ketika pejuang politik tanpa kursi
Frasa ‘pejuang
politik’ tampak heroik, hanya dilakukan orang yang tanpa pamrih. Minimal, orang
yang sudah tidak memikirkan dunia. Berjuang karena Allah, untuk Allah semata.
Konsep yang ideal, di atas kertas atau dalam bentuk naskah akademis. Jika ‘pejuang
politik’ mendapat balasan dunia berwujud takhta, harta dan jelita (bagi pria)
atau berbentuk harta, harta, harta bagi kaum hawa, sebagai konsekuensi logis
bahwa bangsa yang besar akan membayar jasa ‘pejuang politik’.
Berjuang di jalur
politik, maksudnya sebagai anggota aktif partai politik, baru dikatakan
berhasil jika mampu menjadi pengurus partai. Minimal pengurus partai tingkat
kelurahan/desa atau menapak dari bawah. Kesuksesan sebagai pengurus partai,
dirasakan iika sudah mampu meningkat menjadi wakil rakyat tingkat
kabupaten/kota atau lebih prestius lagi menjadi bupati/walikota.
Jangan membayangkan
betapa pengurus atau pejabat elit parpol tingkat nasional, jangan dikaitkan
dengan sukses duniawi. Kita bahkan harus bangga, penyelengara negara, katakan
menteri, sudah seperti prosesi di negara maju. Yaitu kaya dulu dari sono-nya,
baru jadi menteri. Bukan kebalikannya. Jadi menteri dahulu, baru berurusan
dengan KPK. Indonesia negara multipartai, memberi peluang kepada orang kaya,
pemodal untuk mendirikan partai politik. Landasan ideologisnya tak jauh dari
kalkulasi politik berbasis asas untung-rugi atau fungsi dari Rp.
Berpolitik identik
dengan mengurus negara. Ironisnya, banyak ‘pejuang politik’ yang sekali tampil
langsung tenggelam. Atau tampil untuk tenggelam. Biaya politik, mahar politik,
upeti politik atau jenis lainnya yang hanya diketahui oleh oknumnya, lebih
besar daripada harga sebuah ‘kursi’. Semangat otonomi daerah pada hakikatnya
untuk membuat kursi-kursi kecil, tetapi tetap menjanjikan, prospektus.
Dampaknya, muncul dinasti politik sampai tingkat provinsi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar