, akting “wajah
manis” menjadi berbalik total, kontradiktif.
Begitulah
dengan kisah nyata para relawan Jokowi dengan dan/atau tanpa JK. Jokowi sudah
siap dengan “diwenehi ati ngrogoh rempela”. Bisa
diartikan sudah diberi kursi malah minta mahkota. Minimal sebagai wujud ambisi
melihat kursi tetangga, kursi sesama relawan tampak lebih tinggi, tampak lebih
empuk, tampak lebih basah.
Relawan Jokowi yang bercokol di mana
saja, buka praktik usaha sebagai apa saja, melakukan tindak kehidupan apa saja,
seolah tak pernas terpuaskan syahwat politiknya. Yang serba mantan atau yang
serba merasa ahli, malah saling incar-mengincar dalam lipatan, dalam lingkaran
atau terang-terangan agar masuk media massa. Untungnya mbok de penjual
jamu siap dengan ramuan “jamu kuat
dan tahan lama”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar