Tua, Tanpa loyo Dan Layu
Masjid di
lingkungan tempat tinggal kami, memasuki bulan Ramadhan 1436H/2015M sudah bisa
memakai lantai dua hasil renovasi. Tanpa peresmian, karena pekerjaan konstruksi
belum final. Tersisa pekerjaan di lantai pertama, tempat sholat yang lama, akan
diperindah, menjadi fungsi pendidikan dan kegiatan keagamaan lainnya.
Sebagaimana
pada umumnya semarak masjid di bulan Ramadahan, minggu pertama jamaah melebihi
kapasitas masjid. Lebih semarak dibanding sholat jumat, karena kaum hawa ikut
berjamaah. Memasuki minggu kedua atau sepuluh hari kedua, kompetisi menampakkan
hasil. Jamaah yang terseleksi secara alami sudah tampak nyata. Jamaah tidak
perlu berdesak dan berebut maju ke shaf depan.
Panitia
Ramadhan baru ngeh, jamaah yang terseleksi termasuk jamaah tetap, bahkan
ada yang masuk kategori jamaah lima waktu. Usut punya usut, ternyata yang
terseleksi karena usia. Naik ke lantai dua, meniti tangga trap demi trap,
merupakan perjuangan fisik. Terlebih harus berebut dengan jamaah yang jauh lebih
belia. Tak kurang jamaah ber-rambut putih, jamaah menjungjung uban, tak
terpengaruh dengan kondisi fisik masjid. Bahkan dinikmati sebagai proses
kehidupan.
Pasca
Ramadhan, panita pembangunan masjid melakukan evaluasi tertutup. Melihat siapa
jamaah tua yang masih aktif datang. Panitia memakai patokan, dengan menetapkan
seorang bapak. Dengan pertimbangan ybs masuk kategori jamaah lima waktu. Usia
seusia Rasulullah SAW jelang wafat, sekitar 63 tahunan. Berbusana koko, kopiah
haji, bersarung, tak lupa menenteng sajadah minimalis. Gaya dan cara jalan
menunjukkan keikhlasan hati menuju masjid. Gaya kehajian semakin kental dengan
jalan sedikit bungkuk dimbangi suara batuk yang fasih. Ybs terkadang wudhu di
tempat wudhu masjid. Dengan santai, tanpa gugup, melangkahkan kaki di anak
tangga. Sebelum masuk ruang sholat, tengadahkan tangan berdoa. Selalu memilih
shaf terdepan. Menyalami jamaah yang diliwatinya. Usai sholat takhiyatul
masjid, ybs khusuk berdoa, dibantu tasbih di tangan kanan.
Tak salah
jika DKM puls Yayasan memutuskan lantai kedua, bagian tengah depan dilubangi.
Lantai kedua jadi ruang utama sholat. Bertujuan agar golongan ‘pak haji tua’
dan kaum ibu tidak repot naik tangga.
Lepas dari
fakta ini, jika dikaitkan dengan bonus demografi, makna dari batasan usia
sesuai standar WHO, angka harapan hidup manusia Indonesia, Indeks Pembangunan
Manusia, atau prospektus dan prospektif keluarga sejahtera Indonesia, mau tak
mau, kita seolah terjebak pada kondisi bahwa usia menentukan segalanya.
Terbukti daya kerja dan kinerja otak, tak terpengaruh usia, asal tetap diasah
secara rutin. Tidak salah, tak perlu diperdebatkan. Ada “tua-tua keladi”, “tua
kelapa”, “tua bangka” dan masih banyak lagi.
Jika batas
usia dikaitkan dengan produktifitas, ada baiknya, bukan berarti ybs harus duduk
yang manis. Usia senja jangan diartikan sebagai usia yang ditunggu, sebagai
saat tepat sibuk denga urusan akhirat. Usia senja jangan diartikan sebagai
masuk kotak, habis segala daya dan upaya. Usia pensiun memang bisa diartikan
saat uber rezeki. Karena selama masih aktif, hanya menjalankan kewajiban sesuai
tugas dan fungsi kerja. Pasca pensiun, garis kehidupan tak akan menaik tajam
atau merosot drastis. Tak salah sejak belia sudah mandi keringat, nanti hidup
tua menjadi bermartabat. Semakin berumur, hidup semakin teratur. Walau sudah
meliwati masa ternak-teri, tinggal lele (leyeh-leyeh). Tiap pagi duduk
di teras, melahap surat kabar dan menyeruput secangkir teh nasgitel.
Sibuk momong cucu. Urus pekarangan. Bergegas ketika azan dikumandangkan.
Kita jangan
lupa, dengan bersilaturahmi, beraktivitas sosial maupun profesional, sebagai
hal yang dianjurkan oleh Islam untuk memperpanjang usia. Menengok orang sakit,
melayat sampai ziarah kubur, sebagai pengingat arti hidup. Hidup jadi berkah
disisa waktu dan usia. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar