Halaman

Senin, 16 Mei 2016

Tua, Tanpa loyo Dan Layu

Tua, Tanpa loyo Dan Layu

Masjid di lingkungan tempat tinggal kami, memasuki bulan Ramadhan 1436H/2015M sudah bisa memakai lantai dua hasil renovasi. Tanpa peresmian, karena pekerjaan konstruksi belum final. Tersisa pekerjaan di lantai pertama, tempat sholat yang lama, akan diperindah, menjadi fungsi pendidikan dan kegiatan keagamaan lainnya.

Sebagaimana pada umumnya semarak masjid di bulan Ramadahan, minggu pertama jamaah melebihi kapasitas masjid. Lebih semarak dibanding sholat jumat, karena kaum hawa ikut berjamaah. Memasuki minggu kedua atau sepuluh hari kedua, kompetisi menampakkan hasil. Jamaah yang terseleksi secara alami sudah tampak nyata. Jamaah tidak perlu berdesak dan berebut maju ke shaf depan.

Panitia Ramadhan baru ngeh, jamaah yang terseleksi termasuk jamaah tetap, bahkan ada yang masuk kategori jamaah lima waktu. Usut punya usut, ternyata yang terseleksi karena usia. Naik ke lantai dua, meniti tangga trap demi trap, merupakan perjuangan fisik. Terlebih harus berebut dengan jamaah yang jauh lebih belia. Tak kurang jamaah ber-rambut putih, jamaah menjungjung uban, tak terpengaruh dengan kondisi fisik masjid. Bahkan dinikmati sebagai proses kehidupan.

Pasca Ramadhan, panita pembangunan masjid melakukan evaluasi tertutup. Melihat siapa jamaah tua yang masih aktif datang. Panitia memakai patokan, dengan menetapkan seorang bapak. Dengan pertimbangan ybs masuk kategori jamaah lima waktu. Usia seusia Rasulullah SAW jelang wafat, sekitar 63 tahunan. Berbusana koko, kopiah haji, bersarung, tak lupa menenteng sajadah minimalis. Gaya dan cara jalan menunjukkan keikhlasan hati menuju masjid. Gaya kehajian semakin kental dengan jalan sedikit bungkuk dimbangi suara batuk yang fasih. Ybs terkadang wudhu di tempat wudhu masjid. Dengan santai, tanpa gugup, melangkahkan kaki di anak tangga. Sebelum masuk ruang sholat, tengadahkan tangan berdoa. Selalu memilih shaf terdepan. Menyalami jamaah yang diliwatinya. Usai sholat takhiyatul masjid, ybs khusuk berdoa, dibantu tasbih di tangan kanan.

Tak salah jika DKM puls Yayasan memutuskan lantai kedua, bagian tengah depan dilubangi. Lantai kedua jadi ruang utama sholat. Bertujuan agar golongan ‘pak haji tua’ dan kaum ibu tidak repot naik tangga.

Lepas dari fakta ini, jika dikaitkan dengan bonus demografi, makna dari batasan usia sesuai standar WHO, angka harapan hidup manusia Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia, atau prospektus dan prospektif keluarga sejahtera Indonesia, mau tak mau, kita seolah terjebak pada kondisi bahwa usia menentukan segalanya. Terbukti daya kerja dan kinerja otak, tak terpengaruh usia, asal tetap diasah secara rutin. Tidak salah, tak perlu diperdebatkan. Ada “tua-tua keladi”, “tua kelapa”, “tua bangka” dan masih banyak lagi.

Jika batas usia dikaitkan dengan produktifitas, ada baiknya, bukan berarti ybs harus duduk yang manis. Usia senja jangan diartikan sebagai usia yang ditunggu, sebagai saat tepat sibuk denga urusan akhirat. Usia senja jangan diartikan sebagai masuk kotak, habis segala daya dan upaya. Usia pensiun memang bisa diartikan saat uber rezeki. Karena selama masih aktif, hanya menjalankan kewajiban sesuai tugas dan fungsi kerja. Pasca pensiun, garis kehidupan tak akan menaik tajam atau merosot drastis. Tak salah sejak belia sudah mandi keringat, nanti hidup tua menjadi bermartabat. Semakin berumur, hidup semakin teratur. Walau sudah meliwati masa ternak-teri, tinggal lele (leyeh-leyeh). Tiap pagi duduk di teras, melahap surat kabar dan menyeruput secangkir teh nasgitel. Sibuk momong cucu. Urus pekarangan. Bergegas ketika azan dikumandangkan.

Kita jangan lupa, dengan bersilaturahmi, beraktivitas sosial maupun profesional, sebagai hal yang dianjurkan oleh Islam untuk memperpanjang usia. Menengok orang sakit, melayat sampai ziarah kubur, sebagai pengingat arti hidup. Hidup jadi berkah disisa waktu dan usia. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar